Saat berjalan menuju kasir, Putri melihat anak laki-laki seusianya sedang melihat-lihat mainan ditemani ayahnya. Rupanya tujuan mereka sama. Melihat penampilannya, tampak bahwa mereka berasal dari kalangan yang status sosial ekonominya di bawah keluarga Putri. Dari kejauhan tampak si bocah laki-laki itu melonjak kegirangan melihat sebuah mainan robot yang terpajang di rak. Mereka lalu terlibat dalam percakapan yang serius. Namun setelah si ayah membuka-buka dompet, ia menggelengkan kepala.
Putri menyaksikan dengan saksama seluruh adegan tadi. Setelah berpikir sejenak, ia mengembalikan bonekanya ke tempat semula lalu mengambil robot mainan yang tadi dipilih si bocah. Setelah itu ia menuju ke kasir. Sambil membayar ia membisikkan sesuatu kepada sang kasir, yang kemudian segera membungkus mainan tersebut dan menyimpannya di bawah meja. Putri dan ayahnya berdiri di dekat pintu, menunggu si bocah laki-laki tadi melewati jalur keluar.
"Selamat! Kamu terpilih menerima hadiah ini!" ujar kasir kepada si bocah lelaki itu seraya memberinya bungkusan mainan.
"Wah, inilah barang yang selama ini kuidam-idamkan," seru si bocah dengan amat gembira setelah membuka isi bungkusan tersebut.
"Sayang, alangkah mulianya hatimu," ujar ayah Putri.
"Pak, bukankah Ibu menyuruh saya membeli sesuatu yang membuatku bahagia?"
"Tentu saja, sayang."
"Nah, aku baru saja melakukannya," jawab Putri.
Itulah kisah Putri. Sebagai bocah tentu ia belum pernah baca buku The Bliss of the Way. Di dalamnya Anton Chekhov menulis, "Manusia diciptakan untuk bahagia. Siapa pun yang mendapatkan kebahagiaan berhak mengatakan pada dirinya sendiri, 'Aku telah melakukan kehendak Tuhan di dunia ini.'" [Elisabeth Wang / Banda Aceh / NAD / Tionghoanews]