Kebetulan yang dipilih menantunya adalah restoran siap saji waralaba dari Jepang. Seperti yang lazim dia lakukan di restoran, nenek lantas duduk dengan tenang sambil menanti sang pelayan menawarkan menu yang akan dipesannya. Sementara menantu belanja. Cukup lama menunggu, tak seorang pelayanpun menghampirinya. Restoran macam apa ini? Setiap orang sibuk sendiri-sendiri. Begitu pikirnya.
Melihat ibu mertuanya masih duduk bengong, si menantu lantas menjelaskan caranya mendapatkan makanan. "Bu, kita mesti antri dalam barisan itu. Mengambil nampang sendiri, lalu bergeser ke makanan-makanan yang tersedia. Ambil apa saja yang Ibu suka. Di ujung gang kasir akan menyebutkan berapa yang harus kita bayar."
Sampai di rumah kami tunggu komentar nenek atas pengalamannya hari itu. "Wah, di kota besar ini semuanya serba sendiri. Kamu bisa mengambil apa saja yang kau inginkan, asal bersedia membayar. Persis seperti kehidupan ini. Kita bisa menginginkan kesuksesan, kebahagiaan, atau apa saja. Tapi kita tidak akan memperolehnya kalau hanya duduk dan diam menunggu. Kita harus berdiri dan mencarinya sendiri."
Begitulah nenek. Kejadian sekecil apa pun, di matanya bisa menjadi perkara besar. Dia benar. Seperti yang dikatakan oleh dokter yang juga wartawan dan penyair Amerika abad ke-19, Josiah Gilbert Holland, "... Tuhan memberi makanan kepada setiap burung, tetapi tidak dengan melemparkannya ke sarang mereka masing-masing." [Merry Huang / Menado / Tionghoanews]