KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 19 November 2012

CINTA YANG PERCUMA

Semula aku sempat tak ingin memikirkan soal pernikahan. Tapi ketika ibuku sampai jatuh sakit karena aku tak juga berkeinginan berumah tangga, aku akhirnya merubah keputusan tersebut. Masalah berikutnya muncul. Aku tak bisa menemukan calon suami dalam waktu singkat.

Aku bertemu Agus di sebuah reuni kampusku. Agus memang bukan alumni kampusku, tapi ia datang bersama seorang temanku, Chandra. Chandra juga yang kemudian berperan besar dalam menjodohkanku dengan Agus. Aku dan Agus memang menikah beberapa tahun setelah pertemuan reuni itu.

Pernikahan yang semata karena kecintaanku pada ibu, bukan karena aku jatuh cinta pada Agus. Tapi rasa cinta itu ternyata tumbuh belakangan, setelah melihat bagaimana Agus merawatku ketika aku terserang typhus. Menemaniku berbelanja, bahkan ia bersedia diskusi soal pakaian dalam perempuan di depan counternya langsung, hal mana yang membuat beberapa pengunjung yang kebanyakan perempuan jadi risih. Tak terpikirkan kalau rasa cinta ini berakhir percuma.

Pernikahan kami sudah berjalan tiga tahun. Sebuah pernikahan yang senyap, karena kami tak juga dikaruniai anak. Pada suatu pagi, Agus menerima telpon dari ponselnya. Aku masih tergeletak nyenyak di sebelahnya. Namun mendengar dering telpon dan dan suara Agus, membuatku bangun. Agak aneh aku mendengar nada suara Agus. Sangat lembut dan terkesan berhati-hati sekali.  

Saat aku bertanya siapa yang menghubunginya, ia hanya menjawab, "Teman" Jawaban yang singkat dan Agus berusaha untuk tidak membahasnya. Ia kembali melanjutkan tidurnya. Aneh, ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Tak ada secuilpun masa lalu yang tak ia ceritakan padaku. Aku tahu betul siapa saja teman-temannya, bahkan para mantan pacarnya aku kenal dengan baik. Tak ada rahasia antara aku dan Agus. Tapi pagi ini!

Aku memang tak pernah memikirkannya lagi. Namun hal ini malah membuat tingkah Agus jadi semakin tidak biasa. Ia jadi sering keluar malam ketimbang menemaniku di rumah. Biasanya kalau pulang kerja, di rumah kami akan menonton film-film kegemaran kami. Atau memasak bareng untuk makan malam. Kalau tidak melakukan apa-apa, kami akan bercinta semalaman.

Sejauh ini alasannya keluar juga masih logis. Kalau tidak untuk beli rokok ke warung, paling ke rumah temannya, Johan, yang rumahnya masih di lingkungan komplek kami tapi sudah beda blok. Aku masih tak terlalu mempermasalahkannya. Aku memang tak pernah membatasi sosialitasnya dengan teman-teman lamanya.

Suatu hari ia tengah mencuci mobilnya. Saat itu hari Sabtu dan kami sudah berencana akan menghabiskan weekend di rumah saja. Ponsel Agus berbunyi, sebuah pesan singkat masuk. Aku yang tengah membersihkan rumah segera memberitahukan hal tersebut pada Agus. Takut ada pesan penting, pikirku.

Agus malah menyuruhku membacakan message di ponselnya tersebut. "Tanggung nih, tangan juga masih belepotan sabun," demikian alasannya. Aku langsung membacakan message yang dikirimkan temannya, Tonny, bahwa ia ditunggu di sebuah mal. Penting. Agus cuma manggut-manggut cuek sembari meneruskan mencuci mobil. "Berarti aku gak bisa menemanimu di rumah sekarang," begitu ucap Agus. Sembari mengangkat bahu aku menjawabnya, "Terserah, aku kan juga bisa jalan-jalan sendiri."

"Memangnya kamu mau kemana?" tanya Agus. "Ya! kemana aja, bisa ke toko buku, atau liat-liat handycraft," jawabku sekenanya. Ada rasa sesal, weekend kami harus terganggu oleh pesan Tonny tadi. Agus juga mengijinkan aku jalan-jalan sendiri, asal tidak pulang terlalu malam. Agus tidak tahu aku punya rencana sendiri. Tidak rencana jahat, tapi lebih kepada rasa penasaran saja.

Lima menit setelah Agus keluar rumah, aku menguntitnya.Tidak dengan motor yang biasa kupakai, tapi motor teman yang rumahnya tak jauh dari rumahku. Di mal yang sudah dijanjikan via pesan singkat itu, aku melihat Agus menemui seorang perempuan di sebuh food court. Kedatangan Agus disambut pelukan hangat. Dari jauh kulihat perempuan tersebut memegangi perutnya dengan wajah bingung.

Tak kulihat kecemasan di wajah Agus, ia malah terlihat senang dengan ikut-ikutan memegangi perut perempuan tersebut. Hal yang membuatku teriris adalah ketika Agus mencium kening perempuan itu. Perempuan itukah "teman" seperti pernah Agus katakan dulu? Sembari menghela nafas, aku berjalan ke arah mereka. Tanpa ragu aku duduk di hadapan mereka sembari berkata, "Boleh aku gabung?"

Agus yang pertama kulihat kaget. Perempuan di sebelahnya hanya menatapku bingung. Ketika ia akan berbicara, aku memintanya diam dengan isyarat. Perempuan itu menurut, tapi makin merapatkan tubuhnya ke Agus. Sementara Agus sendiri malah menatapku tak senang. Sebelum ia berucap sepatahpun, aku langsung memberodongnya dengan banyak pertanyaan. "Agus, apakah istrimu selalu membatasi pergaulanmu dengan teman-temanmu?" Agus menggeleng. "Apakah ia pernah marah ketika kamu pulang terlambat tanpa pemberitahuan?" Agus masih menggeleng. "Sebagai istrimu, apakah ada tindakannya yang membuatmu marah?" Agus tetap menggeleng. "Selama tiga tahun pernikahan, apakah kamu menemukan kekurangan istrimu yang membuatmu kemudian berselingkuh?" Agus kembali menggeleng. "Lantas kenapa kamu selingkuh?" Agus menatap mataku dengan berjuta maaf di sana.

Aku menatap perempuan di sebelah Agus. "Kamu tahu dia sudah beristri?" Perempuan itu mengangguk tanpa berani menatap wajahku. "Lantas kenapa kamu masih tetap bersamanya?" Perempuan itu sedikit bingung dan takut, makin merapatkan tubuhnya ke Agus. "Kamu bekerja?" Perempuan itu mengangguk. "Lantas apa yang kamu harapkan dari lelaki yang sudah beristri seperti dia?" Perempuan itu menunduk hampir menangis, tapi ia tak juga melepaskan pegangannya dari Agus.

"Tuhan selalu punya cara untuk menunjukan sebuah ketidakjujuran. Akan lebih mudah melepaskanmu ketimbang menerimamu kembali," aku menatap Agus yang tak juga berucap sepatahpun. "Kalau masalahnya karena anak, asal kamu tahu istrimu sudah telat seminggu dan ia berencana memberitahukannya padamu hari ini. Tapi kamu malah meninggalkannya demi perempuan ini. Jadi jangan pernah menyesal kalau saat kamu pulang nanti ia sudah tak ada lagi di rumah," aku beranjak meninggalkan mereka.

Agus menggenggam lenganku, "Maafkan aku" suaranya bergetar. "Aku sudah memaafkanmu, tapi hubungan kita sudah tak kan sama. Segera uruskan semua suratnya, kalau kamu tidak mau, aku yang akan urus." Aku meninggalkan Agus. Masih sempat kulihat perempuan itu tak mau Agus menyusulku, sehingga terjadi tarik-tarikan yang mengundang perhatian banyak orang. Agus berulang kali memanggil namaku dan memintaku jangan pergi. Itu adalah pertemuan terakhirku dengan Agus. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata

Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah

PESAN KHUSUS

Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA