Karena tak ikut ambil bagian dalam ‘forum-forum’ itulah, Sri bisa lebih perhatian pada semua detil pekerjaan rumah mulai menyapu, mengepel, merawat tanaman, menyeka debu di perabotan, membersihkan kolam renang termasuk memasak dan mencuci pakaian. Ini membuat Bi Nani Wijaya banyak diuntungkan. Kalau dulu ia tidak pernah tuntas nonton sinetron tayang ulang di siang hari di televisi, kini ia bisa punya waktu untuk menunggu adegan seru sinetron yang terputus oleh kata ‘bersambung’ minggu berikutnya. Dan Bi Nani mulai pintar menghafal nama-nama tokoh sinetron.
Pekerjaan luar rumah Sri juga tak kalah serunya, mulai membayar rekening listrik, telepon, air, belanja isi kulkas, mengantar Prisma dan Devi belanja ke pertokoan, mengantar sekaligus menunggui Prisma dan Devi les bahasa Inggris atau jajan makanan cepat saji, mengawal Prisma bersepeda keliling perumahan atau mengajari anak-anak menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
Hendri dan Anella, seperti pasangan profesional kota lainnya, amat sibuk dengan pekerjaannya. Anella kadang hanya ada di rumah dua atau tiga hari, selebihnya ia berada di luar kota dan memantau perkembangan rumah dan keadaan anak-anak hanya melalui HP Sri.
Kalau sedang tidak keluar kota, Anella lebih suka berada di luar rumah. Dan kalau keluar bersama Prisma dan Devi pada hari Minggu, Anella memilih berlama-lama di fitness center atau di pusat perawatan rambut, kuku atau spa sementara Sri ditugasi mengantar Devi dan Prisma belanja pakaian atau makan. Pada saat Anella selesai dengan urusan ‘kecantikannya’, ia tinggal menelepon Sri atau Devi dan minta ditemui di satu sudut mall.
Hendri juga sesekali harus berada di Singapura, Vietnam, Thailand atau Cina untuk jangka waktu tiga atau empat hari. Kalaupun tak sedang bepergian, Hendri tak pernah berada di rumah sebelum pukul 8 malam. Dan begitu sampai di rumah, Hendri tenggelam dalam kesibukan di depan komputer atau menyendiri di pokok halaman belakang sampai larut malam dengan komputer laptop di atas meja.
Berbeda dengan Anella yang selama ini selalu terdengar ceria dan gembira, Hendri kadang terlalu larut dalam kesendiriannya. Mungkin karena ritme kerja yang berbeda itulah, Hendri dan Anella jarang tampak meluangkan waktu di rumah bersama. Dan kalau diamati, setidaknya dalam sebulan belakangan ini Hendri tidak seperti yang Sri kenal tiga bulan lalu, sebagai seorang bapak yang ramah dan hangat. Sekarang Hendri seperti sedang kena resesi bicara; tak pernah bicara panjang lebar dan kalau tanya soal anak-anak atau kasih perintah pada Sri, kalimatnya cuma sepotong-potong. Sri melihat seperti ada bagian yang hilang dari Hendri. Demikian burukkah pengaruh dinamika kerja orang kota pada ketenangan seseorang?
Kadang Hendri membawa laptop-nya ke meja di pinggir kolam renang, tapi tak pernah menghidupkannya dan hanya berlama-lama menatap permukaan kolam renang yang berdesir pelan tertiup angin.
Sri makin heran ketika tiba-tiba suatu malam Hendri memintanya membeli rokok. Semula Sri tak mau lancang bertanya untuk siapa rokok itu karena sepengetahuannya Hendri tidak merokok, tapi begitu Hendri mulai menyalakan sebatang rokok dan terbatuk-batuk, Sri terusik untuk bertanya:
“Bapak merokok?”
Hendri mengangguk pelan. “Kenapa memangnya?” agak naik nada suara Hendri. Sri mundur beberapa langkah setelah menyodorkan asbak. Sri tahu pertanyaannya tak menyenangkan Hendri. Tak pernah Hendri meningkatkan nada suara selagi bicara padanya.
“Maafkan pertanyaan, saya, Pak!. Mungkin Bapak perlu saya buatkan kopi?” tanya Sri.
“Sejak kapan saya minum kopi?” Hendri menoleh Sri dengan nada suara makin naik.
Sri terkejut beberapa saat.
“Saya pikir orang yang mulai merokok juga mulai minum kopi,” kata Sri takut-takut.
“Kamu itu kadang-kadang sok tahu juga!” bentak Hendri.
Sri benar-benar terkesiap kali ini.
“Maaf, pak! Maaf,” Sri segera mundur dan berlalu. Ia tidak habis pikir Hendri yang lemah lembut bisa sekasar itu. Sri segera masuk ke kamarnya dan sedikit gelisah. Kenapa hatinya harus menggumpal menerima bentakan seperti itu? Memang ia tidak merencanakan untuk pegang rekor tidak pernah kena marah, tapi bentakan itu sedikit mengusik rasa percaya dirinya.
Sri menggigit bibir. Ia menyesal telah mengajukan pertanyan-pertanyaan yang mungkin terdengar tolol di telinga Hendri. Selama beberapa saat rasa sesal itu bergayut di benak Sri, dan itu membuatnya tak kunjung bisa tidur. Entah kenapa demikian sedih hatinya menerima naiknya nada suara Hendri yang biasanya lemah lembut.
Ia menatap jam dinding yang menunjukkan angka dua. Itu tiga jam lebih lama dari saat ia biasanya pergi tidur. Dan ketika ia mulai berhasil memaksakan matanya untuk terpejam, ia harus ke kamar mandi untuk buang air.Ketika melintas dari kamar mandi, ia sempat melihat Hendri berada di dapur, mencari-cari sesuatu. Sri berhenti dan memberanikan diri bicara.
“Maaf, Pak Hendri. Boleh saya bantu?”
Hendri menoleh.
“Saya mencari kopi. Rasanya saya pingin mulai minum kopi”
Sri menghampiri lemari kecil di belakang Hendri. “Biar saya buatkan kopi, nanti saya antar ke meja Bapak,” kata Sri menyeka rambutnya yang awut-awutan.
Ketika meletakkan cangkir kopi di meja, Sri bisa melihat asbak rokok sudah penuh. Setidaknya ada 12 puntung rokok di dalamnya. Itu terlalu banyak untuk seorang perokok pemula.
“Terimakasih, ya, Sri,” ujar Hendri lirih.
“Ya, Pak,” Sri segera beranjak.
“Sri,” panggil pak Hendri di tengah batuk-batuk kecilnya.
“Ya, Pak!”
Hendri mengalihkan pandangannya dari layar komputer. “Saya mau minta maaf tadi membentak kamu. Saya kuatir jangan-jangan kamu jadi tidak betah tinggal di sini. Lupakan kata-kata saya tadi. Seisi rumah ini butuh kamu. Kekasaran saya tadi jangan diambil hati, ya?”
“Tentu saja tidak, Pak Hendri. Sayalah yang harus minta maaf karena lancang bicara,” kata Sri. Hendri tersenyum kecil.
“Sudahlah, pergilah tidur!”
Sri berbalik dan masuk kamar. Hendri berjalan menuju ke meja kerja dan menjejalkan batang rokok ke 13 ke asbak.
***
Sore itu, begitu sampai di rumah, Hendri mencari Sri.
“Sri, besok malam, bos dan beberapa karyawan manajemen saya undang untuk makan malam di rumah ini. Anella baru datang besuk sore, jadi saya minta kamu menyiapkan semua keperluan hidangan. Ini kartu nama perusahaan catering langganan saya, bilang kita perlu jamuan makan malam eksekutif lengkap untuk 10 orang. Kalau bisa, kau putuskan menu makanannya. Kalau tidak, biar yang memutuskan”
“Baik, Pak,” Sri menerima kartu nama perusahaan catering dan sejumlah uang.
Tugas ini membuat Sri sibuk seharian. Sri sengaja mencoba memilihkan menu makanan, mulai dari makanan pembuka, hidangan utama, dan makanan pencuci mulut serta minuman. Selebihnya, ia berkonsentrasi pada kegiatan menyiapkan ruangan berikut dekorasinya. Ia merasa tertantang untuk menghadirkan suasana yang sesuai dengan status para undangan jamuan makan. Ia menemukan beberapa item menarik dari koleksi taplak meja dan asesoris meja makan dan sekaligus menata ulang tanaman untuk disesuaikan dengan rancangan meja makan. Pada saat istirahat siang, Hendri datang sebentar ke rumah untuk memeriksa kesiapan rumah.
Agak lama Hendri memperhatikan Sri bekerja menata ruangan dan menyiapkan ini itu sebelum Hendri memanggilnya.
“Kamu bisa memotret?” tanya Hendri.
“Bisa, Pak, tapi mungkin hasilnya kurang bagus,” jawab Sri.
“Jangan kuatir, ini kamera digital, gampang cara pakainya. Ayo saya ajari sebentar,” Hendri kemudian memberikan pelajaran singkat menggunakan kamera digital. Seperti yang sudah-sudah, tidak pernah perlu terlalu lama untuk mengajari Sri hal-hal baru. Ia bisa cepat menangkap semua penjelasan serumit apapun.
Hendri puas dengan pertanyaan-pertanyaan balik Sri yang menandakan ia tak kesulitan memahami cara kerja kamera itu.
“Nah, nanti malam kau bertugas memotret. Cari sudut-sudut pemotretan yang baik, ambil gambar close-up, ambil gambar kesibukan orang menikmati makan malam, ambil gambar orang mengobrol, dan sebagainya,” kata Hendri.
“Baik, Pak!’
“Oh, ya, saya lihat kau tidak punya pakaian yang bagus. Ini, sempatkan beli pakaian yang cocok buat nanti malam,” Hendri mengangsurkan Rp 300.000 kepada Sri. Sri mengucapkan terimakasih dan tampak senang dengan uang itu.
Setelah puas dengan persiapan ruang jamuan makan, Sri bersepeda motor ke mall terdekat untuk membeli pakaian. Dengan sisa uang pembelian pakaian, ia masih punya uang cukup untuk merapikan rambut, tanpa cuci dan blow di salon di kawasan perumahan.
***
Anella belum datang sampai menjelang pukul 7 malam. Hidangan sudah tertata rapi di atas meja. Ini membuat Hendri kelihatan kurang bergairah, mungkin terlalu banyak membayangkan bagaimana jadinya jamuan itu tanpa kehadiran nyonya rumah.
Sri baru saja membantu Prisma menyiapkan baju yang sesuai dan membujuk Devi untuk ganti pakaian dari kaos oblong dan celana Bermuda ke pakaian yang lebih sesuai untuk turut menyambut tamu.
“Yang pesta ‘kan orang-orang tua, ngapaian gue mesti ikut-ikutan pakai baju rapi? Mau-mau gue pakai baju apa,” kata Devi, menolak beberapa alternatif pakaian yang disodorkan Sri.
“Tahu, nggak, Mbak Sri. Mama aja nggak pernah ngatur-ngatur begini,” kata Devi.
“Iya, tapi ini Papa yang suruh, Non Devi,” bujuk Sri.
“Bodo’ amat!” ujar Devi kesal. “Giliran pakaian mesti diatur-atur, waktu liburan kemarin giliran aku minta liburan ke Bali, Papa nggak kasih, katanya tunggu Mama nggak sibuk. Papa dan Mama tuh kapan nggak sibuknya?” Devi melotot. “Udah sana. Mbak Sri urusin yang lain!”
Sri menggeleng kecil. Devi memang agak susah diatur.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Ntar kalau Papa marah, tanggung sendiri, ya!”
“Biar aja marah! Who cares!”
***
“Oi, cakep juga nih anak Papa,” puji Hendri ketika Prisma muncul di dengan baju barunya.
“Ini baju yang mbak Sri pilihkan di mall minggu lalu. Mbak Sri juga, cakep, lihat, Pa!” Prisma menunjuk Sri yang baru muncul dari kamarnya. Hendri menoleh. Sri memang tampil agak beda dengan celana panjang hitam dan blus katun krem agak ketat berbordir bunga Azalea di dadanya plus rambut yang lebih rapi. Sungguh manis penampilan Sri dibanding sehari-harinya yang selalu berbalut celana jins dan kaos oblong. Rona lipstik tipis-tipis di bibirnya membuat ia lebih segar dan enak dipandang. Sri tersipu ketika Hendri menatapnya agak lama.
“Devi mana?” tanya Hendri menyadari agak terlalu lama ia menatap Sri.
“Non Devi nggak mau pakai baju selain yang dikenakan sekarang. Ia juga tidak mau keluar kamar,” kata Sri.
“Ya, sudahlah, biar saja!” ujar Hendri.
***
Para tamu tiba jam delapan kurang sedikit. Seorang ibu setengah baya yang baru turun dari Mercedes C 200 Kompressor pasti adalah bos Hendri. Hendri menyambutnya penuh hormat.
“Selamat malam, selamat datang, Bu. Silakan! Maaf sekali istri saya belum datang dari Semarang. Harusnya dia tiba jam lima sore tadi. Mungkin ada masalah dengan jadwal penerbangannya,” kata Hendri.
“Nggak apa-apa, Pak Hendri. Tenang saja!” jawab perempuan yang kelihatan amat anggun, cantik dan pandai menjaga wibawa lewat penampilannya itu.
“Mbak Sri, itu bosnya Papa. Namanya Bu Liandra. Ia orangnya baik sekali,” bisik Prisma.
Sri sempat menatap perempuan itu, seorang perempuan keturunan Cina, yang masih terlihat cantik dan menawan di usianya yang Sri perkirakan sekitar 45. Agak lama memandang perempuan iu, tiba-tiba jantung Sri berdegup. Sepertinya ia pernah melihat perempuan ini sebelumnya, tapi entah kapan dan di mana.
“Kamu pasti Prisma?” tiba-tiba Liandra sudah berada di hadapan Prisma. Prisma mengulurkan tangan memberi salam. Liandra sekilas melihat Sri yang berdiri mematung di belakang Prisma.
“Ini Mbak Sri,” Prisma mundur dan menggamit tangan Sri.
“Mbak Sri?” Liandra menatap Sri. Seperti Sri, Liandra-pun tertegun sesaat seolah tengah berpikir di mana ia pernah melihat Sri sebelumnya. Pandangannya terputus ketika Hendri mempersilakan Liandra dan rombongan tamu masuk ke ruang dalam.
“Saya kok tidak lihat Devi?” kata Liandra.
“Oh, maaf, Bu. Devi sedang di kamarnya, mungkin sedang tak enak badan,” kata Hendri berbohong.
Jamuan makan diawali dengan ngobrol panjang lebar soal betapa nyamannya rumah Hendri, soal berbagai macam tanaman hias yang tertata asri di dalam rumah dan saling goda sesama tamu. Jamuan yang tadinya dikira Sri akan amat resmi, ternyata tidak sepenuhnya benar. Kelihatannya, ini akan menjadi jamuan yang santai dan penuh senda gurau.
Sri mulai memotret para tamu yang asyik berkeliling rumah sambil bertukar basa-basi. Ketika para tamu mulai berkumpul mengelilingi meja makan, Liandra minta perhatian para tamu.
“Pak Hendri, saya ingin mengucapkan terimakasih atas undangan jamuan makan malam ini. Saya dan rekan-rekan kantor juga gembira bisa hadir di tengah keluarga Pak Hendri. Mereka nih, sudah pada lapar berat kelihatannya,” seloroh Liandra. Para tamu lain, lima perempuan dan empat laki-laki tertawa mendengar canda Liandra.
“Saya yang harus berterimakasih atas kesediaan Ibu hadir pada jamuan makan pada Sabtu malam yang seharusnya jadi acara keluarga bagi Bapak dan Ibu sekalian. Jamuan sederhana ini saya maksudkan sebagai ucapan terimakasih atas kepercayaan Ibu dan direksi perusahaan kepada saya. Saya sangat merasa bangga dan terhormat bisa mendampingi Ibu sebagai wakil direktur. Mohon maaf, istri saya Anella belum sampai dari luar kota. Saya harap istri saya segera datang. Saya sudah telepon, tapi HP-nya tidak aktif, mungkin ia masih berada di pesawat. Dan saya harus mohon maaf karena tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik,” Hendri mengakhiri basa-basinya.
Sri bergerak ke sana kemari mengambil gambar, di antara pada tamu jamuan, layaknya seorang fotografer beneran. Seperti yang dipesankan Hendri, Sri memotret wajah-wajah, mimik-mimik senda gurau, atau raut-raut yang serius mendiskusikan sesuatu.
Telalu sibuk memotret, Sri tak sadar salah satu tamu mendekatinya. “Mbak dari tadi motret terus, makan dong!” tamu itu, seorang muda berwajah mirip aktor ganteng Antonio Banderas berdiri di samping kanan Sri.
“Nanti saja, Pak. Saya harus memotret,” kata Sri agak jengah karena mendapat ‘teror’ berupa tatapan mata yang tak kunjung padam.
“Oh, ya, potret! Saya juga bawa kamera dan bisa memotret,” pemuda itu meletakkan piringnya, dan merogoh sesuatu dari saku jas mahalnya, sebuah kamera digital juga.
“Mbak tadi memotreti saya, sekarang giliran saya yang motret. Nah, senyum yang manis,” pria itu tiba-tiba mengarahkan kamera ke wajah Sri dan memotretnya berkali-kali. Sri tersipu-sipu dan berusaha membalikkan badan. Mana enak menjadi obyek foto tamu Pak Hendri yang baru ia kenal.
“Saya Alex, manajer pemasaran luar negeri perusahaan. Saya menggantikan Pak Hendri yang sekarang sudah jadi wakil bos,” ia mengulurkan tangan dengan gaya santai ketika puas mengambil beberapa jepretan. “Siapa namanya?”
“Saya…..saya Sri,” kata Sri terbata-bata. Agak gugup juga ia berhadapan dengan seorang pria setampan bintang film ini.
“Anggota keluarga Pak Hendri?” tanya Alex.
“Bukan, saya…..”
“Mbak Sri ini pembantu di rumah ini, Om Alex,” tiba-tiba Devi muncul di belakang Alex dan Sri, masih pakai celana pendek dan kaos oblong. Devi menyeruak ke ruang makan cuma untuk mengambil minuman dan langsung masuk lagi ke kamarnya.
“Pembantu?” ulang Alex mengerutkan kening.
“Ya, saya pembantu rumah tangga keluarga ini. Maaf, saya harus memotret lagi,” Sri melangkah menjauh. Alex menatapnya dengan pandangan tak percaya, tak rela segera melepas padangannya pada sosok langsing beraura yang bergerak lincah mengambil gambar para tamu.
Beberapa menit kemudian, Alex terlihat menempel Sri lagi. “Benar kamu pembantu?” tanya ulang Alex tak percaya.
Sri menoleh dengan sebuah senyum kecil. “100 persen pembantu, Pak. Mencuci, mengepel, memasak, membersihan rumah, mengantar anak-anak kalau ada keperluan ke luar rumah. Saya sudah kerja tiga bulan di sini,” kata Sri berusaha menjauh. Ia sempat melihat Hendri meliriknya dari kejauhan dan ia merasa tak enak kalau harus terlihat sedang berbicara dengan salah satu tamu terhormat ini.
Alex rupanya tak kendor semangat. Ia terus berusaha mendekati Sri.
“Tahu, tidak, kamu cantik! Kulitmu cemerlang,” bisik Alex di belakang Sri, tak mampu menutupi kekagumannya, “kamu seharusnya kerja kantoran”
“Selain cantik, ia juga pintar bahasa Inggris, lho, Om Alex!” tiba-tiba Prisma menyela di antara keduanya. Alex urung menelan sepotong makanan pencuci mulut.
“Oh, really? You speak English well?” Alex langsung menembaknya dengan bahasa Inggris.
“Not very well, actually. Only a little, you know Prisma is just exaggerating,” tukas Sri, merendah dan mencoba bilang Prisma cuma membesar-besarkan.
“But you really speak English well. I wonder why a nice girl with good English like you works as a…………..?” Alex terus memujinya, tak mampu menutupi kekagumannya
“House maid? PRT?” potong Sri.
“Yes, tell me why,” desak Alex, ngotot minta dikasih tahu kenapa orang secantik Sri lebih pilih kerja jadi pembantu.
“I’ve got my own reason, and I like it that way, so what’s wrong with it?” Sri menegaskan ia punya alasan kenapa jadi pembantu dan bahwa ia suka pekerjaan itu dan apa salahnya jadi pembantu.
“Well, if you excuse me ………,” Sri minta diri untuk menjauh.
Alex hendak bicara lagi ketika Hendri menepuk bahunya dan memintanya untuk bergabung dengan tamu yang lain.
Boleh dibilang konsentrasi Alex benar-benar terbelah dari menit pertama ia melihat Sri. Obrolan santai dengan tamu-tamu lain sepertinya tidak menarik hati. Boleh jadi sepanjang hidupnya ia tak pernah bertemu seorang pembantu cantik yang lancar bicara Inggris! Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Sri dan menatap setiap pergerakan Sri. Ia juga seringkali berusaha menjauh dari kelompok ngobrolnya, mencari-cari cara untuk bergerak lebih dekat ke arah pemandangan terindah malam ini yang tak lain adalah pembantu Pak Hendri
Dan ia dapat akal untuk itu.
Ia mohon diri dari rekan-rekan bicaranya dan pura-pura mengamati berbagi tanaman, yang sebetulnya mengarah ke tempat Sri berdiri.
“Bisa tolong tunjukkan kamar kecil?” tanya Alex ketika menemukan Sri di dekat garasi, tengah sibuk mempersilakan para sopir untuk mengambil makan malam mereka.
Kali ini Sri tidak terkejut kalau Alex sudah berada di dekatnya lagi.
“Ya, Pak Alex. Di ujung lorong ini, di sebelah kiri. Dijamin Bapak tak akan tersesat,” kata Sri.
“Hm, bisa tolong antar?” bujuk Alex, menebar senyum.
“Baiklah, silakan!” Sri menemani Alex mencari kamar kecil. Sri tersenyum dalam hati. Seharusnya tak perlu penunjuk jalan untuk menemukan kamar kecil di rumah itu.
“Bapak perlu saya tunggui di luar sini atau bisa cari jalan sendiri untuk kembali ke ruang makan?” kata Sri setengah menggoda ketika sampai di depan kamar kecil. Entah kenapa ia terusik untuk sedikit menggoda Alex.
Alex terkekeh kecil, merasa demikian terhibur dengan seloroh cerdas sang pembantu.
“Terimakasih, rasanya saya bisa cari jalan sendiri,” kata Alex, tak lupa menikmati wajah cantik itu.
Sri kembali berjalan ke ruang makan ketika berpapasan dengan Liandra yang sedang dalam perjalanan ke kamar kecil.
“Maaf, Ibu mau ke kamar kecil?” tanya Sri, sopan membungkuk.
“Ya”
“Masih ada Pak Alex di dalam,” kata Sri.
“Oh ya, baik, saya tunggu sebentar,” Liandra menatap Sri. Sri memberanikan diri juga menatap Bu Liandra lebih lama, ingin memastikan ia benar-benar kenal wajah ini entah di mana dan kapan.
“Kamu siapa?” tanya Liandra sementara menunggu Alex selesai dengan urusannya di kamar kecil.
“Saya Sri, Bu. Pembantu di rumah ini,” kata Sri.
“Pembantu?” kata Liandra. Kali ini Sri tidak heran orang akan bertanya balik dengan nada tidak percaya saat ia memperkenalkan diri sebagai pembantu.
“Sudah lama kerja di sini?”
“Tiga bulan, Bu”
“Asalmu dari mana?” tanya Liandra.
“Dari Malang, Bu”
“Keluargamu tinggal di Malang?” tanya Liandra lagi. Heran juga Sri mendengar seorang bos besar perusahaan bisa meluangkan waktu untuk berbasa-basi dengan seorang pembantu.
“Betul, Bu, di Malang”
“Rasanya saya pernah melihat kamu,” Liandra menatap Sri lebih lama.
“Maaf, saya juga seperti pernah melihat Ibu sebelumnya,” kata Sri, memberanikan diri.
“Oh ya?”
Pada saat itu, Alex keluar dari kamar kecil, dan Liandra masuk ke kamar kecil. Obrolan terhenti.
“Hei, kau benar-benar menunggui saya di sini!” seru Alex.
“Ah, tidak. Saya mengobrol sedikit dengan Bu Liandra,” kata Sri buru-buru menjauh ke arah berlawanan dengan ruang makan. Alex tersenyum kecil, dan kembali bergabung dengan tamu yang lain.
***
Sampai jamuan berakhir Anella belum sampai di rumah. Hendri dan para tamu memutuskan untuk tidak menunggu Anella. Liandra terlihat berbicara empat mata di sudut ruang depan dengan Hendri dalam perjalanan ke mobilnya sementara para tamu lain seolah membuat jarak untuk tidak mendekati mereka.
Sebelum pulang Alex terlihat berkasak kusuk dengan Prisma dan berakhir dengan Prisma menyerahkan secarik kertas kepada Alex.
“Thanks, bidadari kecil,” kata Alex kepada Prisma.
Tadinya Alex hendak melangkah mendekati Sri. Tapi Sri buru-buru berpura-pura membenahi ini itu dan bergerak menjauh. Alex hanya sempat melayangkan sebuah lambaian kecil ke arah Sri yang sedang sibuk membereskan piring-piring dan gelas di meja. Sri membalasnya dengan bungkukan sopan.
Ketika semua tamu sudah meninggalkan rumah, Hendri menghampiri Sri.
“Yang pilih menu tadi, kamu atau pihak catering?” tanya Hendri.
“Saya, Pak. Maaf, nggak sesuai selera, ya?” Sri kuatir.
“Tidak. Bagus sekali malah. Pilihan yang oke banget. Para tamu kelihatan suka banget. Lihat, semua makanan ludes!” puji Hendri serius. Sri lega. Tadinya, kelancangannya memilih menu bakal menuai petaka bagi Sri kalau salah memilih makanan yang cocok dengan selera orang-orang hebat itu.
***
Anella baru sampai rumah menjelang pukul 12 malam.
“Sori, aku ketinggalan penerbanganku dan tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat berikutnya. Aku diantar sopir dan mobil klien langsung dari Semarang,” Anella menjelaskan. “HP-ku habis baterai,” tambah Anella, tahu kalau Hendri bakal tanya, “kenapa tidak telepon?”
“Gimana pestanya?” tanya Anella, langsung masuk ke kamar. Sri membereskan barang-barang bawaan Anella.
“Pestanya oke, ada salam dari Bu Liandra dan rekan-rekan kantor,” kata Hendri. Anella cuma mengangguk pelan.
“Anak-anak sudah tidur, Sri?” Anella menoleh Sri.
“Sudah, Bu. Maaf, Ibu perlu saya buatkan sesuatu?” tanya Sri.
“Tidak usah, saya mau tidur,” kata Anella, langsung lenyap ke kamarnya, meninggalkan Hendri yang mulai sibuk memasang kabel USB kamera pada komputer untuk melihat hasil foto yang dibuat Sri.
“Bapak perlu saya buatkan sesuatu?” tanya Sri.
“Ya, kopi!”
PART.4
Kecuali Sri dan Bi Nani, semua orang di rumah itu bangun siang. Hendri baru bangun ketika seorang lelaki setengah baya dengan mobil Toyota Corolla Altis baru minta bertemu.
“Saya Rusman. Saya mengantar mobil dinas baru untuk Bapak. Mulai hari ini saya bertugas menjadi sopir pribadi Bapak. Mohon diterima kunci mobil, STNK, BPKB dan dokumen-dokumen inventaris kendaraan dinas. Saya tinggal di kampung seberang tak jauh dari sini. Ini nomor HP saya,” Rusman, sopir berwajah sederhana dan berpenampilan necis duduk sopan di hadapan Hendri, sambil menyerahkan berbagai berkas.
“Baik, Pak Rusman, besok saya berangkat ke kantor jam 7,” kata Hendri. “Saya akan siap di sini setengah jam sebelum Bapak berangkat,” Rusman berdiri dan mohon diri.
“Wah, Papa dapat mobil baru, nih!” Prisma berteriak girang. “Mama, Papa dapat mobil baru!” Prisma mencari Anella di kamarnya. Tapi Anella kelihatan tak terlalu bersemangat menyambut mobil baru wakil direktur. Ia terlalu mengantuk dan enggan segera bangkit dari peraduannya. Sri tahu, Anella semalam keluar kamar dan duduk lama menyendiri merokok di kursi sudut favoritnya.
Prisma dan Devi sibuk memeriksa mobil baru itu ketika Anella baru terbangun dan melongok sejenak ke garasi.
“Mama bisa pakai BMW-nya mulai besok. Nanti kita cari supir untuk Mama,” kata Hendri.
“Bagus. Tapi Mama kayaknya nggak perlu sopir,” kata Anella, menguap dan ke dapur mencari Sri, minta dibuatkan jus, dan masih dalam pakaian tidur, Anella duduk di dekat kolam renang menanti jus.
Hendri melayangkan pandangan sejenak ke arah Anella yang duduk sendiri menerawang permukaan kolam renang. Sekilas Hendri terlihat hendak menyusul Anella, tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih berjalan ke meja komputer dan men-download hasil foto dari kamera ke komputer dan mengkopinya ke beberapa buah disket.
“Sri, bawa hasil foto ini ke toko cetak digital, dan tunggui sampai jadi,” Hendri menyerahkan dua disket kepada Sri. Sri mengangguk dan segera mendorong keluar sepeda motor.
Ketika menerima 50 lembar hasil cetak foto di toko cetak foto digital, Sri sempat tersenyum simpul menatap foto Alex. Senyumnya berubah menjadi getar kecil di hati tatkala memandang foto close-up Liandra. Harus ia akui wajah perempuan ini benar-benar mengusiknya. Tak pernah sedemikian penasaran ia untuk segera bisa mengingat kapan dan di mana ia pernah bertemu dengan perempuan ini.
Sri minta petugas pencetak foto membuat masing-masing satu cetakan ekstra untuk berbagai pose Liandra. Tiba-tiba Sri merasa perlu untuk memiliki foto-foto Bu Liandra.
***
Suasana hari Minggu itu benar-benar terasa dingin. Meski Prisma dan Devi berusaha mencairkan kebekuan antara Hendri dan Anella dengan berbagai tingkahnya, kelihatannya Hendri dan Anella susah untuk menikmati waktu bersama.
Sri bisa melihat sumber kebekuan itu adalah Anella. Setiap Hendri berusaha bicara agak panjang kepada Anella, Anella hanya menyambutnya dengan sepotong-sepotong, seolah-olah Anella menolak untuk menjadi bagian dari keceriaan hari Minggu keluarga itu. Sri yakin ada sesuatu di antara suami-istri ini. Itu sebetulnya bisa dirasakannya sejak ia hadir di rumah ini tiga bulan lalu, dan belakangan ini makin terasa.
Bi Nani tak enak badan. Mungkin teralu capek. “Aku seperti berbadan dua, Sri. Yang satu sehat, yang satu sakit,” kata Bi Nani.
“Hus, Bibi. Berbadan dua itu artinya hamil. Masak Bibi hamil?”
Setelah dikeroki Sri, Bi Nani memilih tidur, dan itulah sebabnya Sri harus mengambil alih pekerjaan mencuci dan pekerjaan-pekerjaan lain Bi Nani. Saat membolak-balik jaket jeans Anella untuk dicuci, secarik kertas meluncur dari saku jaket. Sri memungutnya. Sri tahu itu adalah sobekan boarding pass. Ia sering menemukan sobekan serupa di taxi ayahnya yang memang melayani rute bandara. Tak sengaja Sri membaca boarding pass dengan nama Anella, dan penerbangan Lion Air dari Surabaya jam 19.45 tanggal kemarin.
“Surabaya? Bukankah Anella mengatakan ia diantar sopir klien pakai mobil dari Semarang?” bisik Sri dalam hati. “Kenapa Anella mesti berbohong? Eh, ini bukan pula bohong pertama. Pada hari pertama Sri mulai kerja di rumah ini, Anella juga pernah berbohong soal oleh-oleh yang katanya dari Jogja dan ternyata dibeli di toko swalayan di seputaran perumahan?”
Sri mengernyitkan dahi dan memutuskan tidak ikut rumit dengan urusan majikan. Ia terus mencuci, menyeterika dan sibuk terus dengan pekerjaan Bi Nani sampai sore hari. Ia baru sempat beristirahat sejenak manakala HP-nya menderingkan ring-tone sms.
“Hi, lagi ngapain, Sri? Ini Alex. Aku punya foto-foto kamu. Kamu manis banget,” demikian bunyi sms itu. Sri terpaku sesaat. Agak luar biasa sms itu baginya; seorang manajer perusahaan hebat mengirim sms buat seorang pembantu.
Ragu-ragu Sri menekan tombol reply dan menulis, “Maaf, kok Pak Alex tahu nomor HP saya?”
Sebentar kemudian Sri mendapat balasan. “Hasil kolusi dengan Prisma, he he he. Tidak keberatan fotomu aku simpan?”
Sejenak Sri tak menemukan kata-kata untuk membalasnya. Sungguh ini situasi yang membuat hatinya galau.
Dan terpaksalah ia menulis, “Silakan, Pak Alex”
Dan inilah balasannya, “Thanks, Sri. You know what, I keep staring at the photos, wondering when I can meet you again,” Alex bilang ia terus memandangi foto-foto Sri dan pingin tahu kapan ia bisa ketemu Sri lagi.
Sri merebahkan diri di tempat tidurnya dan menatap langit-langit, dan memutuskan untuk tidak membalas sms itu. Tapi tidak demikian dengan Alex. HP Sri berdenyut lagi. Alex lagi. “Why didn’t you answer my question?”
Sri tetap pada keputusan untuk tidak menjawab sms itu. Dan kali ini, HP Sri berdering-dering, enyembulkan nomor HP Alex, selama beberapa menit, menimbulkan 10 kali daftar missed calls.
Pada dering ke-sebelas akhirnya Sri luluh juga. Dipencetnya tombol terima telepon.
“Nah, akhirnya kau menjawab juga,” Sri mendengar suara Alex.
“Maaf, Pak Alex, saya lagi sibuk kerja,” kata Sri.
“Oke, aku minta waktu beberapa detik. Seperti aku bilang di sms, entah kenapa aku tidak bisa melupakanmu sejak pertemuan semalam. Mm, mungkinkah aku bisa menemuimu suatu saat?” tanya Alex, dengan suara manis.
“Maaf, Pak Alex, apa yang bisa saya bantu?” tanya Sri, berusaha mengembalikan suasana ke nuansa yang lebih formal.
“Tidak ada yang bisa kau bantu selain kau Bantu mudahkan aku menemuimu,” kata Alex, ‘maut’ dan merayu sekali kalau diteliti nada suara itu.
“Maaf, kenapa Bapak harus ketemu saya?” kata Sri.
“C’mon, Sri, I just want to see you!” rajuk Alex lagi. Sri terdiam beberapa saat, sulit membayangkan bagaimana seorang macam Alex bisa demikian ngotot ingin bertemu dengannya.“Saya mohon maaf, Pak Alex. Saya tak bisa, saya sibuk sekali dengan pekerjaan. Lagi pula, saya tidak mengerti kenapa Pak Alex mesti ingin ketemu saya. Pak Alex seorang manajer perusahaan, dan saya seorang pembantu rumah tangga, saya benar-benar tidak mengerti!” kata Sri.
“Ok, just let me make it simpler. I like you, okay,” akhirnya Alex mengaku ia suka Sri. Muka Sri menjadi merah, andai saja Alex tahu itu.
“Sorry, Sir, but this is wrong. Really wrong. I am very sorry, I have to go now. Good bye!” Sri menutup telepon. Dibiarkannya telepon terus meraung-raung.
Karena tak juga berhenti selama beberapa saat, Sri mematikan teleponnya. Bisa dibayangkan betapa jengkelnya sang manajer ketika teleponnya tidak diacuhkan oleh seorang pembantu rumah tangga.
***
Kalau Sri selama ini terkagum-kagum dengan pesona kecantikan dan bentuk tubuh Anella, maka iapun harus membagi kekaguman kepada seorang perempuan muda yang datang dengan taxi sore itu.
“Mbak Sri, ini Tante Astrid, adik Mama dari Bandung,” Prisma menghela tangan Sri dan memperkenalkannya pada seorang perempuan muda yang bagai pinang dibelah dua dengan Anella. Yang membedakan perempuan ini dengan Anella adalah bahwa ia lebih muda dan lebih ceria.
Astrid menyalami tangan Sri tanpa minat dan lebih suka bergerak cepat ke arah Hendri yang menyambutnya. Astrid mencium kedua belah pipi Hendri. Kanan, kiri dan kanan lagi.
“Gimana kabarnya, Mas? Teteh Anella mana?”
Anella muncul dari kamar kerjanya.
“Hei, centil, katanya datang siang tadi?” sapa Anella, mencium pipi
adiknya.
“Harusnya memang siang tadi, tapi ada sedikit urusan mendadak di Bandung tadi,” jawab Astrid.
“Sri, angkat barang Bu Astrid ke kamar tamu,” perintah Anella.
Astrid dan Anella selebihnya mengobrol panjang lebar di ruang tamu, tak memperhatikan kehadiran Sri yang menyuguhkan minuman dingin.
“Ok, Teh, seperti aku bilang di telepon kemarin, aku dapat panggilan wawancara di dua tempat di Jakarta ini, satu di biro iklan dan satu di televisi swasta. Rangkaian wawancaranya di biro iklan mulai besok dan audisi di dua televisi swasta minggu depan, jadi aku akan tinggal beberapa hari di sini. Mobilnya ada yang bisa aku pinjam, kan?” kata Astrid.
“Beres, pakai Kijang. Eh, ngomong-ngomong, kamu ini orang paling aneh di dunia. Sudah bolak-balik aku bilang tak usah payah-payah cari kerja, aku dan Mas Hendri kan bisa kasih kerjaan buat kamu,” kata Anella.
“Nah, itu dia yang aku nggak suka. Ini jaman reformasi, sebisanya kita tidak ikut ambil bagian dalam kolusi dan nepotisme. Lagian, aku sarjana komunikasi, mana cocok aku kerja di konsultan administrasi perkantoran milik Teteh atau di perusahaan Mas Hendri yang ekspor-impor garmen itu,” celoteh Astrid.
“Terserah kamulah! Nanti kalau tidak diterima di dua tempat itu, kau pasti melirik tawaran kami,” kata Hendri ikut bicara.
“Ah, pasti diterima lah, kebangetan kalau biro iklan atau televisi menampik calon pegawai secantik gue, ya nggak, Dev?” seloroh Astrid menoleh Devi yang duduk di dekatnya.
“Ya, Tante. Kalau dibanding dengan presenter-presenter TV yang ada saat ini, mereka itu lewwaaat!” ujar Devi.
“Eh, ngomong-ngomong, Teteh masih sering ke luar kota?” tanya Astrid.
“Masih. Tapi kayaknya dua tiga hari ini nggak ke mana-mana,” kata Anella.
“Oke, deh. Sekarang aku mandi dulu, terus mau ke mal cari baju buat wawancara besok. Minta duitnya, dong!” Astrid menadahkan tangan.
“Ya, ya beres. Mandi sana dulu, ntar biar ditemani Sri ke mall buat bawa barang belanja kamu,” kata Anella.
***
“Kamu sudah lama jadi pembantu di rumah kakakku?” tanya Astrid sambil mengemudi menuju mall.
“Tiga bulan lebih, Bu,” jawab Sri.
“Jangan panggil gue, ‘Bu’ dong, gue’ kan belum jadi ibu-ibu,” kata Astrid. Panggil aja, ‘mbak’”
“Ya, Mbak!”
“Katanya kamu dari Malang?” tanya Astrid.
“Betul, Mbak!”
“Kata Prisma kamu pinter Bahasa Inggris?”
“Pinter sih nggak, Mbak. Paling bisa bantu Devi dan Prisma bikin PR Bahasa Inggris.
“Eh, Teteh Anella sering banget ya pergi ke luar kota?” tanya Astrid.
“Sering, Mbak. Suka lama kalau di luar kota,” kata Sri.
“Anak-anak, gimana dong?”
“Nggak masalah, anak-anak mengerti kesibukan mamanya,” kata Sri.
“Ya, untung ada kamu. Dengar-dengar kamu sabar ngurusin anak-anak”
“Ya, Mbak, itu kan tugas saya,” ujar Sri.
“Kasihan Mas Hendri juga sering-sering ditinggalin,” kata Astrid lagi.
“Ngomong-ngomong, kamu suka kerja di rumah kakak saya?”
“Ya, suka. Bapak dan Ibu Hendri baik sekali. Anak-anak juga baik,” kata Sri.
“Eh, aku mau nanya ya, jawab yang jujur. Gimana hubungan Mas Hendri dan kakakku?” tanya Astrid.
“Maksud Mbak?” Sri tak langsung faham pertanyaan Astrid.
“Maksud aku, itu lho, harmonis nggak? Atau menurutmu ada yang nggak beres di antara keduanya?”
“Saya tidak tahu, Mbak. Rasanya sih tidak ada masalah,” jawab Sri.
“Kamu gimana, sih? Masak sudah tiga bulan lebih kerja di situ nggak tahu bagaimana hubungan mereka?” kata Astrid. “Soalnya, kakakku sering komplain lewat sms kalau Mas Hendri tuh makin tidak perhatian sama dia, terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan terlalu dekat dengan Bu Liandra, bosnya. Apalagi sekarang dia jadi wakil direktur perusahaan”
“Menurut saya sih, sebaliknya,” akhirnya Sri tertarik untuk turut berpendapat.
“Sebaliknya gimana?” tanya Astrid penuh minat, berbelok ke jalan masuk mall.
“Yang sibuk sekali itu Bu Anella, jarang di rumah dan kalau ada di rumah jarang sekali kelihatan ngobrol bareng atau keluar sama-sama dengan anak-anak,” kata Sri.
“Oh, ya? Kalau soal kakakku sering ke luar kota sih aku tahu, tapi kalau soal nggak banyak saling bicara dengan Hendri di rumah itu aku baru tahu dari kamu,” kata Astrid. “Itulah yang aku tanyakan tadi”
“Itu cuma menurut saya, lho, Mbak Astrid. Mungkin juga salah,” kata Sri. Astrid manggut-manggut. Pembicaraan terhenti karena Astrid harus ngomel lantaran sulit mencari tempat parkir yang kosong.
“Oke, gini, Sri. Aku suka jalan sendiri. Kita pisah di sini, kamu terserah mau ke mana asal tetap di mall ini. Nanti kalau aku perlu kamu, aku telepon kamu. Beri aku nomor HP-mu,” kata Astrid.
Sri memberikan nomor HP-nya. Astrid membuat missed-call ke HP Sri untuk bertukar nomor. Astrid langsung hilang di antara deretan toko-toko busana di mall, sementara Sri melayangkan pandangan ke seluruh sudut mall mencari tempat yang tepat untuk menunggu.
Ia menemukan sebuah tempat duduk kayu yang dinaungi beberapa pohon plastik dan mulai membaca The Upanishads, Breath of the Eternal, karya Swami Prabhavananda dan Frederick Manchester, sebuah buku saku yang sejak tadi diselipkan di saku belakang celana.
Satu jam kemudian, Astrid menelepon dan minta ditemui di sebuah toko busana.
“Bawa ini, aku masih harus cari yang lain,” Astrid menyerahkan 3 buah shopping bag dan langsung meninggalkan Sri sendiri. Sri kembali lagi ke bangku meneruskan membaca, dengan tas belanja di di sampingnya.
Sri baru saja membalik satu halaman buku ketika sebuah suara menyapanya.
“Hi, what a surprise! Di sini kau rupanya,” tiba-tiba saja ‘Antonio Banderas’ sudah berdiri di hadapannya.
“Pak Alex, selamat malam!” sapa Sri.
“Ngapain kamu di sini? Habis shopping, nih?” tanya Alex.
“Me? Shopping! No, ini punya Mbak Astrid, adiknya Bu Anella, Pak”
Alex duduk di samping Sri, dekat sekali. Sri beringsut beberapa desimeter, merasa sangat tak enak duduk terlalu dekat dengan Alex.
“Aku coba berkali-kali nelepon kamu sore tadi, HP-mu kau matikan,” kata Alex.
“Baterai habis, Pak, belum sempat nge-charge,” ujar Sri.
“Ah, kamu nggak pintar berbohong. Bisa kulihat dari wajahmu. Kamu bohong, kan?”
Sri tidak menjawab. Nyatanya memang dia berbohong.
“Begini, Sri. Mungkin kamu menganggap aku main-main ketika aku bilang aku suka kamu. Aku maklum, itu karena aku manajer di perusahaan Pak Hendri dan kau pembantu rumah tangga di rumah Pak Hendri. Tapi percayalah, tak ada salahnya seorang menajer berteman dengan seorang pembantu. Setidaknya, aku tidak melihat itu sebagai masalah,” kata Alex, menatap mata Sri dalam-dalam. Sri tak berani menatap mata Alex.
“Saya…..”
“Okay, stop making excuses. Akan kubuktikan aku nggak ada masalah berteman sama kamu…”
“Pak Alex, maaf sekali kalau saya tanya. Tadi di telepon Pak Alex bilang suka sama saya?”
“Persis. Itu tadi yang saya katakan”
“Kenapa ……kenapa Pak Alex suka sama saya? Saya cuma seorang pembantu,” kata Sri, masih tidak
menatap mata Alex.
“Wah ini pertanyaan yang diulang-ulang,” kata Alex. “Well, kamu mungkin cuma seorang pembantu, tapi aku melihat kamu sebagai someone special. Apa salahnya?”
“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melihat seorang terhormat seperti Bapak bisa ngotot ingin berteman dengan seorang rendahan seperti saya. Di kantor Bapak mengurusi masalah pedagangan luar negeri dan pekerjaan-pekerjaan mewah. Bapak juga pasti berteman dengan banyak orang terhormat. Sedangkan saya, pekerjaan saya menyapu, mengepel, mencuci, disuruh ke sana ke mari. Jaman dulu, pekerjaan saya ini namanya ‘babu’, dan itu sama sekali bukan merupakan pekerjaan yang bergengsi. Tidakkah itu merendahkan Bapak?” Sri kelihatan memberanikan diri melayangkan kalimat yang berbau menasehati.
“Nah, lihat! Caramu bicara itu menunjukkan kau seorang yang cerdas sekaligus rendah hati. Itulah sebabnya saya menyebutmu spesial. Tidakkah kau tahu itu?” tanya Alex, serius sekali mimiknya. Sri tak bereaksi.
“Oke, gini aja. Aku bisa buktikan aku bahkan tidak malu jalan sama kamu,” kata Alex. “Sekarang ini aku perlu bantuan. Bantuan dari seorang teman”
Sri menatap Alex sejenak, memastikan Alex bicara sungguh-sungguh.
“Kau mau membantu saya?” tanya Alex.
“Kalau saya bisa, Pak,” kata Sri.
“Baik. Aku perlu belanja pakaian untuk kuhadiahkan kepada seseorang, seorang wanita. Dia seumuran kamu, perawakannya seperti kamu. Aku tidak pengalaman dengan pakaian wanita. Aku takut salah menilai seleranya. Kulihat, selera pakaianmu oke banget semalam. Aku minta kamu menemani aku ke toko itu untuk memberi aku saran pakaian yang mesti aku beli,” Alex menunjuk sebuah toko busana bermerek tak jauh dari tempat mereka duduk. “Caranya gampang, tunjuk saja jenis pakaian yang kau sukai, dan aku yakin iapun akan menyukainya,” kata Alex.
Sri tak segera menjawab. Alex berdiri duluan.
“Come on, please!” bujuk Alex.
Perlahan Sri menutup bukunya dan berdiri. Alex kelihatan senang sekali dengan kemajuan itu. Sri menunggu Alex jalan duluan karena ia berpikir dia harus berjalan satu atau dua langkah di belakang Alex. Tapi Alex malah menunggunya dan dengan demonstratif mengisyaratkan bahwa ia ingin Sri berjalan berdampingan tanpa jarak darinya.
Berjalan bersama Alex dari satu counter ke counter lain di toko busana ini sungguh membuat Sri luar biasa canggung. Tapi kecanggungan itu seperti tak tampak pada Alex. Ia enak saja menggiring bahu Sri dari satu tempat ke tempat lain manakala Sri belum berhasil menunjuuk satu pakaian yang menurutnya bagus. Berkali-kali Sri berusaha menghindar rengkuhan Alex dan mencoba mengingatkan Alex lewat sorotan mata yang mengisyaratkan agar lengan Alex tak perlu repot-repot menempel di bahunya.
“Bawahan yang ini dan atasan yang ini saya kira cocok untuk bersantai. Saya sarankan yang ini,” Sri menunjuk sebuah celana hitam ketat berkain lentur dan blus yang sedap dipandang buat santai sekaligus buat keperluan resmi.
“Benar kau suka yang ini atau ini sekadar cara agar kau bisa segera menjauh dari aku?” kata Alex.
“Ini saya suka. Mudah-mudahan teman Bapak juga suka,” kata Sri.
Tanpa banyak bicara Alex memerintahkan penjaga toko untuk membungkus setelan itu. Sri bisa melihat mesin di kasir menunjukkan angka 999.000 ribu untuk dua item pakaian itu.
“Terimakasih atas bantuannya, “ kata Alex tersenyum. “Sekarang, alangkah tidak sopannya saya kalau tidak membalas jasa baik seorang teman yang telah memberikan advis berharga ini. Gimana kalau kamu saya traktir es krim di café itu?” Alex kali ini menunjuk sebuah café di seberang toko busana.
“Tidak, terimakasih. Saya harus menunggu Mbak Astrid. Kalau dia menelpon saya harus segera menemuinya,” kata Sri.
“Ayolah, Sri. Tak perlu kau selalu mengatakan ‘tidak, terimakasih’ untuk balasan jasa baik seseorang. Percayalah, makan es krim dengan saya tidak akan mencederaimu,” kata Alex, “Please!” Alex memohon.
Tak kuasa Sri menolak itu. Sri mengangguk pelan. Alex menggerakkan kepala agar Sri segera memutuskan untuk ikut meluncur ke café itu.
Ketika pelayan café menyodorkan menu, Sri membolak-balik halaman dengan canggung. Alex tahu Sri pasti merasa asing dengan nama-nama menu café itu.
“Kita pesan ini saja, ya. Kopi dengan es vanilla di atasnya. Ini kesukaan saya. Kamu pasti suka,” kata Alex.
“Terserah Pak Alex saja,” kata Sri.
Alex memesan dua kopi dan dua almond croissant, jenis makanan berbentuk bulan sabit dengan potongan biji kenari yang membuat Sri kelihatan seperti menebak-nebak bagaimana cara makannya. Alex dengan pernuh perhatian memberikan contoh memegang garpu dan pisau, memotong makanan itu dan melahapnya.
“Ayo, coba. Ini enak,” tutur Alex.
Sri baru saja hendak mencicipi croissant-nya ketika Astrid sudah berada di sebelahnya.
“Di sini kau rupanya? Aku telepon terus kok nggak diangkat, sih?” Astrid setengah berteriak jengkel. Sri spontan berdiri dan merogoh HP. Ternyata HP itu mati karena baterai habis.
“Maaf, Mbak. Baterainya habis,” ujar Sri. Astrid maunya mengomeli Sri tapi pandangannya terhenti pada sosok yang duduk semeja dengan Sri.
“Alex, ya?” tiba-tiba Astrid menyapa.
“Astrid? Astaga! Sri tadi bolak-balik menyebut nama kamu. Aku baru sadar kalau itu adalah kamu. Jadi kalian belanja bareng?” Alex menunjuk jarinya dari Sri ke Astrid ke Sri ke Astrid lagi.
“Bukan belanja bareng. Sri bawain barang aku,” ralat Astrid.
“Kapan datang dari Bandung?” tanya Alex.
“Tadi sore. Kamu ngapain di sini?” balas Astrid.
“Ngapain lagi, hang-out lah!” ujar Alex.
“Kok kamu bisa ngopi sama Sri?” Astrid melontarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia lontarkan.
“Aku ketemu dia lagi nunggu kamu. Aku kenal dia semalam di rumah kakakmu, waktu ada jamuan syukuran jabatan baru Pak Hendri,” jelas Alex. “Eh, Sri, tahu tidak, Pak Hendri pernah ngenalin aku ke Astrid sekitar dua tahun lalu di kantor Pak Hendri,” Alex menoleh Sri, kemudian menyuruh Astrid duduk.
“Sini gabung sekalian. Mau pesan apa?” Alex meraih satu kursi dari sebelah untuk Astrid. Sri jadi merasa sangat gerah duduk di antara orang-orang hebat ini. Itulah sebabnya ia perlu mengatakan ini.
“Maaf, boleh saya tunggu di luar saja?” kata Sri.
“Jangan, kau kau di sini saja,” kata Alex.
“Maaf, tapi saya harus ke kamar kecil,” kata Sri.
“Ya, udah, kamu ke kamar kecil dan tunggu di luar, nanti aku cari kamu. Sekalian bawa semua belanjaan ini,” kata Astrid, mendorong tiga tas belanjaan tambahan. Susah payah Sri membawa ke tiga kantong belanjaan plus tiga yang terdahulu.
“Terimakasih atas traktirannya, Pak Alex,” kata Sri membungkuk penuh hormat, dan berbalik.
“Sri, tunggu!” Alex mencoba menahan Sri dengan sorot matanya. Tapi Sri lebih suka segera menyingkir dari tempat itu.
“Gila, kamu ngajakin dia makan! Kau tahu tidak dia itu pembantu rumah tangga kakakku?” kata Astrid begitu Sri menjauh.
“Tahu. Semalam dia memperkenalkan diri sebagai pembantu,” jawab Alex. “Aku suka dia. Dia orangnya baik dan cerdas, nggak kayak pembantu pada umumnya,” tambah Alex seolah tahu Astrid bakal mengajukan pertanyaan itu.
“Ih, seleramu aneh banget, deh!” kata Astrid. “Dulu setiap kali aku ngajak kamu jalan bareng, kamu ogah-ogahan, tahu nggak?” kata Astrid. Alex Cuma tersenyum.
“Kamu ngapain di Jakarta?” Alex mengalihkan pembicaraan.
“Ada wawancara dan dua audisi di tempat yang berbeda-beda. Aku seminggu di Jakarta. Mau nggak nemenin aku jalan di waktu senggangmu selama aku di Jakarta?” kata Astrid. Alex tak segera menjawab.
“Oh, aku tahu. Kamu takut ya pacarmu yang pramugari itu marah?”
“Nggak juga. Aku nggak pacaran sama dia lagi,” kata Alex.
“Berarti kamu kosong, dong? Please, temenin aku selama di Jakarta, ya?” rajuk Astrid.
“Ya, deh kalau pas lagi nggak sibuk!” jawab Alex, tanpa semangat yang jelas.
“Gitu, dong. Nomor HP kamu masih yang dulu, kan? Aku masih punya nomormu”
“Ya”
“Itu belanjaan kamu?” Astrid memperhatikan sebuah tas belanjaan di kursi kosong di sebelah Alex. “Dari koleksi busana cewek. Boleh lihat nggak?” Astrid langsung meraih tas belanja itu sebelum Alex bilang ‘ya’. Astrid dan membukanya, terus mengeluarkan isinya.
“Wih, keren banget!” komentar Astrid. “Sebentar! Aku tadi lihat pakaian ini. Begitu lihat aku langsung naksir. Waktu aku balik lagi buat beli yang ini, pelayan toko bilang barangnya sudah terbeli. Ternyata kamu yang beli. Buat siapa memangnya? Cewek kamu?”
“Hm, gitu deh kayaknya,” jawab Alex.
“Buat aku boleh nggak?” tanya Astrid mendekap pakaian itu, melempar kerling menggoda.
“Hm, hm, gimana, ya?” Alex ragu-ragu mengiyakan.
“Bilang, ‘ya’, susah amat sih. Sekali-sekali kamu perlu juga nraktir pakaian buat cewek yang pernah dan masih sangat naksir kamu,” kata Astrid.
“Bener kamu suka pakaian itu?”
“Bener. Ini cocok banget buat wawancara besok,” kata Astrid.
“Ya, deh!” kata Alex akhirnya.
“Wah, thanks banget, ya, Lex!. Kamu memang super baik hati!”
Alex cuma termangu-mangu. Habis kata-kata dia.
***
Hampir satu jam lamanya Sri berdiri menunggu, bersandar di pagar besi lantai tiga mall itu. Alex dan Astrid akhirnya keluar juga dari café.
“Oke, aku pulang dulu. Besuk aku nelepon kamu dan jangan lupa kamu janji nemenin aku jalan,” kata Astrid. Alex mengangguk pelan, dan menatap Sri yang berdiri menunggu dengan sabar. Alex mengangsurkan sebuah bungkusan kertas pada Sri.
“Almond croissant kamu tadi tak sempat kau habiskan. Ini aku pesankan lagi buat dimakan di rumah,” kata Alex. Malu-malu Sri menerima bungkusan itu.
“Terimakasih, Pak!”
“Kamu nganter aku sampai parkiran, kan?” Astrid meraih lengan Alex dan menghelanya. Alex tak bisa berbuat banyak selain mengikuti langkah Astrid, sementara Sri mengikuti dari jarak dua meter di belakang mereka. [bersambung]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
