“Oh, Mas Bas. Aku harap Mas Bas juga tak meragukan cinta Lili. Apa pun yang terjadi, cinta ini tak akan berubah. Lili memang tak berpengalaman soal cinta. Tapi, Lili merasakan, bagian dari jiwa, hidup, dan masa depanku ada dalam diri Mas Bas. Demikian juga, aku merasa bagian dari jiwa, hidup, dan masa depan Mas Bas ada di dalam diriku. Bagiku, cinta adalah menyatunya dua jiwa dan hati yang sudah digariskan menjadi satu. Pertemuannya lewat perjodohan alami tanpa pemaksaan. Tak peduli keduanya secara badaniah memiliki perbedaan kulit, ras, atau asal-usul. Demi cinta, aku tak akan melepaskannya. Lili tak akan membelah jiwa yang sudah sempurna. Lili tak akan rela kembali menjadi jiwa yang terbelah dan kesepian tak tentu arah. Lili tak akan membiarkan belahan jiwa ini terenggut, apa pun alasannya. Dengan segala kekuatan, aku akan mempertahankannya.”
Lili mempererat pelukannya kepada Baskara, seolah takut akan lepas. “Aku juga belum tahu bagaimana tanggapan keluargaku terhadap hubungan kita. Selama ini belum ada reaksi dari keluarga, karena aku belum mengomunikasikannya. Seperti Mas Bas, aku juga khawatir jika mereka menentang. Tapi yakinlah, Lili akan mempertahankannya. Sebab, cinta tidak bisa dipaksakan,” lanjutnya.
Baskara sangat terharu. Dia mempererat pelukannya kepada Lili. Ternyata, Lili benar-benar kekasih yang selama ini dia impikannya. Dia merasa Lili adalah belahan jiwa yang selama ini dia rindukan dan impikan. Dia hanya bisa melihat dan membayangkan masa depannya bersama Lili sampai akhir hayat. Tak terbayangkan betapa perihnya jika nanti hidupnya tanpa kehadiran Lili.
“Oh, Lili. Aku berpendapat dan merasakan hal yang sama. Engkaulah belahan hatiku. Akupun tak akan melepaskan kembali belahan yang sudah menyatu, bagaimanapun beratnya dan apa pun yang akan terjadi. Semoga semuanya akan lancar.” ***
Maret 1998 menandai dua bulan usia asmara mereka. Di satu sisi, mereka seperti mengalami kemenangan karena telah menemukan cinta yang diimpikan. Di sisi lain, mereka semakin resah melihat situasi negeri. Perubahan yang mereka harapkan seperti semakin menjauh setelah Soeharto dilantik kembali sebagai presiden RI dalam Sidang Umum MPR 10-11 Maret 1998. Mereka berpendapat, perubahan negeri ini hanya akan terjadi jika diawali dengan perubahan pimpinan nasional terlebih dulu. Keresahan yang membuat Lili makin sibuk bersama rekan-rekan aktivisnya untuk merancang sebuah aksi menuntut perubahan dan perbaikan. Kesibukan itu justru membuatnya lebih sering bertemu Baskara. Di sela pekerjaannya, Baskara sering pulang ke rumah, terutama sore hari. Sebab, seusai kuliah atau diskusi dengan rekan-rekannya, Lili biasanya mampir dulu ke rumahnya, ngobrol sama Zaliany sambil menunggu dirinya. Kemudian, seperti sudah menjadi ritus, Baskara akan segera mengantarkannya pulang atau jalan-jalan sebentar.
Sebelum ke kampus, menjadi biasa bagi Lili untuk menjemput Zaliany. Tentu, motivasi lain bertemu dengan Baskara. Meski baru dua bulan jalan, umur cinta mereka terasa sudah bertahun-tahun. Baskara pun jadi rutin mengantar mereka kuliah, sebelum berangkat kerja. Lili pun begitu akrab dengan keluarga Baskara dan oleh orangtuanya sudah dianggap anak sendiri. Orangtua Baskara juga sudah tahu, mereka berpacaran. Suatu kali ketika Baskara dan Lili sedang berbicara di ruang tamu, Ibu Sungkono bergabung dan menanyakan keseriusan hubungan mereka. Kedua kekasih ini pun menyatakan sangat serius. Lalu, seperti tidak sabar, Bu Sungkono menanyakan kapan mereka akan menikah. Maklum, dia sudah berharap ingin segera punya cucu.
“Kenapa buru-buru, Bu? Nanti kalau jodoh juga bakal menikah. Lagi pula Lili masih kuliah. Selain itu, keluarga Lili juga belum tahu hubungan ini,” jawab Baskara di depan Lili. “Kalau Mas Bas tak keberatan, begitu saya lulus langsung menikah,” timpal Lili. “Nah, itu jawabannya. Saya akan dengan senang hati melamarnya, begitu dia wisuda. Berarti sekitar dua tahunan, bisa pula lebih,” tegas Baskara sambil melirik mesra kekasihnya.
Orangtua Lili sebenarnya juga sudah tahu hubungan dekat mereka. Sebab, Baskara jadi sering mengantar Lili pulang dan mereka tampak mesra. Bahkan beberapa kali Baskara bertamu sekalian kenal lebih dekat dengan mereka. Namun, sikap orangtua Lili tampaknya tak terlalu akrab. Kalaupun mau menemui Baskara, hanya seperlunya saja. Basa-basi kaku. Tak pernah ada obrolan lama antara Baskara dengan orangtua Lili. Biasanya mereka hanya menyapa, kemudian masuk atau kadang buru-buru keluar rumah mengurus bisnis atau acara lainnya. Itu yang membuat Baskara jadi sering bingung dan mulai dihantui kekhawatiran.
Lili sendiri belum mengomunikasikan percintaan mereka. Dia tahu pasti, orangtuanya juga sudah mengetahui hubungan mereka. Kalaupun selama ini belum komentar, itu lebih karena kesibukannya yang luar biasa mengurus bisnisnya. Lili belum mau memikirkan itu. Toh, selama ini belum ada masalah dan hubungan mereka sedang mesra-mesranya. Yang penting dia bisa tetap menjalani kehidupannya sebagai aktivis, mahasiswa, juga sebagai kekasih Baskara.
Kadang-kadang juga muncul keinginan Lili untuk segera menceriterakannya. Tapi dia selalu kesulitan mencari waktu. Selama ini hampir semua keinginannya selalu dipenuhi orang tuanya. Hanya, soal cinta, dia masih ragu apakah orangtuanya akan merestui pilihannya. Dia tahu, orangtuanya terlalu mengagungkan materi. Bahkan, baginya, sejauh mana dia bisa membahagiakan tergantung sejauh mana dia bisa memenuhi materi yang dibutuhkan. Selebihnya, dia sangat fanatik dengan pendirian-pendiriannya yang terkadang menurut Lili terlalu kolot.
Termasuk dalam perjodohan, Lili sadar hubungannya dengan Baskara termasuk sensitif dan bisa dicap sebagai penyimpangan keluarga. Berhubungan dengan ras berbeda belum pernah terjadi dalam keluarga besarnya. Maka, untuk sementara dia lebih memilih diam agar tetap bisa merasakan kebahagiaan dan kemesraannya bersama Baskara tanpa gangguan. Dia berencana akan menceritakannya saat kuliah selesai, sekalian minta restu.
Meski sibuk, orangtua Lili sangat memperhatikannya. Papahnya, Thio Hok Kie atau nama Jawanya Theo Handoko dan Mamahnya, Thia Eng Lie, atau nama Jawanya Thia Enggarti, memberi kasih sayang khusus kepadanya. Sebab, Lili pernah sekarat saat bayi karena panas. Hanya keajaiban yang membuatnya kemudian hidup sehat sampai sekarang. Maka, orangtua Lili nyaris tak pernah memarahinya. Apalagi Lili bukan tipe anak yang suka membuat masalah. Apa yang dia minta hampir selalu dituruti, kecuali hal-hal prinsip. Meski beberapa hal Lili kurang setuju dengan prinsip-prinsip papahnya, tapi dia jarang menentangnya.
Sayangnya, papahnya termasuk keturunan Tionghoa yang kolot, punya prinsip kuat soal bisnis, jodoh, hidup dan sebagainya. Jika dia memandang itu benar, egonya sangat tinggi. Terkadang terkesan memaksakan anaknya untuk harus menuruti prinsipnya. Singkatnya, silakan minta apa yang bisa diberikan orangtuanya, tapi jangan pernah melanggar prinsip-prinsipnya. Jika ini terjadi, dia akan menjaganya dengan pendirian keras. Kakaknya, Thio Seng An yang bernama Jawa Seno Antony, menjadi contoh anak penurut tanpa reserve. Bahkan, baginya, kebenaran orangtua adalah kebenarannya juga. Sampai-sampai dia rela memutuskan pacarnya, demi menikahi wanita pilihan papahnya yang katanya punya kehormatan dan hoki besar. [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
