Tidak jauh dari aliran sungai Onon, laki-laki muda itu duduk mendekam, menatap tajam kesatu arah di antara tetumbuhan yang telah ditandai kain berwarna putih. Tangannya sigap memegang sebuah busur pendek dengan anak panah siap ditembakkan. Sementara di belakang kepalanya, menempel pada punggungnya, terlihat beberapa jenis anak panah.
Konon, warna putih adalah warna yang membuat kelinci tertarik untuk mendekat. Itulah yang membuat orang-orang Mongol selalu memasang benda apapun yang berwarna putih sebagai umpan ketika berburu kelinci. Leluhur mereka pun mengajarkan, dalam berburu kelincim dibutuhkan tingkat kesabaran tinggi. Sang pemburu harus bersedia mendekam dalam waktu cukup lama, karena kelinci termasuk hewan yang sangat perasa dan memiliki insting tajam tentang keberadaan pemangsanya.
Entah berapa lama lelaki muda itu duduk mendekam menunggu buruannya, ketika terdengar derap langkah ladam kaki-kaki kuda. Ia menghela napas panjang. Hentakan suara ladam kaki-kaki kuda jelas membuat penantiannya menjadi sia-sia. Ia bangkit perlahan. Kepalanya bergerak ke sumber suara ladam kaki-kaki kuda.
Disebuah jalanan darat di antara padang sabana, ia melihat seorang pemuda menunggang kuda besar berwarna kelabu. Di sebelahnya terlihat sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda putih. Sebuah kereta dari kayu berukir yang bagian atasnya ditutup dengan kain wol, sementara kedua sisi kanan kiri dan belakangnya diberi tirai dari kain sutra. Duduk di atas kereta ini adalah seorang gadis berwajah cantik.
Dari kereta yang dikendarai dan pakaian yang dikenakan si pemuda dan gadis cantik di atas kereta, serta dari jenis kuda yang di tunggangi si pemuda serta kedua kuda penghela kereta, jelas mereka dari kalangan orang berada.
Sepanjang perjalanan, keduanya tampak tersenyum bahagia. Mereka bercengkerama dengan mata saling pandang. Udara pagi yang menggenang, sesekali terpadati oleh suara tawa jernih mereka. Dan, matahari pagi seolah memberi getar romantis yang mendebarkan bagi keduanya.
Dari tempatnya, si laki-laki muda pemburu menarik napas panjang. Baginya, pemuda dan gadis cantik di atas kereta itu serupa aliran deras sungai Kherlen yang memiliki kelokan-kelokan besar di sepanjang lintasannya. Kelokan-kelokan yang penuh dengan misteri putaran dan selalu disarati keindahan. Dan, is sangat merindukan keindahan kelokan-kelokan itu. Setiap matahari naik dan garis rentang di punggung pengunungan Khenti, ia tak henti bertanya agak pilu, "Kapan aku menemukan rembulanku?" Tak jarang, ia berdiri lama dibawah langit malam seolah tengah menghitung pergerakan bintang-bintang yang sering kali memberikan bahasa isyarat perjalanan musim-musim bagi sukunya, suku Borjigin dan suku-suku lain di kawasan tumpah darah dan bangsanya. "Haruskah aku menunggu hingga matahri pagi berwarna kelabu dimataku?" tanyanya setiap kali. Saat demikian, hatinya terasa perih.
Ia memang dibesarkan dalam lingkungan ganasnya alam, seperti orang Mongol lainnya. Ia pun sering melewati hari-hari tegang akibat perseturuan antarsuku. Dan, ia pun beberapa kali angkat senjata mempertahankan sukunya dari serangan suku lain. Namun demikian, berada di bawah langit bangsa Mongol, ia merasa berada pada sebuah titik semesta yang tepat. Sebuah titik yang sanggup menampung naluri pemburunya, tekstur jiwa pengembara leluhurnya dan mampu mewadahi identitas dirinya sebagai salah satu cucu dari khan pertama bangsa Mongol. Satu-satunya hal yang membuatnya gelisah, sejauh ini ia belum memiliki pendamping hidup. Ia sangat merindukan sebuah hati, dimana sebuah hidup baru terawali, meninggalkan hari-hari sepi dan malam-malam kelam tanpa teman. Sebuah hari, dimana seluruh isi bumi hanyut dalam bahagia dan malam larut dalam hening yang mendebarkan. Sebuah hari yang membuatnya menjadi seorang laki-laki sempurna.
Si laki-laki pemburu menatap sekali lagi pada pemuda penunggang kuda. Tiba-tiba, ia terhenyak. "Aku seperti mengenalnya!" bisiknya. Ia melangkah beberapa tindak. Dan, ia benar-benar mengenali pemuda itu. "Chiledu... dari suku Merkit!" Serunya tertahan.
Ia melangkah lagi berusaha makin mendekat. Dan, dari jarak yang tidak jauh, ia dapat memastikan bahwa pakaian yang dikenakan gadis di atas kereta adalah pakaian yang secara adat masih memiliki hubungan kerabat dengan sukunya, suku Borjigin, lewat jalur pernikahan. "Gadis itu dari suku Ongirad!" pikirnya.
Ia memandang lama wajah cantik di atas kereta. Sebuah wajah yang sempurna. Wajah serupa rembulan. Teduh, menebarkan kesejukan dan sarat keindahan. Ia telah lama malang melintang sepanjang pengunungan Khenti hingga memasuki dataran gurun Gobi. Ia telah melintas sepanjang aliran sungai yang mengelilingi tanah tumpah darahnya. Ia pun telah berkelana dari suku ke suku dalam wilayah Mongol. Namun, baru pagi ini, ia menemukan sebuah wajah yang membuat dadanya berdebar. Ia benar-benar terpesona.
Saat kereta melewati jarak pandangnya, ia memindahkan pandanganya ke arah hamparan hutan jauh di depan sana. Tiba-tiba, wajahnya terpaku seolah tengah berusaha mendegradasi suara-suara yang menyelinap dalam dadanya.
"Inikah takdir rembulanku yang sekian lama aku tunggu?" tanyanya pelan pada dirinya sendiri. Ia menggerakkan kepalanya dan kembali menatap ke arah kereta. Mendadak, ia tersentak kaget saat tanpa ia duga, kepala gadis di atas kereta berpaling kearahnya, meski kereta itu telah melewati jarak pandangnya. Dan sekilas, ia masih dapat menyaksikan pandangan mata si gadis, Sebuah pandangan tanda terkejut.
Si laki-laki pemburu terdiam lama, Perlahan, ia menunduk menatap anak-anak rumput yang rebah di sekitar kedua kakinya. Tidak jauh dari tempatnya, ujung dedaunan bergesekan menciptakan suara meresahkan. Dadanya kembali berbedar. Ia tahu, dari perangkat dan aksesoris yang dikenakan si pemuda dan gadis di atas kereta, kedua insan ini tengah melakukan perjalanan bahagia pernikahan.
"Haruskah aku menghentikan kebahagiaanh mereka?" katanya serak. Saat ini, tak mudah baginya mengambil sebuah keputusan atas beberapa pertentangan yang mendera batinnya, berapapun sebenarnya hal itu sangat mudah. Sebab, ia tahu kedua insan itu tengah merajut menuju sebuah kebahagiaan dan terlarang bagi siapapun untuk menghentikannya. Namun ini, permasalah yang selama ini menggelisahkan hari-harinya. Seperti terusik dan tiba-tiba menjadi celah memasuki sebnuah area terlarang.
Tiba-tiba, ia memutar tubuhnya setngah lingkaran. Dalam balutan cahaya matahari pagi, wajahnya tampak memerah. Senyumnya tersungging. Detik selanjutnya, ia berlari kencang memburu kereta.
"Tunggu!" teriaknya lantang.
Pemuda penunggang kuda menarik kekang tali kudanya. Berpaling, ia menyaksikan seorang laki-laki sebaya denganya. Laki-laki bertubuh tegap dengan wajah keras. Tanganya memegang sebuah busur pendek dan dibelakang kepalanya terlihat beberapa ujung anak panah. Senjata khas para pemburu sekaligus identitas bangsa Mongol.
"Yesugei...," bisiknya mengenali si laki-laki pemburu.
Dikalangan para pemburu dan suku-suku Mongol yang membentang dikawasan tiga sungai dan diantara pengunungan Khenti hingga perbatasan belantara hutan Siberia, bahkan hingga menyeberang ke gurun Gobi, Yesugei adalah nama yang tidak asing lagi. Ia adalah kepala suku Borjigin. Ia adalah cicit pemersatu orang-orang Mongol, Khabul.
Khabul ialah seorang laki-laki yang berhasil menyatukan suku-suku atau klan-klan yang tersebar di kawasan Mongol. Ia pun adalah orang pertama yang menyandang gelar khan bangsa Mongol. Konon, Khabul adalah orang pertama yang menyeberang gurun Gobi dan menginjak tanah Zhong-du di daratan Cina Utara, memenuhi undangan salah satu Kaisar Holoma, penguasa suku Jurchen untuk membicarakan sebuah perundingan politik, tentang perbatasan dan persekutuan. Namun, pembicaraan politik ini gagal dan menjadi pintu terjadinya saling permasalahan yang tak berujung. Dalam sejarah panjang bangsa Mongol, inilah awal permasalahan antara banga Mongol dengan bangsa diluar Mongol.
Sejak berpopulasi dan membentuk sebuah komunitas besar bangsa Mongol, orang-orang Mongol yang tersebar di beberapa kawasan, perlahan-lahan membentuk suku atau klan (keluarga besar). Sebuah perubahan yang tanpa disadari membuat mereka menjadi bersekat-sekat dan menciptakan tembok pemisah. Sebuah tekstur bangunan bersifat politik yang sebenarnya mendorong terjadinya rasa lebih unggul dan merendahkan pihak lain. Maka tak jarang, setelah populasi mereka membesar, masalah demi masalah mulai tampil ke permukaan. Permasalahan kian bersilangan dan makin menggejaka ketika ada pihak-pihak diluar Mongol yang mulai menancapkan pengaruhnya pada salah satu suku atau klan. Ironisnya, mereka sulit didamaikan mengingat mereka berasal dari orang-orang nomaden dan dikenal sebagai bangsa pemburu yang sarat insting menaklukkan. Dan, dalam perjalanan sejarahnya, mereka sering berhadapan dengan liar dan ganasnya alam. Hingga meski mereka berhasil membentuk sebuah bangsa, tapi fondasi bangunan bangsa mereka keropos.
Dalam masa-masa sulit itulah, Khabul muncul sebagai laki-laki pemersatu antarsuku dan klan. Sebagai simbol penghormatan atas usahanya, orang-orang Mongol mengangkatnya sebagai khan. Dalam kurun kepemimpinannya, bangsa Mongol mulai diperhitungkan bangsa atau suku lain diluar Mongol. Terbukti seorang Kaisar dari daratan China Utara mengundang Khabul untuk membicarakan tapal batas dan persekutuan mereka.
Tapi sepeninggal Khabul, generasi di bawahnya tidak memiliki karisma yang sejajar dengan Khabul. Kesadaran mereka akan arti pentingnya persatuan mulai memudar. Hingga dalam kurun yang tidak terlalu lama, mereka kembali tersuruk dalam perpecahan antarsuku dan klan. Bahkan, suku Borjigin, suku yang melahirkan Khabul, tidak sanggup mempertahankan legenda persatuannya, yang telah mereka bina hampir seratus lima puluh tahun. Mereka terpecah hingga menjadi puluhan klan. Sesungguhnya saat itu, sebuah peta kekuatan yang dilatari sifat dan bakat alamiah telah tenggelam dari bumi Mongol.
Dan pagi ini, Yesugei benar-benar yakin tengah berhadapan dengan Chiledu. Ia mengenal Chiledu sebagai adik laki-laki dari pemimpin suku Merkit yang tinggal di sebelah barat hutan di seberang danau Baikal, tidak jauh dari hulu sungai Selenga.
Chiledu turun dari kuda tunggangannya. Ia memandang sekilas pada Yesugei, lalu melangkah mendekati kereta di sebelahnya. Ia tersenyum pada gadis di atas kereta, seolah memberikan sebuah ketenteraman, karena pemuda ini dapat merasakan kegelisahan yang terpancar dari wajah si gadis.
"Haoelun..., tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku mengenalnya!" kata Chiledu setengah berbisik. Tanganya menggenggam tangan si gadis.
Hoelun menggangguk pelan. Beberapa saat lalu, tanpa sengaja ia sempat melihat keberadaan Yesugei. Awalnya, ia tak menaruh curiga. Baginya, keberadaan Yesugei pada pagi ini, tak jauh berbeda dengan pertemuannya bersama beberapa orang di sepanjang jalan yang ia lewati. Ia baru gelisah ketika mendengar teriakan dan mendapati Yesugei berada di hadapannya. Tiba-tiba, dadanya berdebar.
Chiledu menghampiri Yesugei "Bukankah aku tengah berhadapan dengan Yesugei, kepala suku Borjigin?" tanyanya seolah ingin meyakinkan dan mendapatkan sebuah kepastian bahwa tak ada yang perlu dicemaskan dengan kehadiran Yesugei.
Yesugei tersenyum tipis.
"Apa ada yang perlu dibicarakan denganku?" Chiledu kembali bertanya.
Yesugei tidak segera menjawab, justru pandanganya berpindah ke arag Haolun
Chiledu tertawa. Seolah dapat membaca apa yang melintas dalam kepala Yesugei, ia berkata," Ia Hoelun dari suku Ongirad, calon istriku..."
Yesugei mengalihkan pandangannya dari Heolun dan menatap pada Chiledu. Namun sejauh ini, ia belum membuka suara.
"Aneh..." Chiledu membatin, membaca sikap Yesugei. Ia pun berusaha memutar memori perjalannya selama ini. Dan ia ingat benar, beberapa kali bertemu dengan Yesugei tidak ada hal yang membuat mereka berseberangan, meski mereka berbeda suku. Maka baginya, sikap Yesugei pagi ini adalah sebuah keanehan.
Karena setelah menunggu agak lama Yesugei tidak juga membuka suara, Chiledu memutar tubuh, lalu melangkah ke arah kuda tunggangannya.
"Tunggu!" Terdengar teriakan Yesugei.
Chiledu berhenti, tapi tidak berusaha membalikkan tubuh. Menurutnya, ia telah memulai sebuah perbincangan, tapi tidak memperoleh respons, bahkan menemukan sikap aneh pada Yesugei. Untuknya, melanjutkan perjalanan adalah lebih baik daripada harus menanggapi keanehan sikap Yesugei.
"Aku ingin kau meninggalkan tempat ini sendirian!" kata Yesugei.
Chiledu tercegang. Ia seolah belum percaya dengan apa yang baru ia dengar. Tapi, ia bersikeras tidak bergerak dan tidak bersuara. Baginya, hari ini adalah hari bahagianya yang sudah ia tunggu sekian lama. Dan, ia tak ingin merusak harinya dengan sesuatu yang tidak ia mengerti, meski sesuatu itu datang dari seorang Yesugei.
"Chiledu, kau dengar permintaanku?" terdengar pertanyaan Yesugei.
Sejenak, Chiledu hendak meneruskan langkah dan tidak menanggapi kata-kata Uesugei. Namun, entah ingin mengetahui maksud ucapam Yesugei, ia justru membalikkan tubuh dan menatap tajam pada Yesugei, lalu berkata, "Aku dengar semua kata-katamu. Apa maksudmy sebenarnya?"
"Aku ingin kau meninggalkan tempat ini tanpa Hoelun!"
Dada Chiledu tergetar. Ia merendahkan sedikit kepalanya, seolah ingin meminta penjelasan lebih konret. Dan sekarang ia mulai yakin bahwa keberadaan Yesugei pagi ini bukan tanpa sebuah alasan.
Sebagai adik kepala suku Merkit, ia pernah mengagumi Khabul, sang leluhur Yesugei. Ia pun menghormati suku Borjigin sebagai suku yang pernah melahirkan seorang khan pertama bangsa Mongol. Tapi ia tahu, kekaguman dan penghormatannya tak dapat menjadi penghalang ketika harga diri dan martabatnya mulai terusik. Apalagi, ia merasa sebagai kerabat dekat sang pemimpin suku.
Sementara itu, di atas keretanya, wajah cantik Hoelun berubah tegang dan pias. Pipinya tampak bergetar. Kata-kata Yesugei memberinya isyarat bahwa perjalanan bahagianya harus tertunda beberapa saat.
Selama ini, ia sering mendengar nama Yesugei meski sepanjang usianya belum pernah bertemu. Ia pun tahu, suku Borjigin adalah suku yang memiliki hubungan kekerabatan dengan sukunya, suku Ongirad, walau kekerabatan itu terjalin melalui sebuah pernikahan antarsuku itu. Yang membuatnya resah, ia merasa semua kata-kata Yesugei tidak main-main. Sekarang, ia dapat menerjemahkan debaran dadanya saat mendengar teriakan pertama Yesugei ketika menghentikan Chiledu. Tiba-tiba ia menggigil sendirian.
"Adakah selama ini di antara mereka berdua memiliki permasalahan?" Mendadak pemikiran dalam benak Hoelun. Tapi, melihat ketenangan sikap Chiledu saat menyaksikan kehadiran Yesugei, gadis cantik ini segera menepiskan dugaannya.
"Lalu, apa maksud kata-kata Yesugei?" Ia kembali disentak kegelisahan. Dan perlahan, kepalanya berpaling pada Chiledu. Ia memang belum lama mengenal Chiledu. Bahkan, ia baru tiga kali bertemu dengan lelaki itu. Masih terekam dalam memorinya, pada pertemuan kedua, tiba-tiba Chiledu menyatakan keinginannya untuk mengambil dirinya sebagai istri.
"Bersediakah kau menjadi istriku?" tanya Chiledu senja itu.
Disenja merah itu, ia tak sanggup memberi jawaban. Ia diam tak bergerak. Dadanya bergemuruh. Pandangannya jatuh di atas tanah yang mulai gelap. "Menjadi istri?" pikirnya. Ia belum mampu menerjemahkan secara mendetaik keinginan Chiledu. Namun sejak senja itu, dadanya selalu terpadati kerisauan sekaligus kerinduan. Malam-malamnya pun mulai diwarnai gelombang kebimbangan, kegelisahan, juga kebahagiaan.
Sejak senja itu, setiap malam tiba, ia lebih suka menyendiri di dalam tenda ger-nya atau keluar menikmati malam dan berdiri berlama-lama seraya memendang keluasan langit. Baginya, bintang-bintang seolah membuat gerakan-gerakan yang penuh makna. Dan, ia sering berbincang sendirian.
"Diakah takdir suamiku?" tanyanya setiap kali sambil tersenyum. Kehadiran Chiledu telah membuat hari-harinya berubah. Perlahan-lahan, belahan jiwanya yang selama ini tak berteman, mulai terisi oleh bayang-bayang wajah Chiledu. Bayangan wajah itu tak mampu is hentikan, meski ia telah membenamkan kepalanya dibawah kain wol bantalan tidurnya.
Tanpa ia sadari, sebuah kekuatan aneh telah membuat dirinya seperti berada di atas ketinggian. Jiwanya melayang. Dan di atas sana, ia mendengar nyanyian cinta.
"Aku akan membahagiakanmu Hoelun..." Terngiang kata-kata Chiledu. "Dan, aku akan menjemputmu dengan kereta kuda..."
Dan, Chiledu menepati janjinya. Kemarin petang, ia muncul dengan membawa serta sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda besar. Petang kemarin hingga tengah malam, Chiledu menghabiskan waktunya dengan berbincang panjang bersama keluarganya. Malam itu, ia sendirian diluar tenda ger-nya. Dadanya semarak dengan berbagai perasaan, bahagia, bimbang, resah dan sedih.
Ia bahagia karena tak lama lagi memasuki sebuah kehidupan baru. Tapi, ia sedih sebab harus meninggalkan seluruh kenangan dan kebebasannya.
Esok harinya, sebelum fajar menapaki jendela langit, ia telah meninggalkan suku Ongirad. Suku yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Pergilah, Hoelun, jemputlah duniamu. Sambutkah bahagiamu!" kata kepala suku sebelum ia melangkah menuju kereta kuda. Saat itu, ia seperti terhenyak dari sebuah keterkejutan. Ia mengangguk beberapa kali. Sebelum kereta benar-benar bergerak, ia melayangkan pandangannya pada kerabat yang mengantar kepergiannya. Ia menyaksikan semua kerabatnya tersenyum, Tapi, justru ia menangis.
"Kau tak bahagia?" tanya Chiledu mengejutkannya. Memandang berkeliling, ia sudah meninggalkan tanah kelahirannya. Ia buru-buru mengusap air matanya, lalu berpaling pada Chiledu sambil tersenyum dan berkata berbisik, "Aku bahagia. Bahagia sekali."
Chiledu tertawa pelan. Saat itu, di mata Hoelun, ia melihat seorang lelaku yang penuh semangat pertualangan dan akan mengantarnya pada sebuah pertualangan baru. Pertualangan yang didalamnya di aliri gelombang cinta.
"Apalagi yang kau tunggu, Chiledu?" Tiba-tiba, terdengar suara Yesugei, membuyarkan lamunan Chiledu. Berpaling, Chiledu tersentak sendiri karena Yesugei tengah menatap tajam pada dirinya, Ia segera memindahkan pandangannya.
"Kau menginginkan calon istriku, Yesugei?" ujar Chiledu setengah tertawa sinis. "Tak kusangka!" Chiledu maju dua langkah. "Kau pikir dirimu siapa, hah?" Laki-laki suku Merkit ini kembali tertawa. Lalu, tiba-tiba ia menyentakkan kepalanya memandang langit dan meneruskan ucapkan, "Leluhurmu memang orang yang dihormati. Bahkan, aku pernah bangga memiliki orang seperti Khabul! Tapi, melihat jalan pikiranmu saat ini, aku perlu berpikir kembali tentang kebanggaan dan penghormatanku!"
Yesugei tak bergerak. Dan, di luar dugaan Chiledu, mendadak cicit pemersatu orang Mongol ini mengangkat busur panahnya, diarahkan tepat pada Chiledu. Lalu, terdengar suaranya bergetar, "Aku tak mau dengar lagi kata-katamu! Tinggalkan tempat ini atau..."
"Atau apa?" Chiledu menukas. Pandangannya menantang tatapan Yesugei.
"Atau anak panahku akan mengantarmu pulang tanpa jasad!" Chiledu menyimak baik-baik wajah Yesugei seolah ingin menyakinkan diri tentang ancamannya. Dan Yesugei dapat membaca apa yang sedang berputar di kepala Chiledu. Maka, ia segera buka suara.
"Aku tidak main-main!"
Chiledu mundur beberapa langkah. Semua sikap Yesugei memberinya penjelasan bahwa laki-laki itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia tampak bimbang, seperti berada di sebuah persimpangan. Ia pikir, disatu sisi dirinya sanggup menghadapi Yesugei. Tapi, keberadaannya yang tanpa senjata membuatnya harus berpikir dua kali untuk memaksakan diri menghadapi Yesugei. Pada sisi lain, ia harus menyelamatkan Hoelun.
"Yesugei...," kata Chiledu. Suaranya terdengar rendah. "Tidak bisakah kita bicarakan hal ini dengan baik-baik? Bukankah kita sudah saling kenal sejak lama? Bukankah di antara kita tidak ada silang masalah?"
Yesugei tertawa. Ia tahu, pemuda di hadapannya tengah dilanda dilema. Dan, ia merasa yakin Chiledu akan memilih meninggalkan tempat itu tanpa Hoelun daripada harus menghadapi dirinya. Maka, ia segera menyahut, "Chiledu, benar bahwa kita sudah kenal sejak lama. Benar pula bahwa di antara kita tidak ada silang masalah. Tapi, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita! Kau sudah dengar permintaanku. Dan, kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
Paras wajah Chiledu memucat. Yang benar-benar ia sesali ialah mengapa dirinya terlalu percaya diri hingga dalam perjalanan kali ini tidak membekali diri dengan senjata. Sementara ia tahu, dalam perjalanan menjemput Hoelun, ia akan melewati padang sabana dan sejak meninggalnya Khabul, persatuan antarsuku orang Mongol sudah memudar. Sehingga, apa pun bisa menjadi pemicu terjadinya masalah.
Chiledu menghela napas panjang. Matanya memandang Yesugei. Sebuah tatapan yang layu. Sejenak, ia masih berharap Yesugei berubah niat. Tapi, menyaksikan Yesugei masih diam dan busur anak panahnya tetap membidik tepat pada dirinya, ia menjadi sadar bahwa Yesugei tidak akan memberikan harapan padanya.
Chiledu mendekati Hoelun. Gadis cantik itu segera turun dari kereta. Ia dapat melihat kebimbangan, kegelisahan dan kemarahan calon suaminya.
"Jangan tinggalkan aku...," bisik Hoelun setengah meratap. Wajahnya telah basah oleh air mata. Tangannya mencengkeram lengan Chiledu.
Chiledu tegak terpaku. Suara Hoelun serupa repetisi suara katak di sebuah hening malam. Menyentak dan merobek-robek hatinya. Pandanganya jatuh pada sepasang kaki Hoelun.
"Jangan tinggalkan aku...," Hoelun kembali berbisik. Suaranya hampir tertelan oleh isakannya.
"Maafkan aku, Hoelun..."
Hoelun tercengang seakan tidak percaya dengan kata-kata Chiledu. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Baginya, ucapan Chiledu laksana gempa kecil yang membuat dirinya seperti terbangun dari sebuah keterlelapan panjang. Ia tak menyangka begitu mudahnya Chiledu harus menyerah tanpa membuat sebuah perlawanan untuk menyelamatkan dirinya. Sementara ia berpikir, ia akan merasa bangga dan sangat tersanjung seandainya Chiledu berani menghadapi Yesugei untuk dirinya.
"Kau akan meninggalkan aku?" tanya Hoelun. Matanya yang sembab menatap tajam pada Chiledu.
"Beri aku kesempatan..." bisik Chiledu. Sepasang matanya masih memandang pada kaki Hoelun.
"Chiledu, saat inilah kesempatanmu! Tunjukkan bahwa kau adalah laki-laki pelindungku! Perlihatkan bahwa kau adalah laki-laki yang menjagaku dalam keadaan apapun! Kau adalah laki-laki kesatria! Aku ingin melihat itu!"
"Tapi, kau lihat sendiri ia membawa senjata!"
"Kau juga punya senjata!" sahut Hoelun dengan suara datar. Perlahan, Chiledu mengangkat pandangannya.
"Lihatlah aku! Akulah senjatamu!" kata Hoelun. "Percayalah, kau bisa melawanya!"
Chiledu menggeleng pelan, "Aku akan segera kembali untuk menjemputmu!"
Hoelun memejamkan matanya. Dari sudut sempit kedua matanya, tanpak guliran air membasahi wajahnya kembali. Tubuhnya bergetar. Gadis ini berusaha mengerti apa yang saat ini dihadapi oleh calon suaminya itu. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya. "Baiklah... baiklah... Terkadang, seorang perempuan memang harus selalu mengalah dalam sebuah pertentangan," katanya seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Pergilah, Chiledu... bawa serta cintaku bersamamu!"
Hoelun mengusap air matanya, lalu memandang Chiledu dengan senyum. Saat itu, sulit bagi Chiledu menerjemahkan makna senyum Hoelun. Tubuhnya gemetar. Ia mendengar begitu banyak makna ironis yang terkandung dalam kata-kata dan senyum Hoelun. Sebuah ironi yang membuatnya seperti berjalan dalam gelap. Tanpa matahari, tanpa rembulan dan tanpa penerangan apapun.
Ia terkurung dalam lingkaran yang membelenggu. Ia bisa merasakan hentakan pilu dalam diri calon istrinya itu serupa gelombang dahsyat yang bergulung, berlorong-lorong dan gelap. Ia ingin sekali pergi menjauh. Menjauh dari tempat ini, dari matahari dan bulan, bahkan dari bumi ini. Lalu, menetap di sebuah benua yang aman, tenteram, meski tanpa matahari dan rembulan. "Tapi, dimakah tempat itu? dapatkah aku menemukannya?" bisiknya dalam hati. Ia menghela napas panjang. Tapi tiba-tiba, helaan napasnya patah saat terdengar suara Hoelun.
"Kau masih muda. Kau dari keluarga suku terhormat dan berada. Aku percaya masih banyak gadis yang bisa kau jemput dengan kereta kudamu..."
"Jangan berkata begitu. Ini hanya sementara. Tak lama lagi, aku akan datang menjemputmu dan memenggal kepala Yesugei!"
Hoelun tertawa pelan. "Mudah-mudahan benar kata-katamu. Tapi, aku tak banyak berharap. Barangkali, inilah jalan takdirku. Aku akan berusaha menerimanya. Bukankah perempuan hanya ditakdirkan untuk menerima takdir jodohnya tanpa memiliki hak menentukan, apalagi diselamatkan?"
Chiledu hendak berkata, tapi Hoelun telah mendahului. "Pergilah...! Yesugei tentu tak ingin kau berlama-lama disini!" Chiledu dapat mendengar nada kecewa, marah dan kepasrahan pada kalimat Hoelun.
"Aku mohon... tunggulah aku!" ujar Chiledu.
"Tentu, aku akan menunggumu!" sahut Hoelun. Suaranya pelan, tapi tegas. "Tapi, harap kau mengerti, perempuan seperti aku tidak banyak memiliki senjata, selain kekuatan cinta!"
Chiledu memandang sekali lagi pada wajah Hoelun. Saat lain, ia memutar tubuhnya setengah lingkaran, lalu melangkah ke arah kuda tunggangannya. Saat telah berada di punggung kudanya, ia berpaling pada Yesugei. Lalu, terdengar suaranya yang bergetar menahan amarah.
"Yesugei! Hari ini, kau membuka perselisihan denganku! Aku bersumpah akan kembali dan menuntaskan semuanya!" Yesugei tidak menyahut. Laki-laki ini hanya memandang seraya tersenyum sinis.
Chiledu menghentakkan kedua kakinya ke arah tubuh kuda tunggangannya. Kuda itu terlonjak, kemudian berderap meninggalkan Hoelun. Di antara suara derap langkah kaki kuda tunggangannya, lamat-lamat ia masih mendengar suara panggilan Hoelun. Namun, ia berusaha keras untuk tidak peduli.
Chiledu memutari sebuah bukit, lalu berhenti di tempat ketinggian. Dari tempatnya, jangkauan pandangannya bisa melihat sosok Hoelun yang masih berdiri di tempatnya semula sambil terisak. Sementara, Yesugei tegak mendongak. Dadanya berdesir. Sesaat muncul hasratnya untuk berderap turun kembali dan menghampiri Hoelun, lalu membawanya pergi. Tapi, jalan pikirannya seperti tumpul dan tak sanggup memilih jalan keluar. Memandang berkeliling, tiba-tiba ia merasakan area sekelilingnya adalah hamparan gelap tak berujung.
Setelah menarik napas beberapa kali, Chiledu memutar tali kekang kudanya. Kuda itu bergerak pelan meninggalkan punggung bukit. Di sebuah tempat, ia berhenti. Hasratnya untuk turun mendekati Hoelun muncul kembali. Ia menekuri jajaran anak-anak tumbuhan yang bergoyang-goyang akibat sapuan kaki kuda tunggangannya, Mendadak kepalanya menggeleng keras.
"Bukan...! bukan sekarang saatnya! Aku akan datang bersama orang-orang Merkit! Aku ingin Yesugei tahu, harga diri dan kehormatan bukan hanya milik suku Borjigin. Suku Merkit pun punya harga diri dan kehormatan! Aku pun ingin Hoelun tahu bahwa aku adalah laki-laki yang sanggup melindungi dan menjaganya!"
Chiledu mengarahkan pandangannya jauh kebawah, ke arah Hoelun. Lalu tangannya menepuk punggung kudanya. Ia berderap dan tak berpaling lagi. Di antara barisan pohon dan tumbuhan, cahaya matahari bersilangan pada wajahnya yang merah membara. Angin yang datang berlawanan, menyentakkan rambut dan pakaiannya. Aroma lembabnya tanah basah yang menguap akibat sinar matahari sesekali membuatnya tersengal. Tapi ia tak perduli. Ia terus berderap. Dan, matahari di ujung bukit sana tiba-tiba surut terlewati gugusan awan.
Di tempatnya, Hoelun terisak panjang. Meski ia sempat kecewa dengan sikap Chiledu, tapi saat pemuda suku Merkit itu benar-benar meninggalkan dirinya, ia berteriak memanggil. Ia masih berharap Chiledu berhenti, lalu kembali kepadanya dan melakukan perlawanan pada Yesugei. Tapi, harapannya sia-sia. Chiledu terus memacu kuda tunggangannya. Dan, manakala sosok Chiledu lenyap di tingkungan bukit, ia menghentikan terikannya. Sekarang, ia sadar bahwa tinggal dirinya yang harus memikirkan nasibnya sendiri. Ia tahu bahwa Chiledu mencintai dirinya. Ia pun tahu bahwa Chiledu akan menjemputnya kembali seperti janjinya saat ia hendak menjemput ndirinya untuk dijadikan istri. Dan, ia pun sebenarnya masih sangat berhasrat untuk melewati perjalanan hidupnya bersama Chiledu. Tapi, hasratnya itu mulai menyusut. Dunia baru yang ia bayangkan perlahan-lahan terseret kegelapan. Dan, kebahagiaan yang ia impikan meredup seketika.
Hoelun ingin berlari. Berlari sejauh yang ia mampu, bahkan melewati perbatasan semest ini. "Kemana lagi aku harus mencari perlindungan?" bisiknya seperti meraung. Jiwanya hampa dan kering terdengar patah-patah akibat guncangan bahunya. Sekarang, ia benar-benar tanpa kawan di atas bumi ini. Ia merasakan sebuah sepi yang tandus dan memanjang.
Ia tak tahu berapa lama terisak, saat terdengar suara gemersik anak-anak rumput tidak seberapa jauh dari kakinya, sebuah tangan terasa menyentuh pundaknya. Ia tersentak. Ia berusaha menguasai diri dan menenangkan hatinya. Lalu, perlahan ia menurunkan tangan daru wajahnya. Berpaling ke samping, ia menemukan Yesugei tersenyum kepadanya, Ia membuang muka dan cepat mengusap air mata pada wajahnya.
"Aku minta maaf..." kata Yesugei. Hoelun tidak menyahut. Ia mengarahkan pandangannya jauh ke puncak pengunungan Khenti.
"Akulah nlelaki yang akan melindungi dan menjagamu...!" Yesugei berkata lagi. Hoelun tetap diam tak bergerak. Pandangannya tak berpindah dari puncak pengunungan Khenti yang membiru. Dada gadis ini masih diwarnai hawa amarah, kecewa, sekaligus gelisah.
"Aku tahu memang perlu waktu. Tapi, aku akan menunggu..." kata Yesugei lagi. Hoelun masih bungkam.
"Percayalah, aku tidak seperti yang kau duga. Aku..." Yesugei tidak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba Hoelun berpaling padanya. Yesugei dapat melihat amarah, kesal dan kekecewaan gadis cantik di hadapannya itu. Dan, ia berusaha mengerti dengan tidak melakukan hal-hal yang membuat Hoelun makin kesal kepadanya.
"Kau tahu dugaanku padamu?" tanya Hoelun dengan suara parau.
Yesugei mengangguk. "Bagus! dan semua dugaanku benar, bukan?"
"Tidak! tidak semua benar!"
"Jelaskan mana yang tidak benar!" pinta Hoelun, meski ia belum mengutarakan dugaannya.
"Aku bukan orang jahat yang biasa menghentikan perjalanan orang, lalu menjarah barangnya!"
"Lalu, apa yang kau lakukan pada Chiledu pagi ini?"
"Inilah pertama kali aku melakukannya! dan, aku menjadi tindakan terakhir pula!"
"Siapa percaya!" seru Hoelun
"Kau harus percaya! Ini aku lakukan karena aku ingin menjadikanmu sebagai istri."
"Dengan cara keji seperti ini?"
"Apa boleh buat. Aku menyesal. Tapi, aku tidak bisa menahan diri. Maka sekali lagi, aku minta maaf. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik. Melindungi, menjaga dan menyayangimu. Aku tidak berharap kau segera menerimaku. Aku akan bersabar menunggu sampai kau bisa menerimaku..."
Hoelun menggeleng berulang kali, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan semua kata-kata Yesugei. Baginya barang yang retak barangkali masih dapat direkatkan kembali dalam waktu yang singkat. Tapi, jika hati yang retak, mungkin butuh waktu panjang untuk menyembuhkannya. Kalupun sembuh, ia tidak sembuh sepenuhnya. Dan menurutnya, Yesugei tak mungkin sanggup mejalani hari-hari panjang menanti kesembuhan hatinya.
"Kau tahu bahwa kau telah mengawali sebuah kesalahan?" Tanya Hoelun setelah terdiam sekian lama. "Dan, kau tahu bahwa kesalahanmu tidak hanya akan menyeret dirimu, tapi juga sukumu? Sebagai kepala suku Borjigin, kau tak pantas melakukan semua ini@ Seharusnya, kau melakukan hal seperti yang pernah dilakukan mendiang leluhurmu! Kau telaj mencoreng kehormatan suku Borjigin! Kau telah menodai nama besar suku Borjigin, nama besar Khabul!" Hoelun menghentikan kata-katanya sejenak, lalu melanjutkan, "Maka sebelum semua menjadi besar, lakukan sesuatu untukku! Kembalikan aku pada Chiledu! Atau, biarkan aku pergi. Aku berjanji akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita."
Yesugei menggeleng. "Kau boleh punya pendapat apa saja tentang tindakanku ini. Tapi, jangan berharap aku akan mengembalikan atau membiarkanmu pergi dari tempat ini. Dan, perlu kau tahu, aku akan bertanggung jawab atas semua tindakku!"
"Kau pikir itu mudah, semudah kau mempermalukan Chiledu?" ujar Hoelun seraya menggeleng beberapa kali.
"Kita masih punya waktu panjang untuk membicarakan soal ini. Sekarang, aku minta kau ikut bersamaku. Silahkan naik ke atas kereta..."
Habis berkata, Yesugei melangkah mendekati salah satu kuda penghela kereta. Lalu, sekali membuat gerakan, sosoknya telah berada di atas punggung salah satu kuda penghela kereta.
Hoelun masih tegak ditempatnya. Rasa marah, bimbang, kesal dan kecewa masih memadati hatinya. Sesaat, terlintas dalam benaknya untuk meronta melepaskan diri dari belenggu kasat mata yang dihadirkan oleh sikap-sikap Yesugei. Tapi, mengingat kata-kata Chiledu sebelum pergi, juga kata-kata Yesugei yang akan bersabar menunggu sampai dirinya dapat menerima kehadirannya, ia berpikir, tak ada salahnya untuk sementara waktu mengikuti semua keinginan Yesugei. Bukankah tak lama lagi Chiledu akan menjemputnya?
"Naiklah...," pinta Yesugei sambil tersenyum. "Atau, kau ingin aku menaikkanmu ke atas kereta?" Hoelun berpaling menyembunyikan wajahnya yang merona. Perlahan, ia mendekati kereta dan naik ke atas kereta dengan pandangan menyusur jauh ke samping.
Yesugei tertawa pelan. Beberapa saat kemudian, kereta itu telah bergerak melintasi padang rumput. Wajah Yesugei tampak cerah. Menurutnya, tindakannya merebut Hoelun dari tangan Chiledu bukanlah tindakan yang sepenuhnya salah. Ia dan Hoelun masih berada dalam sebuah ikatan yang lahir dari pernikahan antarsuku mereka berdua. Maka, dirinya masih memiliki hak untuk menikai Hoelun atau merebutnya jika ada suku lain yang menikahinya. Menurut adat orang Mongol, jika dua suku sudah terikat dalam sebuah pernikahan, maka ikatan persaudaraan kedua suku ini melebar hingga laki-laki pada kedua belah pihak mempunyai hak penuh untuk menikahi perempuan yang dikenhendaki dari para perempuan di kedua belah pihak. Para perempuan kedua belah pihak boleh dinikai oleh laki-laki suku lain, jika di antara suku kedua belah pihak tidak ada laki-laki yang berhasrat menikahinya.
Sepanjang perjalanan, Hoelun tampak diam tak bersuara. Pandangannya lurus ke depan. Tapi, pandangan itu tak berpanorama. Kosong dan tandus. Setandus hamparan rumput di musim panas yang panjang.
***
Satu tahun kemudian...
Disebuah pagi menjelang musim semi.
Dari arah ger-ger perkemahan suku Borjigin dan suku-suku lain yang masih memiliki hubungan kerabat dengan suku Borjigin, yang tersebar sekitar lembah sungai Onon, terdengar suara riang para anak-anak dan bisikan-bisikan nyaring suara para perempuan. Suara-suara mereka berpadu dengan nyanyian pagi burung skylark dan deburan air sungai yang menampar pada lamping-lamping kelokan.
Sambil tertawa riang dan bercengkerama, para perempuan dan anak-anak berjalan cepat menuju perbukitan terdekat, tempat dimana mereka dapat bebas menjangkau dengan pandangannya kearah hamparan padang rumput. Mereka laksana sekumpulan lebah yang bergerak di atas udara, mencari tempat baru.
Di area perbukitan, seketika hawa tanah-tanah lembab bersilangan dengan aroma keringat. Anak-anak tumbuhan dan rumput rebah terinjak kaki-kaki telanjang. Sekelompok kelinci menangkap getar ancaman. Mereka segera bergerak cepat, berlari serabutan memasuki lorong-lorong bawah tanah mencari tempat persembunyian yang aman.
Pagi yang jernih ini adalah sebuah pagi dimana mereka akan bertemu kembali dengan para suami dan ayah mereka, yang hampir enam bulan terakhir melakukan perjalanan ke selatan, menyusur sepanjang gurun Gobi dan memasuki wilayah perbatasan Cina Utara, tempat dimana suku Tatar berada, Sebuah suku yang masih terkait erat dengan suku Jurchen.
Enam bulan silam, suku Borjigin dibantu beberapa suku lain, bergerak ke selatan untuk melakukan serangkaian serangan pada suku Tatar. Dan pagi ini, mereka akan kembali. Seperti peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, para perempuan dan anak-anak akan memantau kedatangan mereka dari punggung bukit. Ketika para perempuan dan anak-anak ini dapat melihat kedatangan mereka, para perempuan dan anak-anak ini akan bersorak panjang, kemudian berlarian turun dari punggung bukit.
Tak berapa lama kemudian, sepanjang aliran sungai Onon akan meriah oleh mengudaranya senandung kerinduan tatkala para perempuan dan anak-anak menyaru dalam pelukan dan ciuman hangat serta dekap kereingat para suami dan ayah mereka.
Beberapa tahun terakhir, sepanjang aliran sungai Onon seolah telah menjadi dermaga tempat berlabuhnya kerinduan. Seperti kerinduan bumi malam pada teduhnya rembulan. Seperti kerinduan hamnparan pasir pantai pada sentuhan anak-anak ombak.
Konon, saat Khabul masih memimpin bangsa Mongol, Khan pertama orang Mongol ini sempat mengadakan perundingan politik dengan pemimpin suksu Jurchen di Cina Utara. Namun, perundingan ini gagal. Dan, gagalnya perundingan ini ternyata memicu timbulnya silang masalah. Beberapa kali, keduanya terlibat dalam bentrok bersenjata untuk menunjukkan bahwa merekalah yang lebih unggul. Permasalahan keduanya terus berlanjut, bahkan hingga Khabul meninggal dunia dan digantikan oleh generasinya, Ambakai.
Pada sebuah bentrokan, Ambakai tertangkap oleh suku Tatar yang masih memiliki hubungan kerabat dengan suku Jurchen. Orang-orang Tatar menyerahkan Ambakai pada suku Jurchen. Dan, di sebuah ujung senja, orang Mongol mendengar kabar memilukan, Ambakai dihukum mati dengan cara disalib di atas kayu hitam. Sebuah hukuman yang menyengat semangat dendam orang Mongol.
Tiga bulan kemudian, saat berakhirnya musim semi, Kutula, sang penerus Ambakai, menyusun kekuatan, lalu berderap melintasi ganasnya gurun Gobi, menyerang suku Tatar dan suku Jurchen. Orang-orang Mongol berhasil memukul mundur suku Jurchen hingga kedua suku ini berlindung di perbatasan Cina Tengah, di sekitar tembok-tembok panjang yang banyak dibangun oleh orang-orang Cina Tengah.
Selama beberapa tahun, orang Mongol berhasil mengukuhkan diri sebagai pemenang. Namun, bersama berlalunya waktu, mendung kegelapan mulai melingkari langit bangsa Mongol, ketika perpecahan antarsuku Mongol mulai tampil ke permukaan. Sebuah perpecahan yang mengantar orang Mongol terlibat dalam peperangan antarsuku. Sebuah perpecahan yang menyeret mereka ke dalam jurang gelap hilangnya semangat persaudaraan dan membuat posisi persatuan mereka menjadi rapuh, bahkan mereka tidak lagi menganggap Kutula sebagai pemimpin bangsa Mongol.
Suasana perpecahan dalam tubuh bangsa Mongol di manfaatkan suku Tatar dan suku Jurchen. Kedua suku ini menghimpun kembali kekuatan mereka yang berserak. Dan, dalam sebuah penyerbuan, mereka berhasil membuat orang Mongol tersuruk dalam kekalahan panjang. Kekalahan yang mendorong orang Mongol terjerembab dalam gelapnya bumi ketandusan. Mereka tak lagi memiliki semangat bertarung ala gurun Gobi. Dan, mereka tak lagi memiliki seorang pemimpin.
Sejak masa itu dan dua generasi setelahnya, bangsa Mongol seakan tercerabut dari bumi semesta. Mereka ada, namun tidak berbangsa. Mereka ada, namun terbelah dalam suku-suku yang saling bermasalah. Mereka ada, namuhn tidak ada yang merekatkan mereka dalam sebuah ikatan kuat, selain beberapa suku yang menjalin hubungan baik karena lewat pernikahan.
Di antara suku-suku Mongol, suku Borjigin adalah salah satu suku yang masih memiliki semangat bertarung melawan suku Tatar atau suku Jurchen. Dada mereka masih memendam dendam. Karena dalam sejarahnya, baik Khabul, Ambakai dan Katula adalah tokoh-tokoh yang lahir dari rahim suku Borjigin. Itulah sebabnya, suku Borjigin dibantu suku-suku yang memiliki hubungan kerabat selalu menyusun kekuatan dan sesekali melakukan penyerbuan pada suku Tatar dan suku Jurchen.
Dan, pagi ini adalah pagi kedatangan mereka. Pagi yang menaurkan mereka kembali dengan para perempuan dan anak-anak, setelah mereka berpisah selama hampir enam bulan.
"Mereka datang! Mereka datang!" sebuah suara tiba-tiba melengkang keras dari sebuah pohon tinggi di sudut punggung perbukitan.
Para perempuan dan anak-anak seketika berpaling. Pandangan mereka menyusur hamparan rumput dan berhenti pada sebuah sudut tingkungan yang dipagari batu-batu cadas, jajaran pohon cemara dan rimbunan pohon maple. Sebuah tikungan tidak seberapa jauh dari kelokan sungai Onon. Mereka menunggu dengan dada berdebar. Di atas sana, matahari terus bergerak. Tapi bagi para perempuan dan anak-anak, gerak matahari pagi ini begitu lambat.
Tak berapa lama kemudian, di antara sela jajaran pohon cemara di sudut tikungan di bawah sana, muncul rombongan laki-laki berkuda. Mereka bergerak lamban. Hingga ladam-ladam kaki kuda mereka tidak memperdengarkan suara. Di bawah bayangan cahaya matahari yang bersilangan dibalik pohon-pohon cemara dan maple, wajah para lelaki ini legam berkeringat. Mereka bergerak dengan dada membusung. Pada punggung mereka terlihat ujung-ujung anak panah dan sebuah busur pendek yang disarungkan di bagian bahu. Angin pagi menebarkan rambut mereka. Siulan burung-burung skylark adalah simfoni yang seolah ikut menyambut kedatangan mereka. Kemunculan mereka laksana gerakan pasukan sebuah negeri yang kembali setelah menaklukan negeri-negeri jauh.
Para perempuan dan anak-anak di punggung bukit saling berpandangan sesaat. Detik selanjutnya, mereka bersorak panjang. Lalu, laksana pemburu yang berhasil membidik hewan buruannya, mereka berlari kencang menuruni pungung bukit, menerabas ilalang rumput dan tumbuhan. Dan suasana pagi ini, pecah oleh suara-suara bernuansa kerinduan, manakala rombongan laki-laki berkuda melompat turun dari kuda tunggangan masing-masing, lalu menghambur ke arah anak-anak dan para perempuan tegak menunggu di sepanjang aliran sungai Onon.
Agak jauh dari aliran sungai, Hoelun tampak berdiri di samping ger kemahnya. Baginya, pemandangan pagi ini adalah suasana yang pernah ia saksikan dan ia alami saat masih tinggal bersama sukunya, suku Ongirad. Salah satu suku yang dalam beberapa kurun sempat bergabung dengan suku Borjigin, melakukan serangan terhadap suku Tatar dan suku Jurchen.
Pagi ini, seperti halnya para perempuan dan anak-anak suku Borjigin, ia pun merindukan sebuah pertemuan. Pertemuan dengan Yesugei, sang suami sekaligus kepala suku Borjigin. Dan, sama halnya dengan anak-anak dan para perempuan suku Borjigin, selama ini ia selalu dirundung kecemasan dan kegelisahan. Setiap kali bulan mengudara di tepian langit malam, ia tak henti berguman, "Karuniai dia dengan keselamatan hingga dia kembali ke sisiku... Tak jarang, ia menapaki jalanan berumput di sekitar aliran sungai Onon. Lalu, kepada gelombang air, ia berkata, "Kapankah dia akan kembali? Aku ingin dia segera tahu..." Di atas gelombang air sungai, ia sering berkaca dan mematut diri. Tiba-tiba, ia tersenyum tatkala menyaksikan bahwa tubuhnya saat ini terlihat lebih gemuk. Saat demikian, mendadak kerinduannya bergerak lebih cepat, memadati seluruh kedalaman hatinya.
Disini, di tengah suku Borjigin, ia berusaha menautkan keretakan hatinya. Sebuah keretakan yang mengalir dalam setiap arus darah dalam tubuhnya. Sebuah keretakan yang pada awalnya membuat dirinya seperti terpenjara dalam kegersangan. Saat itu, setiap helai hembusan napasnya ialah nada-nada yang menyuarakan kepiluan. Setiap jejak pikirannya adalah perasaan marah, kecewa dan kegelisahan. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri tentang perjalanan nasib yang tidak juga menemukan kepastian. Ia berharap, cHiledu segera hadir di hadapannya, memenuhi janji untuk menjemputnya, lalu membawanya pergi meninggalkan kawasan yang membuat dirinya mengalami mati rasa itu. Namun, waktu seperti tidak memberikan jalan kompromi kepadanya. Sekian saat menunggu, tidak ada tanda-tanda kehadiran Chiledu. Laki-laki suku Merkit itu seperti hilang ditelan gelapnya lorong-lorong bukit pengunungan Khenti.
Benar bahwa ketidak hadiran Chiledu merupoakan titik sentral yang membuat perasaannya kian marah, kecewa dan gelisah. Namun lebih dari itu, sesungguhnya ia hanya tak sanggup melewati peristiwa demi peristiwa di hadapannya tanpa seorang kawan. Selama ini, ia merasa sendirian di tengah suku Borjigin.
Yesugei memang memenuhi ucapannya. Ia memperlakukan dirinya dengan baik, melindungi dan menjaganya. Laki-laki ini tak bosan mendekati dirinya dengan perasaan dan hatinya. Tapi , hatinya belum tergerak untuk membuka. Kekuatan cintanya masih mengendap dan mengkristal dalam genangan harapan bersama Chiledu. Hatinya masih terkunci gembok besar. Seluruh kenangan indahnya bersama Chiledu masih sering hadir di malam-malamnya. Dan baginya, Yesugei masih serupa duri yang menusuk hatinya hingga berdarah.
"Ketahulah Hoelun, menurut adat kita, aku masih berhak sepenuhnya menikahi dirimu. Maka, jangan anggap tindakanku melanggar norma bangsa Mongol," kata Yesugei di sebuah malam, tujuh hari setelah peristiwa pagi itu.
"Bangsa Mongol sudah tidak ada di atas bumi ini," sahutnya dengan nada jengkel. "Maka, jangan membawa-bawa nama Mongol untuk alasan tindakanmu!"
Yesugei bukannya marah,. Justru ia tersenyum, lalu berlalu dari hadapannya. Pada sebuah malam, Hoelun keluar dari ger tenda kemahnya, seperti yang ia lakukan selama berada di tengah-tengah suku Borjigin. Ia menyediri tidak jauh dari sebuah pohon besar. Saat mendonggak, tiba-tiba ia melihat bulan bergerak cepat menyelinap masuk ke balik gugusan awan. Area di sekelilingnya berubah menghitam. "Haruskah hari-hariku gelap seperti gelapnya malam ini? Tanpa kepastian dan tanpa tujuan?" gumannya serak. Tiba-tiba, tubuhnya menggigil.
"Hoelun..." Hoelun tersentak kaget. Menoleh, ia mendapati dirinya telah berhadapan dengan Yesugei. Ia cepat mengalihkan pandangannya ke arag gelapnya hamparan rumput di seberang depan.
Yesugei tersebyum. Pada sikap dan pandangan Hoelun, ia dapat merasakan aura tak bersahabat. Tapi, ia dapat memakluminya. Untuk meluruhkan hati Hoelun diperlukan kesabaran panjang dan pengertian yang dalam. Ia memerlukan energi ekstra untuk menjauhkan imajinasi Hoelun dari bayang-bayang Chiledu. Ia membutuhkan ornamen teduh menghadapi sikap tak acuh gadis cantik itu.
"Hoelun...," kata Yesugei, "beri kesempatan padaku untuk membahagiakanmu." Hoelun duam tak bergerak. Pandangannya tak beranjak dari hamparan rumput gelap.
"Aku bukan lelaki sempurna. Tapi, aku bisa membahagiakanmu, seperti harapanmu pada Chiledu." Yesugei kembali berkata.
Tiba-tiba, Hoelun berpaling "Tak akan! Kau tak akan bisa membahagiakan aku!" Terdengar suaranya. Datar, namun penuh nada tekanan. "Sebab, satu-satunya kebahagiaanku saat ini adalah dapat lepas dari tanganmu!"
Yesugei maju mendekat. Ia mencodongkan kepalanya seolah ingin menatap lebih lekat paras wajah Hoelun. "Benarkah begitu?"
"Ya! Bagiku, tidak ada kebahagian yang lebih besar selain dapat lepas dari tanganmu!" kata Hoelun menyakinkan.
Yesugei menghela napas panjang. Ia memindahkan pandangannya ke hamparan udara hitam di hadapannya. Lalu, setengah berbisik, ia berkata, "Baiklah, jika memang hal itu yang bisa membahagiakanmu, maka sejak malam ini juga, kau bebas! Silahkan meninggalkan tempat ini kapan pun kau mau."
Hoelun tercengang. Ia benar-benar tidak menduga jawaban Yesugei. Namun, ia tidak percaya begitu saja. Menurutnya, Yesugei telah melakukan tindakan yang sangat berisiko memicu terjadinya masalah besar dengan suku Merkit. Maka, mustahil Yesugei akan melepaskan dirinya.
"Kau Bimbang?" Tiba-tiba, Yesugei berpaling dan bertanya, seakan dapat membaca apa yang sedang melintas dalam kepada Hoelun. Laki-laki kepala suku Borjigin ini tersenyum. "Aku telah berjanji untuk membahagiakanmu. Dan, kalau kebahagianmu adalah lepas dari tanganku, menagap aku tidak memberikannya padamu?" Pergilah kemana kau mau. Aku tak akan menghalangi..."
Setelah berkata, Yesugei tersenyum sekali lagi, kemudian berlalu dari harapan Hoelun. Hoelun terdiam panjang. Malam ini adalah sebuah malam seperti malam-malam sebelumnya. Tapi malam ini telah berubah menjadi malam yang sangat fantastis dalam kehidupannya. Udara yang bergerak, aroma rumput yang mengambang dan warna malam yang mengelam, tiba-tiba menjadi genangan yang mistis, eksotik dan penuh getaran misterius. Seluruhnya menyilang membentuk kesatuan yang atraktif dan menyelinap di kedalaman hatinya.
Hoelun memejamkan sepasang matanya. Malam ini, ia benar-benar kehilangan susunan kata untuk bicara. Sebuah kesadaran mulai memadati dadanya. Kesadaran bahwa sebenarnya Yesugei sungguh-sungguh ingin membahagiakannya, meski kebahagiaan itu harus ditebus dengan membebaskan dirinya.
Dengan tubuh setengah bergetar, Hoelun memandangi sosok Yesugei yang samar-samar di antara gelapnya malam. Sejenak, timbul keinginannya untuk memanggil dan meminta Yesugei kembali kepadanya. Tapi, sebuah kekuatan mendorong dirinya untuk menahan diri. "Aku perlu tahu apakah kata-katanya bisa di percaya ...," pikirnya.
Esok harinya, Hoelun keluar dari tenda ger kemahnya dan bergegas menuju tenda di belakang, sebuah tenda yang biasa dipergunakan Yesugei untuk menyimpan peralatan berburu. Setelah tujuh hari berada di perkemahan Yesgugei, ia tahu kebiasaan Yesugei di setiap pagi. Lelaki kepala suku Borjigin ini akan berjalan menuju kemah di belakang ger kemah besarnya. Ia akan memeriksa alat-alat berburunya atau membuat busur baru.
Tapi pagi ini, Hoelun tidak menemukan keberadaan Yesugei. Bahkan, hingga ia menyusuri sepanjang lembah dan aliran sungai Onon.
"Kemana laki-laki itu?" pikirnya.
Horlun tegak di sebalah pohon cemara, menghindari segatan matahari yang mulai nail sambil mengawasi suasana di sekelilingnya. Sepi, sejauh yang dapat ia saksikan hanyalah gerakan ujung daun dan rerumputan yang bergerak-gerak dipermainkan angin. Yang terdengar hanyalah silangan suara nyanyian burung skylark dengan deburan air sungai yang menghantam cadas lamping-lamping kelokan sungai. (cerita ini ditampilkan dalam facebook group facebook.com/chineseindo) Tiba-tiba, yang terhenyak. "Mungkinkah ini salah satu bentuk tindakannya yang ingin membebaskan aku?" bisiknya sendiri. Ia meluaskan pandangannya sekali lagi. "Haruskah aku meninggalkan tempat ini?" tanyanya penuh kebimbangan.
Hoelun menyakinkan diri dan menguatkan hatinya. Lalu perlahan ia mulai melangkah menjauhi pohon cemara, melintasi padang rerumputan. Namun beberapa langkah, kemudian, is berhenti. Paras wajahnya disarati keraguan. Dan tiba-tiba, sebuah wajah menggantung di udara. Bukan wajah Chiledu, seperti hari-hari biasanya, tapi wajah Yesugei. Ia tersentak sendiri. Ia berusaha menepis wajah itu. Namun semakin dihindari, wajah itu kian jelas menggantung di hadapannya.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" bisiknya setengah terisak. Ia membalikkan tubuh, lalu berlalri dan duduk bersandar pada pohon cemara. Dadanya berguncang. Siang ini, mendadak ia merasa asing dengan dirinya sendiri.
Menjelang senja, ia melangkah menyusuri aliran sungai Onon. Cahaya merah matahari merangkak pelan mengikuti gerakan kakinya. Dan tiba-tiba, ia telah berdiri di tepat di depan ger kemah Yesugei. Wajahnya tertunduk penuh kebimbangan.
"Hoelun..." Terdengar suara panggilan. Sebuah suara yang telah dikenalnya.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya. Ia menemukan Yesugei tersenyum kepadanya. Wajahnya memerah. Di ujung senja ini, untuk pertama kalinya ia melihat senyum Yesugei begitu mempesona.
"Masuklah, Hoelun. Sebentar lagi gelap," pinta Yesugei.
Hoelun tampak ragu-ragu. Ia diam tak bergeming.
"Masulah, Hoelun..." pinta Yesugei sekali lagi. "Aku masih memegang kata-kataku. Kau bebas meninggalkan tempat ini kapan pun kau mau..."
Dada Hoelun berdebar. Di hadapannya, ia melihat sebuah sikap dari seorang Yesugei yang benar-benar memegang ucapannya. Di ujung senja ini, kesungguhan Yesugei terpancar dari setiap detail sikap dan kata-katanya, sehingga ia merasa salah tingkah dan tak sanggup berkata-kata.
Sejak ujung senja itu, perlahan-lahan hatinya tergerak membuka. Wajah Chiledu yang selama ini selalu memadati malam-malamnya, mulai terkikis memudar tergantikan wajah Yesugei. Dan, satu bulan kemudian, ia telah mengambil sebuah keputusan sakral untuk menerima Yesugei dalam kehidupannya.Lalu, enam bulan berikutnya, seperti para perempuan lain suku Borjigin, ia melepaskan kepergian Yesugei.
Dan pagi ini, ia tengah menantikan kedatangan Yesugei. "Hoelun...!" Sebuah suara keras memanggil. Hoelun berpaling.
"Yesugei...!" pekik Hoelun. Ia berlari medekati Yesugei.Di depan sana, Yesugei tegak menunggi dengan senyum lebar dan kedua tangan terentang. Sesaat kemudian, di bawah matahari pagi, tubuh mereka sudah tak berjarak, menyatu dalam sebuah pelukan erat. dan, aroma yang melingkar adalah sensasi yang dipenuhi getaran romantis.
Setelah sekian lama berpeluan, perlahan Hoelun menjauhkan tubuhnya. Ia menatap suaminya lekat-lekat. Kini, ia baru sadar bahwa ia berhadapan dengan sebuah wajah yang lebih legam dan tubuh yang lebih kurus.
"Aku bahagia kau telah kembali..." kata Hoelun hampir tidak terdengar. Sepang matanya telah tergenangi air bening.
"Aku rindu..." Yesugei tersenyum sambil membelai rambut Hoelun. "Aku pun rindu..."
Sekali lagi. Hoelun menatap lekat wajah Yesugei. Yesugei terperangah. Ia merasakan tatapan aneh pada pandangan Hoelun. Sebuah tatapan yang tidak biasa. "Ada apa? Ceritakan padaku..." pintanya.
Hoelun tidak segera menjawab Justru ia makin menatap tajam pada Yesugei. Yesugei makin tak mengerti dengan sikap aneh Hoelun pagi ini. Ia berusaha menduga-duga. Tapi sejauh dugaannya, ia tidak menemukan sesuatu yang membuat hatinya menjadi yakin. Maka, ia balas menatap Hoelun, berusaha mencari jawaban disana. Namun, ia dibuat bertambah bingung, manakala mendadak Hoelun mengembangkan senyumannya. Wajahnya yang sesaat tadi diliputi kecemasan, kembali cerah serupa cerahnya pagi ini. Dimata Yesugei, pagi ini Hoelun tak ubahnya seperti seorang pemburu yang pulang membawa hewa buruannya.
Masih dengan senyum, perlahan Hoelun mengambil tangan Yesugei. Lalu, dituntunnya tangan itu menempel pada perutnya. "Yesugei..." bisiknya lembut. "Disini, telah tumbuh benih cinta kita..."
Yesugei tersentak. Ia menekankan tangannya pada perut Hoelun. Sementara, matanya menyimak baik-baik wajah Hoelun. "Kau hamil...?"
Perlahan, Kepala Hoelun mengangguk. "Benarkah?" tanya Yesugei hampir tak percaya. Hoelun menjawab dengan senyum dan anggukan kepala. Yesugei terpesona. Pandangannya jatuh tepat ke arah perut Hoelun yang tampak mulai membesar. Saat lain, ia tak dapat lagi membendung rasa bahagianya. Ia memeluk tubuh Hoelun.
Pagi ini, langit, desir angin, dedaunan, rumput basah dan mnatahari, menyaksikan mengenangnya sebuah kebahagiaan yang bergerak pelan menyisir udara, lali membumbung dan menghiasi langit bumi Mongol.
***
Enam bulan kemudian...
Matahari sudah mendekati garius langit sebelah barat. Tapi, cahayanya masih menyisa dan bertebaran di area Burka Khaldun, puncak pengunungan Khenti. Burka Khaldun tampak merah kekuningan dan kelabu. Sementara, jajaran pohon cemara dan muple yang membentuk hutan di bawah pegunungan yang terhubung dengan tanah landai berupa bentangan padang rumput mulai menghitam.
Pada sisi sebelah barat aliran sungai Onon, di sekitar ger perkemahan Yesugei, beberapa laki-laki tampak menyalakan obor. Mereka tegak mengelilingi ger perkemahan. Dalam bias cahaya api obor, wajah mereka terlihat disaput ketegangan. Mereka tegak membawa obor tanpa membuka suara. Tiba-tiba, angin yang berdesis berubah menggetarkan, mencekam dan misterius.
Saat Burka Khaldun mulai ditelan kegelapan dan bentangan padang rumput benar-benar menghitam, ger perkemahan membuka, Yesugei melangkah keluar. Wajahnya berkeringat dan sarat kegelisahan.
"Panggilkan shaman...," pinta Yesugei sambil berpaling pada salah seorang dari para lelaki pembawa obor. "Waktunya telah tiba!"
Si laki-laki mengangguk, lalu bergegas menjauhi ger perkemahan. Yesugei menyapukan pandangan berkeliling ke arah para lelaki pembawa obor. "Siapkan upacara penyambutan!"
Para lelaki pembawa obor mengangguk. Kemudian, mereka bergerak mendongak memandang langit. Perlahan, kisi-kisi langit pada punggung Burka Khaldun memutih akibat bias cahaya bulan yang muncul dari balik punggung pegunungan. Yesugei menghela panas panjang. Lalu kembali ke dalam ger perkemahan.
Si laki-laki yang diminta memanggil Shaman terus melangkah cepat menyisir sebelah kanan aliran sungai Onon. Pada sebuah persimpangan jalan sempit, ia berbelok ke kiri. Melangkah setengah kilometer, ia menemukan sebuah tenda kemah kecil, terpencil dari ger-ger perkemahan yang bertebaran di lembah aliran sungai Onon. Sebuah tenda kecil yang hampir tertutup oleh jajaran pohon.
"Yesugei memintamu segera datang...!" kata si laki-laki pembawa obor, ketika seorang perempuan berusia lanjut keluar dari tenda kemah kecil.
Perempuan tua itu menengadah. Pandanganya mengitari lembaran langit. Bulan sudah muncul dari balik punggung Burka Khaldan. Dan, laksana seorang astrolog yang tengah mengeja pergerakan bintang-bintang, ia tegak menengadah sekian lama. Angin malam membuat permainan mengibarkan helai rambutnya yang telah memutih. Lalu, tiba-tiba ia mengangguk, kemudian berpaling pada laki-laki pembawa obor.
"Tunggu sebentar..." Perempuan tua yang dikenal sebagai Shaman itu masuk kembali ke dalam tendanya. Sesaat kemudian, ia keluar lagi. Dengan sebuah bahasa isyarat, ia meminta si laki-laki pembawa obor melangkah mendahului. Dan, ia melangkah perlahan di belakang di laki-laki pembawa obor. [Chen Mei Ing]
BERSAMBUNG...