Namun setelah kami 'hanya' memiliki satu anak perempuan, ko Haris mulai mempermasalahkan hal itu lagi. Dan akhirnya ia bertahan dengan segala prinsipnya bahwa anak laki-laki lebih penting dan berharga dari pada hanya punya anak perempuan. dan saat itulah puncak pertengkaranku dengan ko Haris, Suci (nama samaran) yang sudah bisa mengerti akan perkataan ayahnya, akhirnya merasa sangat asing ketika berada dirumah.
Ketika akhirnya kami memutuskan untuk berpisah, keadaaan Suci masih saja seperti dulu, begitu tertutup terutama jka hal itu berkaitan dengan laki-laki. Pernah suatu ketika Suci mengusir seorang teman lelakinya, hanya karena ia tak suka terus di buntuti hingga sampai rumah. Aku memang pernah bertanya kepadanya perihal tabiatnya tersebut, namun aku tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Hingga suatu ketika, Suci membawa teman laki-laki kerumah dan mengenalkannya padaku. Dan aku merasa sangat surprise, karena aku sempat berfikir, Suci takkan pernah bisa berteman dengan laki-laki lagi, mengingat kebencian Suci terhadap ayahnya begitu mengakar dalam dirinya, dan hingga saat ini Suci tak pernah mau menanyakan ayahnya bahkan menyebut namanya saja ia tak mau.
Aku memang sengaja membiarkan Suci untuk mengeksploritas semua keinginannya, aku juga tak ingin menganggu bagian dari privasinya. hingga aku seringkali membiarkan Suci berdua-duaan dengan teman lekakinya dan aku berpikir umur Suci telah mencukupi untuk memikirkan dirinya sendiri.
Namun rasa bahagia yang kudapatkan tak berlangsung lama, karena secara tak sengaja aku memergoki suci berkelakuan abnormal terhadap teman lekakinya, ketika berdua Suci gemar sekali menyiksa pasangannya, memukulnya bahkan melukainya dengan apa saja yang ia genggam, dari wajahnya terlihat rasa puas tak terkira ketika melihat pasangannya menjerit dan memohon. Wajahku pucat seketika, dan aku baru menyadari mengapa Suci selalu membawa laki-laki yang berbeda saat datang kerumah, dan kulihat hampir semua teman lekakinya berumur lebih muda darinya.
Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, selain menyesali semua yang telah terjadi. Dan aku sempat berfikir andai saja dulu ko Haris tidak bersikap egois, mungkin aku tak perlu mengalami kejadian seperti ini, dan jika sudah seperti itu, hanya tangin dan air mata yang bisa aku keluarkan, sementara Suci masih saja berbahagia dengan prilaku abnormalnya.
Di saat rasa frustasi memuncak, dan saat Suci tak perduli lagi dengan penderitaan yang aku alami, aku bertemu seseorang yang bisa meredam gejolak jiwaku, dan sejak pertemuan itu aku memutuskan untuk kembali menikah, walaupun keinginan itu sempat ditentang Suci.
Sejak pernikahanku yang kedua, perangai Suci memang sedikit bisa tertahan, ia tak lagi sering membawa teman laki-laki ke rumah. Di tambah lagi suamiku, juga telah memilki anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Suci, hingga Suci merasa agak sungkan untuk membawa teman laki-lakinya.
Dan kukira pernikahan ini akan membawaku pergi dari semua kepedihanku selama ini, tapi nyatanya justru sebaliknya, peristiwa demi demi peristiwa yang menyakitkan kembali muncul.
Hubunganku yang harmonis bersama mas Mardi (nama samaran), ternyata tak di ikuti dengan hubunganku dengan Iwan (nama samaran), anak mas Mardi.
Di saat mas Mardi tak dirumah, Iwan kerap kali berlaku tak senonoh terhadapku, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Begitu juga dengan Suci, ia kerap kali mengadu kepadaku bahwa Iwan sering berlaku tak sopan terhadanya. Dan aku memang pernah memergoki Iwan, tengah melakukan hal tak sesonoh di depan Suci, sementara Suci hanya menangis dan menutup matanya. Dan kulihat ada dendam yang membara yang terpancar dari matanya. Sementara aku memang tak pernah menuturkan itu kepada suamiku, karena aku takut kehilanagan suami untuk yang kedua kalinya.
Dan dendam itu meledak saat jam menunjukan pukul 02.00 dinihari, dari kamar Suci kudengar teriakan-teriakan, awalnya aku mendengar teriakan Suci, lalu menyusul erangan Iwan. Aku dan mas Mardi bergegas keluar, menuju kekamar Suci. Saat itu aku melihat Suci sudah tak lagi berpakaian, yang melekat hanya pakaian tidur yang sudah koyak, sementara Iwan telah tergeletak bersimbah darah dengan gunting yang masih tertancap dibagian bawah perutnya.
Mendadak, pandangan mataku menghitam, saat sadar aku sudah berada di kamarku, kulihat mas Mardi diam membisu, disekelilingku telah berkumpul beberapa tetangga, orang-orang berseragam sibuk membungkus seonggok tubuh yang berlumuran darah, sementara Suci dengan tangan di borgol, menatapku dengan pandangan mata kosong dan sesaat kemudian Suci tersenyum dan tertawa terbahak-bahak, sementara pandangan mataku kembali buram dan gelap seketika. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]