Kini demam sepakbola melanda dunia, negara, kota, dan desa. Banyak bocah sampai orang dewasa mengidentifikasi dirinya dengan bintang-bintang idolanya. Demam itu menjadi "penyakit" seperti terjadi siang itu. Dua pemuda yakni Adi, berkaos D. Beckham, dan Seno, memakai kaos bertuliskan R. Niestelroy, berantem seru. Penyebabnya sepele, Adi menjelekkan idola Seno. Untung, segera dilerai orangtua.
Hari berikutnya, keduanya dikasih selembar kertas. "Tuliskan nama orang yang paling berpengaruh dalam hidup kalian masing-masing. Jelaskan bagaimana orang tersebut mampu membentuk kepribadian kalian."
Adi menyebut Omnya sebagai orang yang paling berjasa salam hidupnya. Baginya, Om Tono orang paling baik sedunia. Sang paman membantunya dalam memperoleh SIM, memberi motor bekas sekaligus mengajari cara memakai dan merawatnya. Sementara Seno menyebut neneknyalah orang yang paling banyak mempengaruhi hidupnya. Dari Eyang Sri ia bisa belajar bahasa Inggris, mampu menabung, dan menghargai waktu.
Ternyata yang memiliki pengaruh positif pada anak-anak ini adalah mereka yang baik hati, dermawan, mencurahkan waktu untuk kemandirian mereka. Ketika ditanyakan, apa yang diberikan oleh para bintang idola kepada mereka? "Tidak ada," jawab mereka.
Pertanyaan penting berikutnya adalah, mengapa para selebriti lapangan rumput yang notabene tidak mereka kenal itu mampu mempengaruhi kelakuan anak-anak ini? Bukankah nilai-nilai hidup yang baik telah dibentuk oleh orang-orang yang mereka cintai. Mengapa pengaruh positif itu bisa rusak oleh pengaruh dari luar yang jauh? Kita wajib bercermin pada tingkah anak-anak. Di sanalah wajah kita tampak. [Irene Ang / Malang / Jatim / Tionghoanews]