KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 17 September 2011

MUNGKIN INI BALASAN ATAS DOSA-DOSAKU

Story: Hidupku terasa pahit. Sebelum menikah dengan Noval (bukan nama sebenarnya), aku telah menikah dengan seorang pria, sebut saja namanya Narto (bukan nama sebenarnya). Pernikahan kami hanya berumur dua tahun, sebelum akhirnya Narto memergoki aku yang tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Buntut dari semua itu, Narto akhinrya memaksaku bercerai dan membawa serta anak semata wayangku. Maaf, aku tak mau bercerita terlalu banyak tentang masa laluku. Sampai sekarang aku masih terus mengingat dan menangisi  anakku. Aku ingin berjumpa dan memeluknya.

Setelah jadi janda, aku kembali ke rumah orang tuaku. Berusaha menghibur diriku, dengan lebih mendekatkan diri pada  Tuhan. Beberapa tahun lamanya aku memilih menjanda. Aku coba berusaha dengan membuka warung kecil-kecilan yang hasilnya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari kami. Cap janda membuat aku  tak enak hati, dan tak bisa bergaul dengan teman-teman seperti dulu. Teman-teman yang dulu jadi sahabatku, kurasakan menjauh dariku. Ah… mungkin mereka takut  suami mereka melirikku, atau aku rebut. Padahal aku pernah bersumpah tak akan pernah menikah dengan pria beristri.

Namun sumpah  itu akhirnya kulanggar, Narto laki-laki yang telah memiliki istri akhirnya menaklukan sumpahku Lingkungan rumahku yang padat membuat  gosip tentang aku begitu ramai. Bahkan tiap aku lewat di depan ibu-ibu, juga para remaja putri, mereka  menyindir dengan suara keras. "Jangan merebut suami orang dong!"

Aku dan Narto akhirnya menikah  di Penghulu. Tak ada pesta, yang ada hanya pengajian di malam hari, mengundang para tetangga, namun hanya sedikit yang datang datang,  padahal ibuku telah menyiapkan  nasi lengkap dengan lauk pauknya  dikemas dalam kardus. Aku cuma bisa meneteskan air mata.

Walau aku tak lagi punya muka di kampungku ini, aku tetap tinggal di kampung ini, di rumah kontrakan.  Karena penghasilan Narto sebagai kuli tak menentu. Seringkali Narto tak membawa uang. Namun, aku tak pernah marah. Aku  tetap berjualan di warung. Walau hasilnya kecil, cukuplah untuk makan sehari-hari. Tak lama kemudian, aku hamil. Aku sangat bahagia. Kerinduanku pada anak dari perkawinan sebelumnya terasa terbayar. Aku sangat menjaga kehamilanku ini. Aku rutin ke bidan kandungan di Puskesmas. Juga mengkonsumi makanan bergizi

Singkat kata aku akhirnya melahirkan. Begitu bayiku lahir suara tangisnya nyaring membahana. Syukurlah. "Selamat, Bu. Bayi ibu, laki-laki, sehat," kata bidan. Kulihat wajah bidan dan ibuku nampak pucat. Tak nampak bahagia. Kenapa?  karena kelelahan, kubiarkan diriku tertidur lelap. Begitu bangun tidur, aku mencari-cari bayi laki-lakiku.  'Mana bayiku? Aku ingin menyusui bayiku,' kataku.

Bidan dan ibuku nampak bingung, dan saling berpandangan. 'Lagi tidur nyenyak, Bu. Ibu istirahat saja dulu. Nanti kalau  bayinya nangis, saya akan bawa bayi Ibu ke sini,' ujar bidan. Walau curiga dengan kejanggalan ini, aku berusaha tenang.  Ketika terdengar tangis bayi, aku dengan antusias  berharap, bayi itu  dibawa ke tempatku. Ternyata tidak, tak berapa lama tangis bayi itu terhenti. "Lho, bayiku  kenapa nggak dibawa kemari?" tanyaku.

"Kondisi Ibu masih  belum fit.  Ibu harus banyak istirahat. Bayi Ibu, kami beri  susu dalam botol," jelas  bidan. Aku berusaha mengerti. Walau terasa aneh bagiku. Aku memang lemas. Tapi, bukankah biasa, seorang ibu melahirkan, tubuhnya lunglai? Kerinduanku pada  bayiku memuncak. Kenapa bidan itu tak mau memberikan bayiku? Ya Tuhan, ada apa dengan bayiku? Ah… aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya aku cuma bisa menangis. Saat itu, kerinduanku pada 3 anakku lainnya pun menjadi-jadi.

Malamnya, suamiku datang. Dia berusaha tersenyum padaku, dan mengecup dahiku. Lalu dia berkata, "Sabar ya, Bu. Kita sedang dicoba oleh Tuhan," "Kenapa, Pak?' tanyaku.  "Bayi kita cacat.  Dia tak punya tangan," kata suamiku. Hah? Jadi itu penyebabnya, kenapa bidan dan ibuku merahasiakan kecacatan bayiku. Tubuhku terasa makin lemas. Saat itu juga, aku bangun dari tempat tidur. Bersama suamiku, kami ke kamar tempat   bayiku tidur.

Kulihat bayiku nampak tampan, ia terbungkus hangat  dalam kain bedong.  Tak terlihat bayiku cacat.  Aku bongkar kain bedong di bagian tangan. Ya Tuhan,  bayiku tak memiliki tangan.  Saat itu juga dunia seakan runtuh, jeritan pilu mengantarku dalam kegamangan menghadapi kenyataan ini. namun berikutnya aku mulai sadar dengan apa yang saat ini aku hadapi, aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini balasan yang setimpal atas dosa-dosa yang selam ini aku perbuat. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA