KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Selasa, 18 Desember 2012

MEREKA TELAH PERGI SAAT RINDU DATANG

Aku bersyukur terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Masa kecilku kulalui dengan penuh suka cita. Karena hal itu pula, masa-masa sekolahku dari TK hingga SMU selalu meraih hasil yang sangat membanggakan kedua orang tuaku. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, sebut saja namaku Fina (bukan nama sebenarnya). Saat ini usiaku telah menginjak dua puluh lima tahun.

Kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa roda kehidupan itu selalu berputar ternyata memang benar adanya. Aku yang selama lima belas tahun merasakan kenyaman saat kami masih berada di "atas" harus pula merasakan kehidupan yang diliputi banyak kesedihan dan kegetiran yang mau tak mau harus kujalani dengan segala kesabaran.

Awal retaknya keharmonisan keluarga kami terjadi saat papa dipindahan tugaskan ke sebuah kota kecil di pulau S. Mama yang sudah terbiasa hidup dalam kemegahan kota besar dan keramian merasa tak betah dengan keadaan baru kami. Sejak pindah, mama seringkali meninggalkan rumah untuk pergi ke Kota J, dimana sebelumnya kami tinggal. Hingga praktis mama tak lagi bisa mengurusi keluarga dengan baik

Keadaan itu membuat papa dan kakakku mencari kesenangan lain di luar rumah. Papa mulai sering pulang malam, dan kak Yudi (bukan nama sebenarnya) sibuk hura-hura bersama teman-teman barunya. Sementara aku menghilangkan kejenuhan dengan mengurus semua keperluan papa dan kakakku. Dan hal itu membuat aku jadi bertambah dekat dengan papa

Suatu hari secara tak sengaja aku mendapati papa dan mama yang sedang bertengkar. Dalam pertengkaran itu mama menyebut-nyebut namaku, mama mencurigai papa yang beberapa waktu belakangan ini teramat dekat denganku. Dengan jelas aku mendengar mama menuduh papa "bermain api" denganku. "Apa maksud mama? Menuduh papa berselingkuh denganku, dengan anaknya sendiri?"

Sejak pertengkaran itu, aku tak pernah mendapati mama lagi di rumah, sementara papa selalu saja membisu saat aku bertanya tentang mama. "Sudahlah Mer, papa dan mama sudah bercerai," perkataan itu akhirnya terucap dari mulut papa. Saat itu aku bagai anak ayam yang kehilangan induknya, serba bingung dan kehilangan arah, ditambah lagi tuduhan mama kepada papa masih terus terngiang di telingaku.

Karena tak mampu lagi bertahan, akhirya aku tinggal bersama tanteku, dari tante pula aku akhirnya tahu mengapa mama menuduh papa ada main denganku. Rupanya mama tak senang melihat kedekatanku dengan papa. "Mengapa mama tidak senang?" tanyaku. "Karena kamu sebenarnya cuma anak pungut," ujar tanteku sambil menundukan kepalanya.

Kiamat rasanya dunia ini begitu mendengar penjelasan tanteku tentang statusku yang sebenarnya. Aku bergegas pulang dan menanyakan hal itu pada papa. Saat itu papa tak bisa mengelak dan membenarkan penjelasan yang disampaikan tante. "Lalu dimana orang tua kandungku? Mengapa papa tak menceritakan hal ini sejak dulu," jeritku dengan rasa pedih yang mengiringi seluruh detak jantungku.

Saat itu papa memang tak bisa lagi berbuat apa-apa, ia juga tak ingin menceritakan bagaimana akhirnya aku menjadi anak angkat. "Maafkan papa Fin, terlalu getir jika papa harus bercerita, seandainya rahasia ini tak bocor, mungkin akan papa bawa sampai liang kubur," ujar papa dengan tatapan matanya yang kosong. Tetapi untunglah dengan berat hati papa akhirnya berjanji mau mengantarkanku ke tempat orang tua kandungku.

Satu minggu kemudian papa mengajakku untuk menuju sebuah desa terpencil di pulau J. Desa itu begitu tandus dan sepi, seolah tak pernah ada kehidupan. Lima belas menit kemudian kami tiba disebuah perkampungan, berbeda dari tempat kami tadi tiba, desa ini begitu ramai, terutama di sebuah rumah sederhana yang hanya berdinding anyaman bambu. Rumah itu ternyata adalah rumah yang papa tuju.

Sesampai di depan rumah, papa disambut oleh seorang lelaki tua, mereka berbincang sebentar. Papa kenudian menoleh ke arahku dengan pandangan mata penuh tanda tanya. Kemudian papa mengampiriku dan memelukku dengan erat, papa menangis. "Ada apa pa, kenapa papa menangis?" Sembari masih menangis dan terbata-bata, papa menjelaskan bahwa Bu Marni, ibu kandungku baru saja meninggal.

Sekali kali aku dihadapkan pada kenyataan yang sangat memilukan. Di saat aku hendak menyongsong sesuatu yang baru yang mungkin bisa mengobati duka dan laraku, namun pada kenyataannya justru aku harus merasakan luka yang baru. Perasaan rindu terhadap orang tua kandungku yang baru saja tercipta berubah menjadi kesedihan yang begitu mendalam karena mandapati ibu kandungku yang baru saja meninggal dunia, sementara ayah sudah terlebih dahulu berpulang.

Apa lagi jika mengingat, mereka adalah orang-orang sederhana yang hidup penuh dengan kesulitan, sementara aku anak kandung mereka satu-satunya, hidup berlimpah kesenangan yang tak pernah perduli dengan kesulitan mereka. Mereka tak pernah tahu aku begitu rindu saat mengtahui bahwa aku memiliki orang tua kandung. Mereka tak pernah dapat lagi menatap linangan air mata putrinya, sementara aku cuma bisa menatap batu nisan mereka yang teronggok membisu dengan linangan air mata dan kerinduan. Maafkan aku ayah ibu, aku tak pernah berbakti kepadamu. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Blogger

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA