“Makan yang banyak biar wawancaranya oke,” Hendri menyapa ketika keluar dari kamar dan bergabung untuk sarapan.
“Pagi, Mas. Nggak nyambung deh antara sarapan dan wawancara yang oke. Teteh belum bangun?” tanya Astrid.
“Kayaknya kakakmu itu capek sekali. Lagian sarapannya cuma jus buah. Kita sarapan saja dulu,” kata Hendri.
“Mas, bajuku oke nggak?” Astrid memamerkan setelan barunya.
“Bagus, cocok sekali buat kamu, cantik dan sexy,” kata Hendri asal-asalan.
“Ah, Mas Hendri ngeledek banget, nih!” Astrid tertawa renyah.
“Mas tahu nggak, aku ketemu Alex anak buah mas itu semalam di mall? Dia belikan aku pakaian ini,” kata Astrid.
“Alex belikan kamu itu?” Hendri berhenti mengunyah makanan sesaat.
“Ya, kenapa? Dan ini nih, aku ketemu dia lagi ngopi bareng Sri di café,” lanjut Astrid.
Kali ini Hendri benar-benar berhenti mengunyah makanan.
“Sri pembantu kita itu?” tanya Hendri tak percaya.
“Iya, tadinya kan aku memang suruh dia tunggu sebab aku nggak mau ribet belanja sambil dikuntit pembantu,” jelas Astrid.
“Kok mereka saling kenal, ya?” tanya Hendri.
“Kata Alex, ia kenal Sri saat jamuan makan malam Minggu itu di sini,” tutur Astrid. Hendri manggut-manggut dan tercenung sesaat.
“Alex mau nemenin aku jalan selama aku di Jakarta di waktu senggangnya,” kata Astrid lagi tak memperhatikan Hendri yang berhenti total sarapannya.
“Kamu masih suka dia rupanya?”
“Ya, begitulah, dia cakep banget soalnya, dan dia bilang saat ini dia nggak punya pacar,” Astrid tersenyum.
“Memangnya kamu sendiri belum punya pacar?” tanya Hendri.
“Ada sih di Bandung, tapi nggak serius”
“Jadi kamu mau melanjutkan usaha dan daya upayamu untuk mendapatkan Alex?” tanya Hendri.
“Busyet deh bahasa Mas Hendri, sudah pakai ‘usaha’ masih ditambah ‘daya dan upaya’ lagi,” Astrid terbahak.
“Doain ya, Mas Hendri,” Astrid menyentuh punggung tangan Hendri yang terletak di atas meja.
“Ya, deh, semoga sukses, biar dia segera beristri. Umurnya sudah di atas tiga puluh. Cuma dia manajer yang belum berkeluarga di perusahaan,” kata Hendri.
Diam-diam Sri menatap Astrid dari celah-celah pintu dapur. Ia baru tahu pakaian yang kata Alex ditujukan untuk seorang teman itu ternyata kini menempel di tubuh Astrid. Itu berarti Alex urung menghadiahkan pakaian itu buat teman yang dimaksud semalam. Atau itu memang buat Astrid?
“Lagi ngeliatin apa, Sri?” Bi Nani yang asyik mengunyah croissant pemberian Sri menegurnya.
“Itu, Bi Nani. Mbak Astrid, cakep sekali,” kata Sri.
“Cakep memang, tapi ia itu seperti air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga, genit banget, pacarnya banyak,” kata Bi Nani, seperti biasa, diselingi perumpamaan yang tidak klop.
“Kok Bi Nani tahu?”
“Ya tahu. Dia kan sering tinggal di sini selama beberapa hari. Kalau lagi tinggal di sini ibaratnya ada gula ada semut, hampir setiap malam ada saja laki-laki yang berkunjung, dan gonta-ganti,” kata Bi Nani.
“Bi Nani jangan begitu! Siapa tahu mereka itu cuma teman. Kan Mbak Astrid punya banyak teman”
“Masak kalau teman pakai ciuman segala?” tutur Bi Nani. Sri menatap Bi Nani. Bi Nani mengusap mulutnya yang belepotan remahan croissant.
“Setengah tahun lalu, Non Astrid tinggal sebulan di sini. Suatu malam ada cowok datang. Sebelum itu cowok pulang, mereka ciuman pakai bibir di beranda, begini nih,” Bi Nani memonyongkan bibir menirukan gerakan berciuman. “Dua hari kemudian ada cowok lain, dan waktu Non Astrid mengantar itu cowok ke mobil, ia ikut nyusul ke mobil dan mereka lama berciuman di mobil. Saya lihat sendiri waktu nungguin pintu depan. Jadi pingin deh!”
Sri tersenyum mendengar celoteh Bi Nani. Tak disangka, bibi tua ini ternyata juga seorang pengamat perilaku orang.
Obrolan tentang Astrid terhenti saat Hendri dan Astrid selesai makan dan berangkat untuk keperluan masing-masing. Hendri diantar Pak Rusman dan Astrid pakai BMW. Anella yang baru bangun tidur, hanya melambaikan tangan dari pintu kamar.
***.
Sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar rumah sore hari saat Sri menyiram tanaman di halaman depan.
“Kiriman paket kilat, Mbak. Buat Sri,” pengemudi motor itu menyorongkan sebuah kotak terbungkus kertas manakala Sri membuka pagar.
“Saya Sri,” kata Sri.
“Kalau begitu, tolong tandatangan di sini,” kata si pengantar paket.
Setelah menandatangani tanda terima itu, Sri membolak-balik kotak itu mencari nama si pengirim. Secarik kertas kecil menempel di ujung paket, ada nama Alex di situ. Sri bergegas ke kamarnya dan membuka paket itu. Dalam kotak ia mendapati setelan pakaian yang tak kalah cantiknya daripada yang ia tunjuk semalam ketika membantu Alex mencarikan pakaian buat seorang teman.
Sri merentangkan pakaian itu di hadapannya. Secarik surat terjatuh dari lipatan pakaian. Sri membukanya : “Sri yang baik, semalam aku minta tolong kamu mencarikan pakaian buat seorang teman wanita. Sayang pakaian yang kau pilih itu terpaksa jatuh ke tangan yang salah. Tadi siang aku ke mall, dan mencari pakaian yang mungkin akan kau tunjuk bila aku minta kau yang pilih. Seperti yang aku katakan semalam pakaian ini buat seorang teman yang aku kagumi. Tidak sabar aku mengatakan teman itu adalah kau. Pakaian ini milikmu sekarang. Jangan menolaknya. Alex”
Sri mendekap pakaian itu dan tak tahu harus berbuat apa. Ia juga bahkan tak bisa membayangkan kapan ia akan punya kesempatan mengenakan pakaian itu. Sri tengah merasakan halusnya blus kiriman Alex degan jarinya ketika HP-nya mendengungkan nada sms.
“Kau suka pakaian itu?” tanya Alex dalam sms. Sri tak segera menjawab. Sepuluh menit kemudian sms Alex datang lagi.
“Bisakah kau ke luar ke mall semalam nanti malam jam tujuh. Aku tunggu kamu di bangku mall tempat kau duduk semalam. Jangan tidak datang”
Sri tercenung beberapa saat. Sungguh kiriman pakaian dan sms Alex membuat resah hatinya. Dan sampai pukul tujuh lewat ia tak mampu memberikan jawaban yang tepat untuk sms Alex. Bukan saja karena ia sibuk menyiapkan makan malam dan bersiap diri melayani Prisma dan Devi berdiskusi PR mereka, tapi karena ia melihat permintaan Alex sungguh merupakan move yang terlalu cepat dan gegabah, yang mengira Sri cuma sesosok remeh bergelar pembantu yang dengan mudah bisa dibuat senang dan menyerah oleh sepotong busana mahal.
Tapi toh pikiran itu tak mengurungkan niat Sri untuk ingin tahu bagaimana penampilannya dalam pakaian itu. Menjelang tengah malam, ketika dipastikan tak ada seorangpun di rumah itu yang membutuhkannya, ia mencoba mengenakan pakaian itu. Sri tersenyum sendiri menatap sosoknya di cermin dalam busana itu. Ia juga tergoda untuk menyisir rambut, memoles wajahnya dengan sedikit bedak dan mengoleskan lipstik tipis-tipis di bibirnya agar dekorasi rautnya selaras dengan keanggunan pakaian yang menempel di tubuh.
Dan saat itulah pintu tiba-tiba diketuk dari luar.
“Sri, kalau kau belum tidur, tolong bantu saya,” itu suara Hendri. Rupanya ia masih bekerja dengan komputernya.
Tak sadar Sri segera membuka pintu dan keluar menemui Hendri di meja kerjanya, masih dengan pakaian itu. Hendri terbelalak menatapnya. Ini kali yang kedua ia terbelalak melihat Sri.
“Kamu…… mau ke mana?” tanya Hendri lugu.
“Saya……… Aduh, maaf, Pak. Saya sedang mencoba pakaian baru. Ada yang bisa dibantu, Pak?” Sri benar-benar salah tingkah.
“Hm, hm, ya, saya mau mengganti satu kata salah yang sudah terlanjur banyak tertulis di naskah Word. Bagaimana caranya agar bisa digantikan semuanya?” tanya Hendri tak lepas pandangannya dari Sri.
“Kalau begitu saya ganti pakaian dulu,” kata Sri.
“Tak usah, kelamaan,” Hendri bergerak ke komputernya. Ragu-ragu Sri mengikuti.
“Nih, naskah ini sekitar 21 halaman. Saya mau ganti kata annually dengan semi-annually,” jelas Hendri. “Saya lupa caranya”
“Oh, itu mudah. Bapak klik ‘Edit’, kemudian klik ‘Replace’, lalu pada kolom ‘find’ bapak tulis kata yang salah, kemudian tuliskan kata yang benar pada kolom ‘replace with’, lalu klik kotak ‘replace all’,” tutur Sri.
“Baik, terimakasih,” kata Hendri kembali matanya menancap ke komputer. Sri lega Hendri tak berlama-lama tanya ini itu. Tapi dugaan Sri meleset. Hendri ternyata masih punya pertanyaan lain.
“Sri, tunggu!”
Sri menoleh, sambil mengumpati situasi yang tak mengenakkan itu.
“Ya, Pak!”
“Astrid bilang semalam kau ngopi dengan Alex di café?” tanya Hendri langsung. Sri terkesiap.
“Iya, Pak. Maaf, saya terlalu lancang,” dada Sri berguncang keras. Hendri memperhatikan layar komputer, seolah tak mau terlihat sedang menatap Sri yang salah tingkah.
“Saya waktu itu sedang menunggu Mbak Astrid belanja. Tiba-tiba Pak Alex datang dan mengajak saya ngopi. Saya benar-benar mohon maaf karena tindakan saya yang tidak pada tempatnya ini,” tutur Sri penuh rasa bersalah.
Hendri hanya melirik sesaat dan bisa menangkap kesan Sri benar-benar merasa tak enak dengan pertanyaan itu.
“Dan, maafkan saya, Pak. Pak Alex juga mengirimi saya pakaian ini sore tadi”
Hendri tercengang sesaat. Kali ini ia menatap Sri dari atas ke bawah. Ini membuat Sri teramat jengah. Hendri membalikkan badan dan duduk menghadap Sri.
“Begini, Sri. Bukannya saya tidak suka dia kasih-kasih kau hadiah yang pasti mahal itu, tapi, mungkin kau bisa jujur kasih tahu saya alasan apa dia beri kamu pakaian itu?” tanya Hendri.
Sri diam sesaat.
“Pak Alex bilang dia suka saya, Pak!”
Hendri menarik nafas. Sri bisa melihat Hendri tak senang pada penjelasan itu. Ini pasti berkaitan dengan masalah reputasi seorang manajer di perusahaannya yang tak pada tempatnya jalan dengan pembantu bos-nya sendiri.
“Baiklah. Duduklah sebentar, biar saya nasehati kamu,” kata Hendri. Sri mengambil tempat duduk agak jauh dari Hendri. Sri tertunduk. Kedua tangannya telipat rapi di atas pangkuan.
“Ketika Alex mengatakan dia suka kamu, bagaimana perasaanmu?” tanya Hendri.
“Saya boleh jujur ya, Pak? Saya senang karena ada orang sangat terhormat dan ganteng seperti Pak Alex mengatakan itu pada saya. Saya terkejut karena merasa saya sama sekali tidak pantas. Dan saya gundah karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan,” kelihatan ia berusaha keras untuk bicara selancar dan setegas mungkin.
“Kau mungkin perlu tahu, Alex juga memberikan hadiah yang sama kepada Astrid, pakaian yang dikenakannya siang tadi. Itu artinya, mungkin Alex mengatakan hal yang sama pula pada Astrid bahwa dia suka Astrid. Nah, saya yakin kau bisa menyimpukan sendiri dua kejadian itu,” kata Hendri.
“Lalu saya harus bagaimana, Pak?” tanya Sri.
“Apakah kau memikirkan ide yang sama dengan saya?” kata Hendri.
“Apa itu, Pak?”
“Mengembalikan pakaian itu,” kata Hendri.
Sri segera mengangguk. “Itu yang akan saya lakukan,” lanjutnya.
“Kau yakin?” tanya Hendri berubah lembut.
“Sangat yakin. Sungguh tak pantas saya menerimanya,” kata Sri lagi. “Dan maaf kalau saya boleh lancang untuk minta bantuan Bapak mengembalikan ini kepada Pak Alex?” kata Sri.
“Saya hanya memberikan nasehat. Soal mengembalikan barang itu urusanmu. Kau bawa saja barang itu ke kantor besok. Bungkus yang rapi dan tujukan buat Alex. Ini alamatnya,” Hendri mengais selembar kartu nama dari kotak kartu nama dan memberikan pada Sri.
“Baik, Pak. Saya akan kembalikan besok”
***
Pekerjaan rumah dari pagi sampai siang itu benar-benar menumpuk. Mulai dari Prisma yang tiba-tiba mogok makan dan minta disuapi oleh Sri. Cucian bertambah, setrikaan menggunung, jumlah dan menu masakan makin banyak.
Anella harus pergi lagi pagi tadi, dan sepanjang pagi Astrid banyak mengomel soal Alex yang tidak menjawab sms-sms-nya. Baru selepas tengah hari Sri punya kesempatan untuk keluar dengan sepeda motor.
Setelah bertanya jalan beberapa kali, akhirnya Sri sampai ke kantor Hendri. Sesampai di bagian depan kantor perusahaan dan melalui pemeriksaan Satpam yang bersenjata metal detector, bungkusan itu beralih ke tangan Satpam.
Sri baru hendak berbalik ketika Liandra melintas di dekatnya. Sri melirik sejenak perempuan itu yang kebetulan pula sedang menoleh ke arahnya. Liandra berhenti melangkah.
“Kamu pembantu Pak Hendri ‘kan?” tanya Liandra.
“Betul, Bu. Saya mengantar barang Pak Hendri” jawab Sri membungkukkan badan, berbohong soal pemilik barang yang dikirimnya.
“Namamu Sri, kan?” tanya Liandra lagi. Sri heran sekaligus senang bos besar perusahaan ini masih ingat wajah dan namanya.
“Betul, Bu!”
“Sri itu namamu yang sebenarnya?” tanya Liandra lagi. Sri tertegun sesaat. Heran juga ia kenapa Liandra menanyakan hal serinci itu.
“Sri Purwanti nama saya, Bu. Itu nama asli,” tegas Sri kemudian setelah terdiam beberapa kejap.
“Baiklah, Sri. Kalau boleh saya bilang, saya merasa sangat kenal kamu. Tapi saya tak berhasil mengingat-ingat kapan dan di mana. Suatu saat nanti kita akan mengobrol soal ini, ya?” kata Liandra. Rautnya cantik dan teduh, seperti rindangnya pepohonan hijau di padang rumput.
Sri mengangguk. Liandra meninggalkannya dengan sebuah senyum dan menghilang di lift. Sri mencari motornya di parkiran. Wajah Liandra tak bisa dilupakannya.
***.
Sepanjang sore ini HP Sri berdering-dering menyembulkan nomor telepon Alex. Sms Alex juga datang bertubi-tubi dengan satu pertanyaan pokok, “Kenapa kau tolak pemberianku?”
Sri tak mengindahkannya. Barangkali ini cara yang terbaik untuk menyejukkan rasa tak keruan akibat pemberian Alex itu. Pak Hendri benar, pikir Sri, tak ada sisi positif yang bisa dilihat dari seorang lelaki yang ke sana kemari menebar kata-kata ‘aku suka kamu’ plus hadiah-hadiah. Selain itu, Alex lebih pantas menyatakan ‘aku suka kamu’ pada Astrid, dan sosok Astrid lebih punya banyak tempat dan suasana yang sesuai untuk mengenakan pakaian macam pemberian Alex.
Sri bertekad tak akan mengindahkan Alex. Bukan karena ia tak suka Alex dan pemberiannya, tapi karena ia menganggap rasa suka Alex, dan perhatiannya lewat pemberian pakaian itu tak lebih dari suatu awal hubungan salah tempat yang bisa jadi berakhir kurang baik. Dan Sri masih punya setumpuk kesibukan lain : bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan sarapan dan keperluan anak-anak, kolam renang dan tanaman-tanaman yang perlu dibersihkan, cucian, setrikaan, lantai rumah yang harus dipel, perabot yang harus dilap, sarapan yang harus disiapkan, titah-titah nona kecil Devi yang sulit dihindarkan, dan rajukan-rajukan Prisma yang minta ditemani bersepeda di sore hari yang susah ditolak; untuk itu semua ia ada di rumah ini.
PART.6
Pukul enam pagi lebih sedikit.
Devi dan Prisma baru saja berangkat sekolah. Begitu bangun tidur, Hendri berendam sejenak di kolam renang dan berenang bolak-balik mengikuti panjang kolam renang. Astrid mengeliat sambil berjalan ke luar dari kamarnya. Matanya tertuju pada Hendri di kolam Renang.
Sesaat kemudian Astrid berbalik ke kamarnya dan muncul lagi dengan bath-robe dan pakaian renang di dalamnya. Ia membuka bath-robe dan meletakkannya di kursi santai di bawah paying peneduh. Tubuh ramping berisi dengan kulit bersih di balik pakaian renang merah menyala benar-benar merupakan pemandangan sempurna. Ia menjerit kecil ketika menceburkan diri ke kolam renang.
“Uh, dingin tapi asyik,” celetuk Astrid. “Mas nggak keberatan ‘kan swim-suit Teteh aku pakai?”
“Nggak apa-apa. Dia jarang sekali pakai itu,” Hendri memperhatikan Astrid yang tengah membasahi wajah dan rambut.
“Aku nggak tahu kau bisa renang,” kata Hendri beristirahat di ujung kolam.
“Bisa dong!” seru Astrid. “Mau balapan?” Astrid berenang mendekati Hendri.
“Nggak ah, capek. Lagian, paling-paling kamu kalah!” kata Hendri
“Ayolah. Mas bisanya ngeledek melulu,” Astrid menarik lengan Hendri
“Nggak mau, capek!” kata Hendri, melepas cengkeraman tangan Astrid di lengannya. Tapi Astrid tak habis akal. Ia berputar ke belakang Hendri dan mendorongnya dari belakang.
“Ayo, Mas. Susul aku,” Astrid kemudian mengambil ancang-ancang berenang gaya kupu-kupu. Malas-malasan Hendri mengikutinya. Keduanya melintasi kolam renang sepuluh kali. Pada putaran ke sebelas, Hendri sudah sampai duluan di ujung kolam renang bagian terdalam dan melihat Astrid bersusah payah menyelesaikan putaran ke sebelas.
“Mas, Mas, tolong dong, aku nggak kuat nih!” tiba-tiba Astrid berteriak panik. Tubuhnya timbul tenggelam. Hendri segera bergerak dan meraihnya menepi, Astrid melingkarkan erat lengannya ke tubuh Hendri.
“Oke, kau sudah aman sekarang. Kau boleh lepaskan aku,” kata Hendri.
“Ini masih dalam,” teriak Astrid masih memeluk Hendri.
“Tidak. Coba jejakkan kakimu ke dasar kolam,” kata Hendri. Perlahan Astrid melepaskan pelukannya, senyum kecil tersungging di bibirnya. Entah untuk apa senyum itu.
“Sudah kubilang kau pasti kalah,” kata Hendri. “Udahan, ya. Aku capek,” Hendri hendak naik ke tepian kolam, tapi tangan Astrid menghambatnya. “Nanti dulu, Mas, temenin aku sebentar,”
Hendri urung naik. Tak bisa ia menolak cengkeraman dan tatap mata Astrid. Ia kemudian bersandar di dinding kolam renang. Astrid bersandar pula di samping Hendri dan mulai bicara panjang lebar. Mereka kemudian terlihat asyik mengobrol. Jelas sekali Astrid yang mendominasi obrolan dan sesekali mendorong tubuh Hendri dengan tubuhnya dari samping manakala pembicaraan berubah seru.
Sri menatap kedua saudara ipar ini dari kejauhan sejak saat Astrid mulai menceburkan diri ke kolam renang. Sungguh aneh suasana seperti ini tidak terjadi pada Hendri dan Anella. Mestinya yang ada di samping Hendri itu Anella, bisik Sri dalam hati. Sayup-sayup dari stereo-set di dekat meja kerja Hendri terdengar desah suara jazzy Peppi Kamadhatu melantunkan lagu ‘You don’t Know Me’
***.
Kalau ada orang yang bisa amat uring-uringan dengan telepon genggam sepagi ini, pastilah itu Astrid. Ia tampak demikian jengkel dengan benda kecil itu, yang cuma bisa mengeluarkan suara ‘nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif’. Ia tak tahan untuk tidak mengomel karena tak satupun sms-nya dibalas oleh Alex. Andai saja ia tahu hal sebaliknya terjadi pada Sri.
Hendri mendengar omelan Astrid dengan senyum-senyum kecil tanpa suara manakala sarapan bareng sehabis berenang pagi itu.
“Memangnya Alex sudah punya pacar ya, Mas?” tanya Astrid mengunyah sepotong roti.
“Kayaknya nggak,” kata Hendri.
“Sombong banget deh dia, masak telepon dan sms-sms-ku dicuekin melulu”
“Aku menugaskan dia untuk presentasi produk-produk perusahaan pada sejumlah calon importir di Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand seminggu penuh ke depan. Jadi saat ini ia mungkin sedang sibuk mempersiapkan presentasinya. Ini tugas pertamanya ke luar negeri,” kata Hendri, tak terlalu bersemangat.
“Oh, pantesan! “Astrid membanting teleponnya ke meja. “Eh, ngomong-ngomong, Mas Hendri kok kelihatan nggak sehat?” tanya Astrid memperhatikan wajah Hendri baik-baik. Hendri memang tampak kurang bergairah pagi ini.
“Sedikit pusing,” kata Hendri.
“Rindu sama Teteh ‘kali?” goda Astrid.
“Ah, nggak juga,” jawab Hendri.
“Benar nggak kangen?” goda Astrid lagi. Hendri menggeleng pelan dan menatap Astrid, seolah tak ingin Astrid bicara soal kangen-kangen itu.
“Boleh nanya, ya Mas. Kok kayaknya Mas sama Teteh nggak sehangat dulu-dulu. Bener, nggak sih?” tiba-tiba Astrid bertanya. Hendri meneguk jus jeruknya.
“Nggak benar. Nggak ada masalah,” Hendri berdiri, tak menyelesaikan makannya. Sudah, aku berangkat dulu. Acaramu ke mana hari ini?” tanya Hendri.
“Audisi baca berita di stasiun televisi. Kalau ketemu Alex, sampaikan salam saya,” ujar Astrid. Hendri mengangguk.
***.
Sri tak sempat menyelesaikan makan siangnya. Hendri menelepon dari kantor. “Bawa Kijang ke rumah sakit Lifecare. Prisma dan teman-teman sekelasnya keracunan jus buah. Saya nanti menyusul”
Sri meluncur ke rumah sakit yang disebutkan Hendri.
Guru-guru dan paramedis serta orangtua siswa dari sekolah Prisma sibuk luar biasa di rumah sakit itu. 21 anak kelas 3 keracunan jus buah yang disediakan gratis oleh sebuah distributor jus buah merek baru.
“Prismaviana ada di mana?” tanya Sri pada salah satu guru.
“Ibu mamanya?”
“Saya pembantunya,” jawab Sri.
“Orangtuanya mana?”
“Nanti menyusul. Di mana Prisma?”
“Di Unit Gawat Darurat!”
Bau muntah dan pemandangan anak-anak yang tak bisa menahan buang air besar dan paramedis serta dokter yang berlalu lalang tampak mendominasi rumah sakit. Para orangtua sibuk dengan telepon genggam dan dengung-dengung marah dan makian. Perwakilan promosi produk jus buah tampak tak berdaya di bawah cecaran para orangtua yang penuh sumpah serapah. Salah seorang tua dengan otot kekar dan potongan cepak malah terlihat menjemba kerah seorang lelaki dari perusahaan jus buah dengan wajah beringas.
Prisma terkulai lemas di salah satu bed ruang UGD. Selang infus menancap di lengan.
“Mbak, Sri. Perut Pris sakit,” Prisma menangis lirih, menggenggam tangan Sri. “Dengar nih perut Prisma, ada yang bunyi krucuk-krucuk,”
“Sri menempelkan telinga ke perut Prisma.
“Iya, tuh, kayak ada orang main drum-band dalam perut kamu. Nggak apa-apa. Lihat ini, obat mengalir ke tubuhmu. Nanti kamu pasti sembuh,” bujuk Sri.
“Papa mana?”
“Dalam perjalanan. Sebentar juga sampai,” kata Sri. “Senyum, dong, biar nggak jelek,” kata Sri. Prisma memaksakan diri tersenyum.
“Nah, gitu!”
“Mbak Sri lucu, deh. Setiap kali aku kesakitan, pasti nyuruh aku senyum,” kata Prisma di tengah seringai kecil menahan nyeri di perut.
Hendri tiba lima menit kemudian. Setelah memeriksa keadaan Prisma dan tanya ini itu pada Sri, Hendri bicara dengan dokter.
Seperti anak-anak lain, Prisma juga harus menginap di rumah sakit. Dokter bilang anak-anak perlu diobservasi dan perlu dipastikan suplai cairan terus berlanjut untuk mencegah dehidrasi.
Degan sabar Sri mengurusi Prisma; membuang muntahan atau mennyorongkan pispot ke bawah pantat Prisma manakala ia mendadak pingin buang air. Setiap minuman yang masuk mulut Prisma dimuntahkan kembali. Prisma baru bisa tertidur lelap menjelang sore.
Hendri masih menunggu di depan kamar Prisma, sibuk membatalkan beberapa meeting yang harus dihadiri sore ini. Sri keluar sebentar untuk mencari udara segar.
“Gimana Prisma?” tanya Hendri.
“Tidur nyenyak, Pak,” jawab Sri. “Kalau bapak ada keperluan lain, silakan Bapak pergi dulu, saya akan menjaga Prisma.”
“Tidak apa-apa. Saya sudah cancel satu pertemuan sore ini,” kata Hendri.
“Ibu sudah diberi tahu?” tanya Sri.
“Saya coba telepon. HP-nya tidak aktif. Kamu tahu dia ada di mana?”
“Ke Banjarmasin, itu yang saya dengar dari Ibu. Prisma nggak apa-apa, kan, Pak?” kata Sri.
“Dokter bilang sistem pencernaannya terganggu zat-zat racun dari jus buah itu. Perlu satu dua hari dirawat untuk menstabilkan pencernaan dan dijaga agar tidak dehidrasi,” jelas Hendri. “Duduklah,” Hendri menunjuk satu kursi kosong di samping meja tak jauh darinya.
“Prisma tanya mamanya?” kata Hendri.
“Tidak. Tapi saya bilang Mama sudah dikasih tahu. Prisma itu anak yang tegar, Pak. Saat anak-anak lain meraung-raung kesakitan, ia masih bisa senyum,” kata Sri.
“Ya, ia memang beda dari Devi. Devi sudah dikasih tahu?”
“Non Devi tadi saya telepon saya beri tahu soal Prisma. Ia bilang tidak sempat menjenguk adiknya. Ia menyuruh saya mintakan ijin Bapak. Ia mau menginap di rumah Olivia untuk belajar bersama. Tadi ia diantar Olivia ke rumah untuk ambil baju,” jelas Sri.
“Tuh, kan, sama sekali ia nggak punya perhatian. Persis ibunya,” ujar Hendri. “Kau bisa rasakan itu, kan?”
“Maaf, Pak. Merasakan apa?”
“Anella, tak punya perhatian,” ulang Hendri.
“Barangkali itu karena ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Pak,” kata Sri. Hendri menoleh Sri.
“Sesibuk apa-pun, ia harus tetap punya perhatian itu. Kau tahu, kalau ia sedang berada di luar kota, sangat jarang ia menelepon atau sms saya. Teleponnya juga jarang aktif,” kata Hendri, lebih merupakan keluhan.
“Ibu sering menelepon atau sms saya tanya soal anak-anak”
“Pernah tanya soal saya?”
“Satu dua kali, biasanya malam hari tanya apakah Bapak ada di rumah”
Hendri diam sesaat, mengeluarkan pak rokok dan menghunus sebatang rokok.
“Maaf, Pak. Ada tanda dilarang merokok di sini,” Sri menunjuk tanda larangan merokok. Hendri mengembalikan rokok ke kotaknya dan melemparkan kotak itu ke meja.
“Sri, boleh aku curhat sama kamu?” ujar Hendri tiba-tiba.
“Curhat?” ulang Sri, seolah mengingatkan Hendri apa dia tak salah menggunakan istilah.
“Ya, curhat. Memangnya ABG saja yang pakai kata ‘curhat’?”
“Baik, Pak. Saya mendengarkan,” kata Sri dengan takzim.
Hendri menarik nafas dalam.
“Kau mungkin bisa merasakan, hampir empat bulan ini Anella begitu dingin, kehilangan keceriaan, bicaranya tak lagi lembut dan kelihatan sangat tertutup. Mungkin saja ia terlalu lelah dengan pekerjaannya, tapi tidakkah rasa hangat terhadap anggota keluarga bisa mengalahkan rasa lelah itu?” kata Hendri, menatap Sri.
Sri menggaruk keningnya. “Ya, begitulah yang saya lihat,” kata Sri.
“Begitu datang dari luar kota, ia langsung tidur. Kalau tak sedang tidur, ia habiskan waktunya di meja kerja atau berdiam diri dengan berbatang-batang rokok sampai menjelang pagi. Saya tak pernah berhasil membuatnya bicara atau memahami kenapa ia begitu,” kata Hendri.
“Mungkin bapak bisa mencari penyebabnya,” ujar Sri berhati-hati.
“Memang ada sih penyebabnya,” kata Hendri.
Sri tak lekas menimpali. Ia tak mau lancang dengan pertanyaan ‘apa penyebabnya’. Ia menunggu Hendri yang bicara.
“Penyebabnya adalah kemarahan dan hilang kepercayaannya padaku,” kata Hendri. Mengurut kening. Sri menunggu Hendri bicara lagi.
“Sekitar sebulan sebelum kau mulai kerja di rumah kami, saya dan Bu Liandra harus pergi ke Singapura untuk suatu urusan,” papar Hendri. “Seperti biasa, kepada Anella saya beritahukan nama hotel tempat kami menginap, nomor kamar dan teleponnya. Suatu malam ia menelepon kamar saya. Bu Liandra yang mengangkat telepon. Saya lupa memberitahu saya dan Bu Liandra bertukar kamar karena Bu Liandra minta kamar dengan pemandangan ke laut. Kebetulan malam itu sayapun ada di kamar Bu Liandra untuk membahas materi presentasi yang ada di laptop Bu Liandra. Saya dan Bu Liandra berdiskusi di ruang tamu dalam kamar itu,” Hendri berhenti bicara sebentar.
“Anella mengira saya bermalam di kamar itu dan tak pernah bisa menerima penjelasan saya bahwa hubungan saya dengan Bu Liandra adalah hubungan atasan dan bawahan, tidak lebih. Dan itulah faktanya. Saya sangat hormat pada Bu Liandra dan beliaupun begitu juga. Anella mengira saya dan Bu Liandra selingkuh,” kata Hendri.
“Saya akui memang Bu Liandra awet muda dan masih sangat atraktif di usia 44 tahun. Sementara saya sendiri 38 tahun. Anella tidak melihat itu sebagai halangan atas kemungkinan saya ada affair dengan Bu Liandra”
“Bu Liandra juga bersuami, kan, Pak?” tanya Sri polos.
“Tentu saja. Saya sangat akrab dengan suaminya, seorang lelaki sesama Cina. Pak San, orang yang sangat ramah, meski ia terlalu tua untuk Bu Liandra. Umurnya 62 sekarang. Mereka tidak punya anak,” jelas Hendri.
“Mungkin Bapak bisa jelaskan pada Ibu dengan cara lain, bahwa itu cuma kesalahpahaman,” kata Sri.
“Sudah saya coba berbagai cara. Anella tetap tidak bisa terima. Ini diperburuk dengan keharusan saya dan Bu Liandra sering bepergian ke luar negeri sama-sama. Dan kelihatannya Anella amat tidak senang saya diangkat jadi wakil direktur, dan itulah sebabnya ia tidak muncul saat jamuan makan malam itu”
“Maaf kalau saya boleh berpendapat. Ini sesuai yang saya rasakan,” Sri bicara sehati-hati mungkin, “Bapak kelihatan demikian tertekan akhir-akhir ini sampai Bapak harus memulai kebiasaan buruk yang sulit dihentikan sekali dimulai, yaitu merokok. Kalau gangguan rumah tangga itu bisa diatasi dengan lebih baik, mungkin merokok tidak perlu lagi,” kata Sri. Hendri menatap gadis muda ini. Hendri takjub atas keberanian pembantu rumah tangga ini menasehati majikannya.
“Entahlah, Sri. Benar kata orang, merokok enak kalau otak tak bisa diajak kompromi menemukan hal-hal yang lebih positif,” ujar Hendri.
“Kamu saya tinggal dulu ke parkiran. Saya pingin merokok,” kata Hendri meraih bungkus rokok.
“Begini, bagaimana kalau keinginan merokok itu digantikan dengan mengobrol. Kalau Bapak suka mengobrol dengan saya, Bapak bisa mengobrolkan segala macam yang Bapak mau,” kata Sri menahan bungkus rokok itu. Hendri urung mengangkat bungkus rokok itu.
“Tidak ada lagi yang bisa diobrolkan,” Hendri meraih bungkus rokok yang masih ditahan Sri di atas meja. Jarinya sempat menyentuh jari Sri dan itu yang menghentikan gerakannya. Tangan itu tetap berada di atas bungkus rokok, jari tengah dan jari kelingkingnya di atas jari-jari Sri. Keduanya terdiam beberapa saat sebelum Sri menarik tangannya dan membiarkan kotak rokok itu diraih Hendri.
“Saya keluar sebentar,” kata Hendri. Sri mengangguk dan menatap Hendri hilang di belokan koridor menuju ke parkiran.
Setengah jam kemudian Hendri kembali. Mukanya agak pucat dan kelihatan lelah sekali. Ia menengok Prisma yang masih tertidur lelap.
“Sekarang hampir jam sembilan. Bapak kelihatan tidak sehat. Bapak sebaiknya pulang, biar saya tunggui Prisma di sini,” kata Sri.
“Kamu yakin?” tanya Hendri.
“Ya, saya akan menjaganya,” tutur Sri. Hendri mengangguk puas tanda ia yakin meninggalkan Prisma dan Sri di rumah sakit.
“Baiklah, saya pulang dulu. Saya sudah pesan seorang perawat khusus untuk menjagai Prisma. Kalau kau capek, kau pulang saja,” kata Hendri.
“Saya tunggu saja di sini, kasihan Prisma,” balas Sri.
“Baiklah kalau itu maumu. Kalau ada apa-apa, segera telepon saya di HP. Ini koran The Jakarta Post dan majalah buat mengusir bosan”
***.
Hendri letih, letih sekali. Ia tak menyangka bisa secapek itu. Pening kecil yang sedari tadi tak dirasakan kini mulai menggedor-gedor kepalanya.
Bi Nani membukakan pintu.
“Bagaimana Non Prisma, Pak?” tanya Bi Nani.
“Sudah mendingan. Besok atau lusa mungkin pulang. Astrid sudah pulang?”
“Barusan, Pak”
Hendri merebahkan diri di tempat tidur beberapa saat. Terlalu banyak merokok membuat kepalanya pening.
Rumah terasa sepi sekali. Bi Nani tak terdengar lagi di dapur. Pasti sudah tidur. Dalam keadaan seperti ini, sewaktu Anella tidak terlalu sibuk dan tidak menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kota, pasti dialah orang yang pertama memperhatikan kesehatan Hendri. Jika pening karena banyak pikiran seperti ini, Anella akan dengan sabar membuatkan teh hangat, memijit keningnya dan dengan pijatan lembut, pening itu seger hilang bersama perasaan rileks yang menyertai pijatan di kening dan pelipis.
Tapi kamar itu demikian sepi. Bahkan tak ada harum bau tubuh Anella. Hanya sekali dua kali langit-langit kamar mengelebatkan senyum manis Anella. Hendri ingin sekali memejamkan mata, tapi tak segera keinginan itu tercapai. Lalu ia berpikir. Mungkin secangkir teh hangat akan menyegarkannya. Hendri bangkit dan membuka pintu kamar.
“Mas Hendri sudah pulang?” Astrid berdiri berdiri tak jauh dari kulkas, baru saja menemukan sepotong coklat. Hendri mengangguk, memijat sendiri pelipisnya.
“Mas Hendri, saya dengar Prisma keracunan dan sekarang di rumah sakit. Sori, belum sempat nengok, tadi aku ada acara keluar dengan teman-teman di sini. Gimana keadaannya?”
“Sudah mendingan, lusa mungkin boleh pulang,” kata Hendri.
“Sepi sekali ya, Mas!” Astrid melintas ke sofa di depan televisi. Baju tidur tipis milik Anella berbahan sutera berwarna perak yang dikenakan Astrid benar-benar mengingatkan Hendri pada sosok Anella.
“Ya, Devi belajar bersama dan menginap di rumah Olivia,” kata Hendri, berjalan ke dapur mencari teh. Astrid menyusulnya.
“Mas Hendri kayaknya benar-benar nggak sehat,” Astrid mendekati Hendri dan menempelkan punggung tangan ke dahi Hendri.
“Aku nggak apa-apa. Cuma pening sedikit, stress kena pekerjaan baru, barangkali,” kata Hendri.
“Harusnya Mas Hendri banyak istirahat dan banyak olahraga. Masih suka jogging ‘kan?”
“Jarang sih, nggak ada waktu,” Hendri mengurut keningnya lagi
“Mas ke dapur mau ngapain, bikin teh?” tanya Astrid.
“Ya, tolong buatin, ya”
“Baik. Mas duduk aja, nanti saya bawain tehnya,” kata Astrid.
Hendri menuju ke ruang tengah dan duduk di sofa di depan televisi menanti
teh hangat buatan Astrid.
Astrid datang dengan secangkir teh lima menit kemudian. Hendri masih mengurut-urut keningnya. Astrid duduk di sebelah Hendri dan membawakan cangkir teh ke tangan Hendri. Hendri meneguknya.
“Hm, enak tehnya. Terimakasih, ya,” Hendri kembali mengurut kening.
“Mau aku urut kening Mas Hendri?” tanya Astrid tiba-tiba.
“Memangnya kau bisa mengurut?” tanya Hendri.
“Nggak ahli, sih. Tapi percayalah, urutan lembut di kepala bisa meringankan pening. Nah, kepala Mas Hendri bersandar di sini,” Astrid membantu menyandarkan kepala Hendri ke sandaran empuk sofa. Astrid merapatkan duduknya ke dekat Hendri dan mulai mengurut kening dan pelipis Hendri dengan lembut. Hendri memejamkan mata. Astrid benar. Urutan lembut di kening itu perlahan-lahan meredakan nyerinya dan sekaligus meringankan beban berat di kepalanya. Ia sangat menikmati pijatan itu.
“Gimana, mendingan?” tanya Astrid terus mengurut. Sapuan nafasnya harum dan segar menerpa wajah Hendri.
“Ya, enak. Kau pintar mijit juga rupanya,” kata Hendri.
“Lebih baik lagi kalau Mas Hendri rebahan, supaya otot-otonya lebih rileks,” kata Astrid.
“Oke,” hendri merebahkan diri di sofa.
“Tidak di sini. Di tempat tidur di kamar. Kalau di sofa ini badan Mas Hendri bisa tertekuk-tekuk, menganggu aliran darah. Mau rebahan di kamar?” tanya Astrid seperti tanpa ganjalan. Hendri membuka mata.
“Di kamar?”
“Ya, di kamar Mas Hendri. Memangnya kenapa?” tanya Astrid. “Aku sekaligus bisa pijit punggung Mas Hendri, agar total otot-otot Mas Hendri reda ketegangannya. Ditanggung besok Mas Hendri segar kembali,” bujuk Astrid.
“Well, kayaknya……”
“Sudahlah, ayo ke kamar Mas Hendri. Mas Hendri ‘kan perlu segar lagi besok untuk menghadapi berbagai pekerjaan,” kata Astrid, membantu membangunkan Hendri.
Dengan nyeri yang berkurang karena pijitan permulaan Astrid, Hendri yakin nyeri kepalanya akan berkurang. Dan lagi pula apa salahnya dipijat adik ipar sendiri. Ia mengikuti Astrid yang berjalan duluan ke kamar.
Astrid menutup pintu kamar dari dalam dan perlahan menguncinya tanpa menimbulkan suara.
“Mas lepas baju, dan telungkup, aku pijit punggung Mas,” kata Astrid sambil menyusun bantal buat Hendri. Sejenak ia bisa merasakan kehangatan dan keramahan Anella merasuki kamar itu.
Hendri melepas kemeja dan telungkup. Perlahan dan lembut Astrid memberikan pijitan ringan di punggungnya. Di luar dugaan Hendri, Astrid ternyata juga pandai memilih bagian-bagian punggung dan tengkuk yang perlu dipijat untuk meredakan ketegangan. Benar-benar Hendri membayangkan tangan Anella sedang menelusuri punggung itu.
Beberapa saat kemudian, Hendri bisa merasakan ketegangan di punggung dan tengkuk berangsur-angsur reda, entah karena pijatan itu atau karena ia merasa benar-benar rileks dengan sentuhan lembut tangan Astrid.
“Sekarang, Mas Hendri balikkan badan, biar sekali lagi saya pijat keningnya,” kata Astrid. Hendri membalikkan badan. Astrid mulai memijat kening Hendri perlahan. Hendri merasa seperti berada di tepian pantai dengan semilir angin sejuk menerpa wajah. Ia memejamkan mata manakala semilir angin pantai itu makin santer menerpa wajahnya. Ia membuka mata. Wajah Astrid dekat sekali di wajahnya dengan desah kecil dari bibirnya. Ia sempat menangkap aroma parfum Astrid. Astrid tersenyum kecil melihat betapa Hendri menikmati pijitan itu.
“Kau pintar sekali memijit,” ulang Hendri.
“Mas Hendri kayaknya sangat memerlukan yang kayak beginian selagi stress,” kata Astrid lembut. “Dan mungkin Mas perlu yang ini juga,” tiba-tiba Astrid maju beberapa centimeter, mendekatkan bibir ke arah Hendri dan mencium bibir Hendri dan langsung menindihnya. Hendri tak menyana mendapat serangan sedemikian rupa. Benarkah ini bagian dari upaya meredakan ketegangan? Ia tadinya ingin berusaha menjauhkan bibirnya dari bibir Astrid. Tapi ia malah mendapati kedua belah tangannya memeluk Astrid erat dan membalas ciuman itu dengan tak kalah dahsyat dan hangat. Ia bisa merasakan bara tubuh Astrid di dadanya.
Tapi kemudian, ketika ia sempat melihat bagian atas baju tidur Astrid sudah tak lagi menempel di tubuhnya, dan dada terbuka lebar menempel rapat di dadanya, Hendri seperti disambar geledek. Seketika ia menghempaskan Astrid jauh-jauh darinya. Astrid nyaris terpelanting dari tempat tidur.
“Astrid! Apa-apaan ini!” bentak Hendri, mencari kemejanya.
Astrid berusaha menyembunyikan kejut dan kecewanya, tersenyum kecil dengan nafas yang masih tersengal.
“Pakai kembali bajumu. Kamu itu adik iparku, tahu!” kata Hendri. Astrid tak segera menutup kembali bagian atas baju tidurnya. Masih membara dadanya, naik turun menahan gelora dan amarah sekaligus Sungguh godaan yang sebetulnya sulit ditampik.
“Mas Hendri, ketika Mas Hendri menatapku dan bilang aku sexy kemarin pagi, aku bisa melihat mata Mas Hendri tengah merindukan sesuatu. Mungkin kerinduan itu kepada Anella, istri Mas Hendri. Tapi aku tahu Anella tidak lagi memberikan itu kepada Mas Hendri. Tidakkah Mas Hendri mau menerima kalau saya mau berbagi kehangatan dengan Mas Hendri, menyejukkan kerinduan Mas Hendri? Aku tak perduli siapa Mas Hendri. Aku mau, rela dan ingin melakukannya dengan Mas Hendri. Hanya kita berdua yang tahu. Kita bisa menikmatinya dan menyembunyikan ini dari dunia luar,” ujar Astrid.
“Dengar, ya, Astrid! Meskipun Anella tak lagi mau kujamah. Biarpun dia enggan berbagi kehangatan dengan aku, aku tak akan dengan mudah tergoda perempuan lain,” Hendri berjalan menuju ke pintu, dan membukanya.
“Sekarang tolong kamu ke luar dan jangan coba-coba begitu lagi,” kata Hendri. Astrid perlahan turun dari tempat tidur .
“Benar Mas Hendri menampikku?” tanya Astrid.
“Kamu adik iparku,” ulang Hendri. “Kalaupun aku mau perempuan lain, aku tidak akan dengan adik iparku sendiri,” kata Hendri.
“Apa bedanya? Sekali perempuan lain tetap perempuan lain,” jawab Astrid mendekati pintu. Masih dibiarkan terbuka bagian atas baju tidurnya.
“Keluarlah Astrid, aku mohon!” kata Hendri lirih. Astrid melintasi Hendri. Ketika sampai di ambang pintu, ia berkata :
“Mas Hendri tadi sempat mendekapku dan menciumku dengan hebat. Terimakasih atas sedikit kenangan yang kau berikan padaku. Aku tahu walau sekejap Mas tadi menikmatinya. Semoga jadi kenangan terindah dalam hidup Mas Hendri”
Dan petir seperti menyambar kedua kalinya bagi Hendri. Sri berdiri di ruang tengah dengan tubuh gemetar melihat Astrid keluar dari kamar Hendri dengan kalimat-kalimatnya dan dada terbuka, sementara Hendri mematung di ambang pintu, tak mampu berkata-kata.
Kalau Hendri bukan main terkejut melihat kehadiran Sri, maka Astrid lebih memilih tenang melintasi Sri sambil membetulkan baju tidur dan rambutnya yang awutan. Sri tak berani menatap Astrid, meski Astrid berdiri sejenak di dekat Sri dan berbisik.
“Ingat, kau tidak melihat dan tidak mendengar apapun. Kalau sampai ada yang tahu ini, you’re finished!” kata Astrid. Tak berani Sri berucap sepatah katapun. Astrid terus melintas menuju kamarnya.
Hendri mendekati Sri. “Katamu kau menginap di rumah sakit?” tanya Hendri berusaha tenang.
“Saya harus ambil baju. Prisma juga minta dibawakan buku bacaan dan Biba, boneka kesayangannya. Maaf, saya tak sempat menelepon kalau saya pulang. Saya tadi sempat bawa kunci pintu kecil di samping pintu gerbang,” kata Sri tertunduk.
Hendri tak bisa berpikir selama beberapa saat. Tapi kemudian ia mendekati Sri.
“Sri, bisakah saya dan kamu punya rahasia kecil? “ tanya Hendri.
“Maksud Bapak?”
“Seperti yang Astrid bilang, jangan ada yang tahu kejadian malam ini. Nanti saya akan ceritakan yang sebenarnya kalau saya sudah tenang kembali. Kau bisa dipercaya, kan?”
Sri mengangguk.
“Baik, Pak Hendri. Saya akan mengambil beberapa potong pakaian saya dan Prisma, lalu kembali ke rumah sakit,” kata Sri. [bersambung]
Disalin oleh: Chen Mei Ing
