“Tri… Ternyata aku tak mudah melupakanmu walau sekejab. Kamu memang sudah bagaikan belahan jiwaku! Ternyata apa yang mudah kukatakan tak sesuai kenyataannya!” Li tersenyum getir.
Perilaku Li ternyata menjadi perhatian rekan kerjanya di kantor mereka yang bergerak dibidang kontraktor itu.
Salah satunya Fera yang menaruh perhatian pada Li selama ini.
“Hey! Pasti sedang memikirkan Tri ya?!” Suara yang tiba-tiba muncul di sampingnya itu benar-benar mengagetkan Li.
“Ah, kamu, Fer! Bentak halus Li atas sikap Fera.
“Kenapa, Li? Kehilangan?”
“Tidak juga! Aku hanya agak bingung sedang memikirkan proyek yang di Surabaya!”
“Tapi kan tidak biasanya kamu bersikap begini?”
Akhirnya Li dan Fera duduk berhadapan di ruang kerja Li. Fera tersenyum penuh arti mengingat sikap Li tadi, karena secara diam-diam tadi ia memperhatikan yang tanpa disadari oleh Li. Dimana Li terhanyut dalam suasana rindu pada Tri sambil menatap wajah Tri di telepon selulernya.
“Bagaimana hubunganmu yang sebenarnya dengan Tri, Li? Sepertinya sedang ada masalah dan jangan-jangan Tri disuruh pulang untuk dijodohkan? Diantara nada seriusnya, Fera tertawa lepas.
“Ayolah Li. Kita kan sahabat baik. Tidak ada yang perlu disembunyikan dan aku siap menjadi pendengar yang baik. Aku merasa pasti orangtua Tri tidak merestui hubungan kalian karena beda keyakinan. Benar, kan, Li?!” Fera mencium ada yang tidak beres atas hubungan Li dan Tri.
“Ya, Fer. Memang orangtua Tri tidak merestui hubungan kami. Aku dan Tri harus menerima kenyataan ini. Tapi bagaimanapun aku tidak bisa begitu saja melupakan Tri!” Li akhirnya menyerah juga untuk berterus terang.
“Aduuuuuh, Li. Memang wanita di dunia hanya Tri saja ya?! Bukankah masih ada aku yang selalu setia menunggu!” Fera berkata sambil mendekatkan wajahnya kearah Li tanpa sungkan. Fera memang termasuk tipe cewek yang agresif. Selain cantik, tubuhnya tinggi semampai, dan bergaya modis.
“Iya sih. Tapi, kamu itu bukan cewek tipeku. Kamu terlalu sempurna untukku, Fer!” Tanpa sungkan Li berkata demikian.
Lagi-lagi Fera tertawa lepas mendengar ucapan Li yang entah meledek atau sedang memujinya.
“Li, Li. . . Ternyata kamu itu seleranya Padang banget ya?! Bukan hanya masakannya yang kamu suka, tapi ceweknya juga ha ha ha …..” Fera seakan menyindir Li.
“Apa salahnya? Lagian masakan Padang itu memang enak. Pedasnya itu lho! Kalau soal ceweknya? Ehm….. Rahasia dong! He he he . . . “Li tak mau kalah untuk tertawa juga.
Siang sudah beranjak dan waktunya makan siang tiba. Kemudian Fera mengajak Li makan siang bersama di luar. Bukan seperti biasanya di kantin kantor.
Mereka berjalan beriringan. Li sesekali menatap erat wajah Fera. “Ah, boleh juga dan ternyata Fera adalah wanita yang memang enak diajak bicara. Selama ini aku tidak memperhatikannya!” Batin Li.
Waktu makan siang itu benar-benar terasa menyenangkan bagi Fera dan Li. Suasana keceriaan yang mewarnai membuat Li sejenak bisa melupakan Tri yang sedang tidak berada disisinya.
**
Berulangkali dari tadi pagi Mama meminta Tri menghubungi Ramli, apalagi nanti adalah malam minggu.
“Ahh, Mama Tri tak bisa semudah itu.” Tri masih saja memandangi telepon genggamnya, ingin sekali mengabarkan tentang dirinya yang kebingungan pada Li. Tapi dia tidak sanggup melakukannya. Tri tidak ingin menghadirkan beban bagi Li.
Tri membayangkan sedang apakah Li siang-siang begini? Biasanya setiap jam makan siang mereka akan selalu bertemu. Walau hanya sebentar.
“Andai saja sekat jarak ini adalah kaca, maka pasti aku akan senang melihat wajahmu Koko. Meskipun berjauhan masih bisa saling memandang. Aku tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini? Ahh, Ko! Apa masih ingat aku ?” Hampir saja airmatanya jatuh, kalau tidak cepat-cepat di tepisnya.
Akhirnya Tri memilih untuk tidur siang saja. Tidak butuh waktu lama akhirnya iapun terlelap. Mungkin karena kecapaian menunggui Mama di rumah sakit beberapa hari lalu.
*** Assalamualaikum..! Suara salam seseorang dari luar mengagetkan mereka sekeluarga yang tengah bercengkerama di ruang keluarga. Tri bergegas membukakan pintu, ingin tahu siapa yang datang malam itu.
“Uda Ramli? Tri setengah tak percaya saat tahu siapa yang datang.
“Malam, Tri,” senyum Ramli hangat sekali malam itu.
“Ayo, silakan masuk Uda.. !” Tri mempersilakan Ramli masuk dan duduk di ruang tamu.
“Sebentar ya !” Tri berlalu ke belakang, berbisik kepada orang tuanya “Ramli datang ,Ma!”
“Ya, sudah ambilkan minum !” Ucap Mama, dan tidak beranjak dari duduknya.
Sepertinya sengaja, agar Tri sendiri yang membuatkan teh hangat untuk Ramli. Lalu Tri menemani, duduk di sofa berhadapan Ramli. Tri terlihat sedikit kikuk, ia bingung dan tidak tahu harus mengatakan apa.
Tri meremas-remas jemarinya, sambil sesekali menatap Ramli yang juga terlihat agak canggung. Ramli memang tipe lelaki yang kikuk menghadapi wanita. Apalagi wanita itu secantik Tri.
Dalam hati Tri memuji juga ketampanan Ramli. Apalagi sekarang, Ramli seorang dosen di sebuah Universitas di Padang. Membuatnya semakin terlihat berwibawa.
“Tehnya enak, Tri !” Puji Ramli sedikit berbasa-basi. Tri hanya tersenyum, semakin bingung saja menghadapi Ramli yang lebih banyak diam sedari tadi.
Begitulah pertemuan malam itu antara Tri dan Ramli yang berlangsung tanpa ada kesan yang istimewa. Namun setidaknya Tri mulai membuka hatinya untuk lelaki lain.
“Sepertinya Ramli memang lelaki yang baik. Sopan dan rendah hati. Tak ada salahnya aku belajar untuk menyukainya.” Tri seakan berkata pada dirinya sendiri.
“Yah, aku sudah waktunya harus berani mencintai lelaki lain, selain Koko yang selama ini selalu mengisi relung-relung hatiku!” Tri lebih meyakinkan dirinya lagi.
“Seperti kata Koko, sudah waktunya aku harus berani menghadapi kenyataan kehidupan saat ini dan tidak boleh terus-menerus melihat masa lalu, karena hidup adalah saat ini. Yaaaa, aku pasti bisa!!!” Tri kembali menyemangati dirinya saat terbaring sendirian di kamarnya yang sunyi malam itu.
*
Keesokan harinya saat pagi, Tri segera menghubungi Li, karena ia tahu, walaupun hari libur, Li selalu bangun pagi-pagi.
“Haloooo… Koko sayanaaaang, selamat pagi! Sudah bangun belum?” Sapa Tri dengan cerianya.
“Selamat pagi juga sayang. Jelas sudah bangun dong. Kalau belum bangun, mana mungkin bisa menerima teleponmu! Loh, ada angin apa nih, begitu ceria di pagi ini? Pasti semalam ketemu arjuna ya?!” Sahut Li dari seberang tak kalah girangnya.
“Iya, Koko. Semalam aku ketemu arjuna! Bagaimana menurut Koko tentang Ramli yang waktu itu bertemu di rumah Tri?!”
“Ramli?”
Ramli ya?!” Sekali lagi Li mengulang pertanyaannya tentang sosok yang ditanyakan Tri. Entahlah, mengapa Li masih menyimpan rasa cemburu di hatinya. Namun cepat-cepat ditepisnya, karena sadar, bukankah Tri tidak menjadi kekasihnya lagi? Bahkan ia telah menganggap Tri sebagai adiknya.
“Bagaimana, Ko?” Pertanyaan ulang Tri mengagetkan Li.
“Adiakku….. Ehmmmmmm, menurutku dan melalui terawang batinku, sepertinya Ramli cocok untukmu, walaupun sebenarnya lebih cocok sama aku!” Li berusaha menggoda Tri.
“Aah, Koko, gitu deh. Kayak Ki Joko Bodo saja! Kalau itu tidak usah tanya!” Sahut Tri manja.
“Adiak. Serius nih! Ya, aku rasa cocok dan perasaanku Ramli adalah lelaki yang baik. Tak ada salahnya Tri membuka hati dan memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mencintai lelaki lain selain aku! Berikan kesempatan juga bagi Ramli untuk membuktikan cintanya padamu!” Kali ini Li bersikap serius.
“Baiklah Kokoku. Sebagai adik, aku akan menurut. Tapi awas, jangan cemburu ya hi hi hi …..” Tri tertawa cekikikan balas menggoda Li.
“Huuuu… Awas ya…”Sambut Li.
*
Awan putih menggantung di atas puncak Gunung Singgalang. Matahari bersembunyi dibaliknya, memercik bias sinar ke langit petang. Pintalan-pintalan awan menggulung laksana gumpalan kapas putih terhampar di langit biru. Pelangi setengah melingkar menghias angkasa. Burung-burung beriringan menuju sarang,menyempurnakan suasana sore di kampung damai tempat Tri kini bernaung.
Begitu indahnya desanya kelahirannya, berada diantara bukit barisan dengan
bentangan sawah yang bertingkat-tingkat. Lama Tri tertegun dengan negerinya dimana ia tumbuh.
Tak pernah ia kehabisan kata untuk melukiskan karunia terbesar yang diberikan Tuhan untuk tanah kelahirannya. Ini hanya bagian kecil dari keindahan alam nusantara.
Belum lagi khazanah budayanya yang begitu tinggi.
Tri berkali mengucap syukur dengan semua nikmat indah itu.
Tri tersenyum sendiri, melayang lagi angannya jauh. Pada sosok lelaki yang dulu mengisi hatinya.
Li …!
Kini bayangan itu bergantian muncul dengan wajah lelaki baru yang dipaksanya ada dalam khayalnya.
Ramli!
Terus saja secara bergantian dua wajah itu hilir mudik dalam alam pikirannya kini. Harusnya Tri tidak perlu lagi ragu, karena Li bukanlah kekasihnya kini. Tetapi mengapa setiap mengingat Ramli, dia selalu membandingkan lelaki itu dengan Li?
Bisakah Ramli membuatnya bahagia? Apakah benar Ramli adalah jodohnya?
“Oh..Tuhan, beritahu aku, apa yang terbaik untukku, ” pintanya pada Yang Maha Kuasa.
*
Demikianlah hari demi hari semakin mendekatkan Tri dengan Ramli. Apalagi Li selalu mendukungnya. Benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka.
Ada benarnya, cinta akan bersemi bila diberikan kesempatan untuk tumbuh.
Waktu yang akan menyuburkan kemudian.
“Ah, sepertinya aku memang mulai menyukai Ramli!” Tri berkata pada dirinya sendiri.
“Ternyata memang tidak salah, perasaan cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu!”
Telepon genggam Tri berdering. Melihat nomor yang menghubunginya, dahi Tri berkerut. Ia sengaja tak berusaha menjawab panggilan tersebut dan membiarkan sambungan terputus dengan sendirinya.
“Rizal! Kenapa sih setiap hari menghubungiku? Bosan. Dia lagi dia lagi!” Tri menggerutu sendirian.
Rizal tampak kesal sekali, ingin rasanya ia membanting telepon genggamnya dan memarahi Tri. Ia merasa tidak dihargai oleh sikap Tri yang berkali-kali tidak menerima teleponnya.
“Tri, kenapa sih kamu tidak mau menerima teleponku? Seharusnya kamu tahu perasaanku. Bagaimana setiap hari aku merindukanmu. Apa aku tidak pantas mencintaimu?!”
“Jangan panggil aku Rizal bila tak bisa mendapatkanmu, Tri! Aku tak kalah dengan Li, dan aku rasa lebih baik!!!” Geram Rizal dan berikrar pada dirinya dalam kendaraan yang sedang melaju.
Rizal, memang sedari dulu sampai saat ini tiada putus asa untuk mendapatkan cinta Tri. Berbagai cara telah dilakukan, namun belum juga ia mampu menaklukan hati wanita itu.
“Apa yang harus aku lakukan lagi?” [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
