Dalam tradisi orang Mongol, mereka akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang berhasil ia tangkap dalam sebuah peperangan. Barangkali dengan memberikan nama musuhnya, seseorang akan selalu terkenang dengan perjalanan atau kisah-kisah heroik yang pernah singgah dalam kehidupannya.
"Betapa cepat waktu mengubah dirinya..." Yesugei terus berkata pada dirinya sendiri, dalam hati. Ia tak memindahkan tatapannya pada wajah bocah, Temujin. Dihadapannya, ia menyaksikan sikap seorang bocah laki-laki yang mengagumkan, Bocah yang telah mewarisi tradisi leluhurnya sebagai Pemburu yang andal, yang tepat dalam menempatkan posisi, memperhitungkan jarak, sekaligus membidik hewan buruannya. Seorang bocah yang segera mampu beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Bocah yang cepat menerjemahkan bahasa liar sekelilingnya. Hingga baginya, lingkaran di sekitarnya adalah kawasan yang wajar dan tak memberikan beban.
"Temujin...! Kita pulang sekarang?" tanya Yesugei setelah sekian lama berkata-kata dengan hatinya.
Temujin berpaling. Lalu sambil tersenyum, ia bangkit mendahului ayahnya. Dan, bersama matahari yang bergerak naik, keduanya melangkah kesisian menyisir aliran sungai. Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti saling berbagi cerita. Dan, Yesugei bukan hanya kepala suku Borjigin, melainkan juga laki-laki dan seorang ayah yang sanggup mewarnai suasana dengan cerita-cerita lucu dan menggugah semangat. Ia memiliki kemampuan untuk meramu berbagai kisah, hingga pembicaraannya memikat dan tak membosankan. Ia pun mempunyai kesanggupan dalam menjelaskan secara realistis di hadapan anaknya yang masih berusia tujuh tahun.
Pada kesempatan lain, ia akan tampil sebagai seorang pendidik yang baik bagi anak laki-lakinya. Dengan detail, ia mengajarkan cara berburu kelinci, membidik rusa atau menangkap ikan. Ia pun mengajarkan cara menunggang kuda yang baik, memanah yang benar, menguasai medan di sekitarnya, sekaligus mempertahankan hidup. Tak lupa, ia pun memberikan perngetahuan dasar cara membuat busur dan anak panah sebagai senjata khas andalan leluhurnya. Senjata yang membawa bangsa Mongol sebagai bangsa pemburu yang disegani.
Konon, bangsa Mongol sebagai bangsa yang lahir dari kantong rahim manusia nomaden dituntut memiliki ketangguhan dalam menaklukkan alam dan mempertahankan jengkal kehidupannya. Mereka sadar, area mereka penuh tantangan. Sepanjang hamparan bumi di hadapan mereka ialah semesta yang masih belum terjamah tangan manusia. Sebuah semesta yang liar, ganas dan terkadang tidak terduga. Maka, selain dituntut memiliki ketangguhan, mereka diharuskan oleh alam untuk menggenggam ketangkasan menggunakan senjata sekaligus cara membuatnya. Alam pun mengajarkan, sebuah busur adalah senjata sistematis dan potensial bagi mereka. Dam, banga Mongol tahu benar cara membuat sebuah busur yang memiliki daya tembus luar biasa, bahkan setingkat di atas senjata-senjata bangsa lain.
Bangsa Mongol memanfaatkan lingkungan alamnya, merangkai sebuah busur dari kayu hitam sebagai komponen di bagian tengah, sementara lengkungan sisi atas dan bawahnya mereka gunakan tanduk rusa atau tanduk sapi. Kayu hitam dan tanduk mereka satukan dengan perekat dari otot-otot binatang yang dimasak dan di didihkan. Sedangkan rentang tali busur mereka rangkai dari tumbukan otot-toto binatang yang di keringkan. Bahan itu, selain menghasilkan tali rentang busur yang lentur dan memiliki kekuatan luar biasa, bisa pula digunakan sebagai tali pengikat. Salah satu ciri khas busur mereka adalah rentang busurnya tidak terlalu panjang, bahkan dapat dikatakan sebagai busur terpendek dibanding busur bangsa lain. Memang, dari sisi perhitungan secara matematis, rentang busur yang panjang akan menambah daya bidik. Namun, orang Mongol mempunyai perhitungan lain. Kelemahan rentang pendeknya busur mereka ditutup dengan panjangnya tarikan tali busur. Sebab, semakin pendek rentang busur, akan semakin panjang tali busur yang dapat ditarik kebelakang. Dan, tarikan tali busur inilah yang justru membuat bidikan anak panah dapat menjelajah cepat dan memiliki daya tembus luar biasa. Selain itu, busur pendek memudahkan mereka bergerak dan tidak membutuhkan area luas.
Selain ketangkasan menggunakan dan membuat senjata, alam bumi Mongol menuntut mereka memiliki ketangkasan menunggang kuda. Pada awalnya, kuda merupakan salah satu binatang yang mereka buru, kemudian mereka ambil dagingnya sebagai bahan makanan, tidak ubahnya seperti kelinci, rusa atau domba. Namun, seiring terjadinya revolusi dalam sejarah hubungan mereka yang dipicu oleh terjadinya perang antarsuku atau dengan bangsa lain, perlahan-lahan kuda mulai diperhitungkan dan dipilih sebagai binatang yang dibutuhkan untuk sebuah penjelajahan, pengejaran dan perang. Binatang berleher kuat dan memiliki kecepatan lari dahsyat ini mulai dijinakkan, dikembang biakkan dan diajari bahasa-bahasa isyarat.
Orang Mongol dikenal mempunyai ketekunan yang luar biasa dalam melatih untuk menambah daya tahan dan meningkatkan kekuatan serta kecepatan lari kuda-kuda mereka. Saat Khabul masih memimpin bangsa Mongol, pada setiap menjelang musim panas, diadakan lomba pacuan kuda. Sebuah arena yang tanpa sengaja membawa Mongol dipaksa untuk sanggup membaca karakter, memilih, sekaligus menjadikan kuda sebagai sahabat. Dan, alam Mongol adalah anugerah dahsyat bagi mereka. Sebab, kuda-kuda Mongol adalah kuda-kuda yang hadir dari sebuah lingkaran dan keganasan alam. Hingga kuda-kuda Mongol adalah salah satu kuda yang paling tangguh menghadapi musim-musin. Bahkan, sanggap melewati musim dingin panjang yang membekukan aliran sungai.
Dan Yesugei adalah salah seorang yang dikenal memiliki ketekunan dalam melatih dan memahami karakter seekor kuda. Ia pun diketahui mempunyai talenta kuat dalam membentuk jalinan yang baik antara seorang manusia dan seekor kuda.
Saat, senja, sambil memanggang kelinci, ia sering bercerita pada Temujin tentang sejarah pertualangan, kisah penaklukkan-penaklukkan alam atau sejarah kepahlawanan yang pernah dilakukan para leluhur Mongol, terutama leluhur yang berasal dari suku Borjigin. Dan, sejarah perjalanan seorang Khabul adalah halaman yang tak bosan ia kisahkan. Ia berharap, anak lelakinya memahami bahwa orang Mongol pernah memiliki seorang pemimpin karismatik. Seorang yang sanggup menyatukan suku-suku dan klan-klan orang Mongol. Seorang yang pernah membawa bangsa Mongol diperhitungkan dalam kancah politik. Ia pun tak berusaha menutupi sejarah kelam bangsa Mongol sepeninggal Khabul. Masa-masa dimana bangsa Mongol terpuruk dalam perpecahan dan perang antarsuku. Sehingga, mereka bukan lagi bangsa yang diperhitungkan, bahkan menjadi bangsa yang berjalan tanpa seorang pemimpin. Menurutnya, Temujin harus mengetahui secara transparan pengalaman menakjubkan sejarah bangsanya sekaligus kisah perjalanan kelamnya.
Selebihnya, Yesugei berhasil menghadirkan dirinya sebagai sahabat yang baik bagi anak lelakinya. Ia selalu merespon semua pertanyaan dan tak pernah menganggap kecil atau remeh hal-hal yang diutarakan sang anak.
Pendekatan dan penyesuaian yang dilakukan Yesugei perlahan-lahan mampu membentuk karakter tangguh dalam diri Temujin. Dalam usianya yang masih sangat muda, bocah laki-laki ini telah sanggup bersahabat dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan, ia mulai berinspirasi sendiri dengan semesta di sekelilingnya. Hingga di medan perburuan, ia muncul sebagai seorang pemburu yang berinsting kuat. Ia memiliki akselerasi tersendiri dalam menentukan medan dan memperhitungkan jarak bidik. Ia pun tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kesabaran tinggi. Sebuah sikap yang sangat diperlukan oleh seorang pemburu. Sehingga, ia tak pernah kembali ke ger perkemahan tanpa hewan buruan.
Sikap-sikap yang ditanamkan Yesugei membuat Temujin merasa mendapatkan hal-hal baru setiap kali dari ger perkemahannya. Hingga keliaran dan keganasan lingkungan alam Mongol justru seperti mengantar dirinya pada sebuah pertualangan baru yang menantang. Saat kembali dari perburuan, ia sering berdiri lama di punggung perbukitan. Dan, memandang kebawah, hatinya tak henti bergetar oleh anugerah alam Mongol yang telah melahirkannya. Sehingga, ia menjadi orang yang selalu ingin mendekati alam Mongol dengan segenap jiwanya.
"Kemanapun kelak kau pergi, ingatlah bahwa bumi Mongol adalah tanah leluhur yang telah mendidik dan membesarkanmu!" pesan Yesugei setiap kali berbincang dengan Temujin.
"Aku tak akan pernah pergi dari bumi Mongol..." sahut Temujin di sebuah kesempatan.
Yesugei tertawa. Ia dapat memaklumi jawaban seorang anak seusia Temujin. Anak yang belum pernah menginjak kakinya di luar bumi Mongol. Namun, satu hal yang membuat hatinya bangga, dalam diri Temujin telah tertanam rasa cinta pada tanah airnya.
"Temujin, waktu akan mengubah jawabanmu..." kata Yesugei pelan.
Temujin menggeleng keras. "Tidak, Ayah! Aku akan tetap disini!"
Mendengar kegigihan jawaban Temujin, Yesugei tidak berusaha memaksakan pendapatnya, Menurutnya, cepat atau lambat, Temujin akan menemukan jawabannya sendiri. Meski sebenarnya, dirinya tak menginginkan Temujin menghabiskan waktunya di luar bumi Mongol.
Dan, perjalanan waktu terus mengiring Yesugei dan Temujin melewati hari-harinya. Hari-hari yang makin menempa Temujin sebagai pribadi kian matang dalam perjalanan anak manusia seusia dirinya. Hingga di sebuah hari, takala usi Temujin memasuki tahun ke delapan, tanpa sengaja Yesugei bertemu dengan Dei Thsetsen, seorang laki-laki dari suku Ongirad. Suku yang sama dengan Hoelun. Keduanya bertemu saat mereka tengah berburu tidak jauh dari lorong-lorong tebing di kawasan pengunungan Khenti.
Barangkali karena antara suku Borjigin dan suku Ongirad telah terjalin tali kekerabatan dari hubungan pernikahan, Yesugei dan Dei Thsetsen bisa saling berbagi cerita dengan bebas. Dan, seolah-olah sudah ditentukan langit, pertemuan mereka berlanjut dengan pertemuan-pertemuan di hari yang lain. Pertemuan antara dua orang pemburu yang masih memiliki hubungan kerabat. Hingga entah siapa yang memulai, mereka saling bercerita tentang anak-anak dan tentang masa depan mereka.
"Agar hubungan kita makin erat, bagaimana kalau kita mempertemukan anak-anak kita dalam sebuah perjodohan?" kata Dei Thsetsen di sebuah pagi. Sebelumnya, ia telah berkisah bahwa ia memiliki seorang anak perempuan bernama Borte yang berusia sembilan tahun. Satu tahun lebih tua dari Temujin.
Yesugei sempat terkejut mendengar tawaran Dei Thsetsen. Ia seolah tidak percaya. Ia tahu, Dei Thsetsen lahir dari kalangan orang berada, setidaknya dibanding dengan keadaan dirinya, meski ia seorang kepala suku. Ia memandang penuh keraguan pada Dei Thsetsen.
Menyaksikan kebimbangan pada ekspresi wajah Yesugei, Dei Thsetsen tertawa pendek. Yesugei tidak pernah tahu bahwa diam-diam Dei Thsetsen telah mendatangi seorang Shaman. Ia bertanya tentang perjodohan antara Borte dengan Temujin. Dan, ia masih ingat benar penjelasan sang Shaman. "Perjodohan putrimu dengan Putra Yesugei akan membawa perubahan besar pada bumi Mongol! Perjodohan kedua anak itu adalah pertemuan laut dengan matahari!". Sebuah penjelasan yang menuntun Dei Thsetsen memberanikan diri mengajukan tawaran pada Yesugei.
"Kau tak perlu ragu, Sahabatku..." ujar Dei Thsetsen. "Aku telah memikirkan semuanya. Aku tidak segera minta jawabanmu. Tapi, satu harapanku, kau bersedia menerima tawaranku..."
Hari itu, Yesugei kembali ke ger kemahnya dengan berbagai perasaan. Dan, Hoelun dapat melihat kegelisahan pada wajah suaminya.
"Maukah kau berbagai gelisahmu?" tanya Hoelun, malam harinya.
Yesugei menatap kembut istrinya. Ia tampak bimbang. Bagaimanapun, apa yang diminta istrinya mengingatkan dirinya pada peristiwa beberapa tahun silam. Peristiwa dimana ia menghadang Chiledu dan merebut Hoelun.
"Ini soal Temujin..." kata Yesugei setelah terdiam cukup lama.
"Ada apa dengan Temujin?" ekspresi Hoelun tampak berubah. "Kau masih ingat dengan Dei Thsetsen?"
"Ya.., kau sering bercerita tentang laki-laki itu."
"Ia memiliki seorang anak perempuan. Usianya sebaya dengan Temujin."
"Lalu...?"
"Dei Thsetsen menawarkan perjodohan anaknya dengan anak kita" suara Yesugei terdengar berubah pelan. Sepasang matanya berusaha menjangkau ke dalam pandangan Hoelun.
Hoelun menghela napas lega. Sessat tadi, ia sempat merasa khawatir ketika suaminya membicarakan soal Temujin. Ia takut, Temujin melakukan sesuatu diluar pengetahuannya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Yesugei
"Aku menurut saja keputusan yang kau ambil. Tapi, apakah perjodohan ini tidak terlalu tergesa-gesa mengingat usia anak kita? Aku yakin Temujin belum tahu benar makna sebuah pernikahan. Aku khawatir ketidaktahuannya membawa masalah di kemudian hari. Apalagi, Dei Thsetsen masih satu suku denganku. Kita harus berpikir panjang soal ini."
"Aku sudah memikirkan masalah itu. Tapi, aku mendukga Dei Thsetsen pun tidak ingin segera meresmikan perjodohan ini. Ia hanya ingin jawaban persetujuan kita atas tawarannya. Soal waktu, barangkali ia pun sudah memikirkan masak-masak. Tak mungkin ia meresmikan pernikahan, sementara usia putrinya masih sembilan tahun..."
"Jika demikian dugaanmu, aku rasa tak ada salahnya kita menerima perjodohan ini. Dan, aku gembira karena hubungan antara suku kita makin erat..."
Beberapa hari kemudian, tidak jauh dari lorong-lorong pengunungan Khenti, yang tanpa sengaja berubah menjadi tempat pertemuan Yesugei dan Dei Thsetsen, Yesugei memberikan jawaban atas tawaran Dei Thsetsen.
Dei Thsetsen tak dapat menyembunyikan kegembiraannya mendengar kesediaan Yesugei menerima tawarannya. Ia memeluk tubuh Yesugei dan menepuk-nepuk punggungnya. :Sekarang, kita tidak hanya sahabat, melainkan menjadi orang tua anak-anak kita!" kata Dei thsetsen. "Dan aku berharap, perjodohan ini membawa perubahan."
Yesugei menjauhkan tubuhnya dari pelukkan Dei Thsetsen. Ia memandang ssaksama wajah laki-laki dihadapannya. Entah mengapa, kata-kata Dei Thsetsen membuat dadanya berdebar. Kati kecilnya mengatakan bahwa ucapkan Dei Thsetsen bukan tanpa alasan. Tiba-tiba, ia menginginkan sebuah penjelasan dari Dei Thsetsen.
"Bisakah kau menjelaskan mengapa kau menaruh harapan besar adanya perubahan pada bangsa Mongol di atas perjodohan ini?" tanya Yesugei. Mimik wajahnya memperlihatkan bahwa ia benar-benar menginginkan penjelasan konreat.
"Aku telah menanyakan pada seorang Sham..." Dei Thsetsen berterus terang. Menurutnya, tak perlu lagi ada yang disembunyikan di antara mereka. Dan, sebagai bangsa Mongol, ia memang menginginkan terjadinya sebuah perubahan pada bangsanya. Perubahan yang telah lama ia rindukan. Ia ingin melihat kembali masa-masa indahnya persatuan bangsa Mongol, seperti yang telah sering ia dengar dari para pendahulunya.
"Kau tak keberatan mengatakan padaku apa penjelasan yang kau dengar dari Shaman itu?" tanya Yesugei. Hatinya mulai berdebar.
"Perjodohan anak kita adalah pertemuan laut dan matahari..."
"Gabungan kekuatan dan kemashuran!" sahut Yesugei setengah memekik, menerjemahkan penjelasan Dei Thsetsen. Wajahnya dipenuhi aura kebanggaan dan kebahagiaan.
"Mudah-mudahan tanda-tanda perjodohan anak kita segera menjadi sebuah kenyataan," ujar Dei Thsetsen. "Aku tak sabar ingin melihat bangsa kita menjelma kembali seperti masa lalu."
Yesugei manggut-manggut, Jiwanya bergetar. Sebuah energi berupa harapan mengalir dan memenuhi relung dadanya. Sebagai kepala suku Borjigin, suku yang pernah melahirkan seorang Khabul, sesungguhnya ia menginginkan sebuah perubahan segera terjadi pada bangsanya. Selama ini, ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk memulai sebuah perubahan dengan maksud mengembalikan bangsa Mongol pada sejarah yang pernah dilewati. Namun, perpecahan yang mendera bangsanya sudah terlanjur mendarah daging. Ia serupa komponen humus yang telah menyatu dengan habitat tanah. Sulit untuk dipisahkan, apalagi dikembalikan pada bentuknya semula, Sebagai pribadi, ia tetap percaya bahwa suatu saat, bangsanya akan bersatu kembali, lalu menghimpun kekuatan dan berjalan meniti masa seperti era di bawah kepemimpinan Khabul. Bahkan, lebih berjaya dari masa leluhurnya itu. Ia hanya tak pernah tahu kapan masa itu akan hadir menyentuh bangsanya.
"Dan, agar aku dan keluargaku dapat mengenal Temujin lebih jauh, bagaimana kalau untuk sementara waktu Temujin di izinkan menetap di lingkungan keluargaku? Di antara suku Ongirad? Kau tak keberatan?" tanya Dei Thsetsen.
"Aku tidak keberatan. Namun sebagai orang tua yang bijak, aku perlu minta persetujuan Temujin. Lagi pula, aku belum memberitahukan soal ini padanya. Maka aku harap kau bersabar, setidaknya untuk beberapa waktu. Aku butuh kesempatan yang baik untuk berbicara dengan Temujin."
"Ya, aku bisa mengerti dan akan bersabar menunggu jawaban."
"Aku berjanji jika semuanya selesai, aku akan segera mengantar Temujin padamu."
Hari ini, mereka berpisah dengan membawa harapan masing-masing. Dei Thsetsen berharap Yesugei segera mengantar Temujin kepadanya, sementara Yesugei berharap Temujin dapat memahami semua penjelasannya. Tidak ia pungkuri bahwa sebenarnya dalam dirinya tengah berdesakan beberapa hal yang membuat hatinya merasa khawatir. Selama ini, ia belum pernah membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan perjodohan atau pernikahan. Menurutnya, masalah ini masih terlalu dini untuk dibicarakan bersama Temujin. Ia sama sekali tidak mendunga jika masalah itu tiba-tiba muncul saat ia belum terpikir untuk membicarakannya dengan Temujin.
Malam harinya, ia mengajak berbincang istrinya perihal permintaan Dei Thsetsen. Mendengar permintaan itu, seketika wajah Hoelun berubah. Sebagai seorang ibu, ia tidak tega untuk melepas Temujin dan hidup di lingkyan keluarga Dei Thsetsen. Menurutnya, Temujin masih terlalu muda untuk menjalani semua itu. Lebih dari itu, ia keberatan jika harus berpisah dengan putra laki-lakinya itu.
"Apakah tidak terlalu pagi untuk mengantar Temujin pada keluarga Dei Thsetsen?" yanya Hoelun. "Lalu, sampai kapan Temujin hidup dalam keluarga Dei Thsetsen?"
Yesugei memegang pundak Hoelun dan mengusap wajahnya. Ia dapat merasakan kesedihan yang melingkari dada perempuan di hadapannya itu.
"Hoelun..." kata Yesugei lembut, "Temujin harus belajar hidup di keluarga lain. Ini sebuah pelajaran berharga sebelum ia benar-benar memasuki keluarga itu. Maka, aku harap kau merelakannya. Lagi pula, bukankah masih ada Khasar?"
Khasar ialah adik laki-laki Temujin. Usianya masih tiga tahun. Hoelun terdiam lama. Sikapnya memberikan penjelasan bahwa tidak mudah baginya menerima semua kata-kata Yesugei. Naluri keibuannya adalah sebuah perasaan yang mendominasi setiap jalan pikirannya. Dan, ia lebih memilih naluri keibuannya dibanding harapan-harapan yang di utarakan Yesugei.
"Kau sudah membicarakan semua ini dengan Temujin?" tanya Hoelun setelah termenung sekian lama.
Yesugei menggeleng. "Aku butuh kesempatan yang baik untuk membicarakan ini dengan Temujin."
"Kau yakin Temujin dapat memenuhi semua keingiananmu?"
Yesugei manatap tajam pada Hoelun. Tiba-tiba, pertanyaan Hoelun membuatnya berpikir sesuatu.
"Kau tidak sepenuhnya setuju dengan perjodohan ini?" Hoelun terkejut. Buru-buru ia tersenyum. "Jangan salah paham dengan pertanyaanku. Bukankah pertanyaanku wajar?
Yesugei terdiam. Sikap Yesugei membuat Hoelun seperti mendapatkan sebuah kesempatan untuk mengeluarkan semua ganjalan dalam hatinya, Ia memang tidak keberatan Temujin dijodohkan dengan putri Dei Thsetsen. Ia hanya tidak tega jika Temujin harus hidup dalam lingkungan keluarga Dei Thsetsen dalam usia dini. Dan, naluri keibuannya masih terlalu kuat mendominasi dirinya. Maka menurutnya, alangkah baiknya jia kedua belah pihak sama-sama menunggu hingga putra-putri mereka menginjak usia yang pantas untuk disanding sebagai pasangan suami istri.
"Yesugei..." kata Hoelun pelan. "Mohon tidak salah paham kalau aku ingin juga bertanya. Bagaimana seandainya Temuji menolak perjodohan ini?"
Yesugei tersentak kaget. Ia belum berpikir sejauh itu. Ia terlalu yakin dengan hatinya bahwa Temujin akan menuruti semua keinginannya, termasuk soal perjodohan dengan Borte, putri Dei Thsetsen, hingga ia benar-benar terkejut mendengar pertanyaan Hoelun.
"Apakah kau berpikir bahwa Temujin akan menolak perjodohan ini?" Yesugei balik bertanya, setelah terdiam lama. Hoelun tersenyum. "Aku tidak bisa menduga."
Dan malam ini, Yesugei sulit memejamkan mata. Ia resah. Kebimbangan adalah suasana batin yang mengurung dan membelenggu drinya. Tiba-tiba, ia takut pertanyaan Hoelun menjadi suatu yang benar-benar terjadi. Ketakutan nyang perlahan-lahan mendorongnya memasuki ketakutan-ketakutan yang lain. Bahkan, ia mulai takut harapannya pada Temujin, sebagai orang yang dapat mengubah sejarah bangsanya, hanya menjadi sebuah harapan tanpa menghadirkan kenyataan. Namun di ujung malam, sebuah ketenangan melingkari dirinya. "Bukankah aku belum berbicara dengan Temujin? Lalu, mengapa aku merasa takut berlebihan?" ujarnya sendiri. Ia berpaling pada Hoelun yang sudah pulas di sampingnya. "Aku harus segera membicarakan masalah ini dengan Temujin!" ia meutuskan. Ia bangkit dari sisi Hoelun, lalu keluar dari ger kemahnya. Langit masih gela[. Area sekitar ger kemahnya masih sepi. Hanya suara desir angin dan aliran sungai jauh di depan sana yang sanggup tertangkap oleh pendengarannya. Suasana di sekelilingnya tiba-tiba membawa pikirannya melayang jauh, melintasi udara gelap di hadapanya. Melintasi Khenti dan puncak Burkan Khaldun. Bahkan, melintasi kisi-kisi langit gelap.
Semua perjalannya hidupnya merentang. Perjalanan-perjalanan yang bergerak ke depan membentuk sebuah harmoni. Lalu, tiba-tiba semuanya berhenti dan sebuah suara seperti terngiang jelas tepat di depan pendengarannya. "Selama menjadi Shaman, baru kali ini aku menemukan tanda-tanda yang luar biasa pada diri seorang bayi. Maka pesanku, jaga baik-baik putramu! ia akan mewarisi kebesaran leluhurnya..."
Ia ingat benar, kata-kata itu diucapkan Shaman yang membantu persalinan Hoelun malam itu. Malam yang sudah berlalu beberapa tahun silam.
Dan tiba-tiba pula, ia teringat kata-kata Dei Thsetsen, beberapa hari yang lalu. "Perjodohan anak kita adalah pertemuan laut dan matahari..."
"Mengingat penjelasan-penjelasan itu, mungkinkah Temujin akan menolak perjodohan ini?" ia bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan lainpun kemudian datang bersusulan. Ia berusaha menelaah satu persatu pertanyaannya. Dan, berusaha menjawabnya sendiri.
Yesugei tak tahu berapa lama termenung sendirian. Ia baru menoleh ketika merasakan adanya kehadiran orang lain di belakangnya. Dan, ia menemukan Temujin telah tegak di belakang tubuhnya. Saat itu pula, ia baru menyadari bahwa bentangan langit telah benderang. Warna warna telah membedakan diri dengan lingkungan sekitarnya.
"Kau hendak berburu pagi ini?" tanya Yesugei
Temujin mengangguk. Ia balik bertanya "Ayah masih akan berburu di lereng Khenti?" Yesugei tidak segera menyahut. Ia diam, memperhatikan anak lelakinya.
Hari-hari terakhir, semenjak ia bertemu dengan Dei Thsetsen, ia memang jarang menemai Temujin berburu di kawasan lembah Onon. Ketika Temujin mengutarakan keinginannya untuk ikut, ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Bagi Temujin, sikap penolakan ayanya adalah sebuah kejanggalan. Selama ini, belum pernah ayahnya menolak keinginannya untuk ikut dalam sebuah perburuan. Bahkan, ayahnya justru menawarkan terlebih dahulu, jika ingin berburu di luar lembah Onon. Namun, Temujin tak mau bertanya lebih jauh tentang penolakan ayahnya. Dan bagi Temujin, sebenarnya ia bisa saja berburu di luar lembah onon. Bahkan, ia dapat berburu di kawasan pengunungan Khenti. Tapi, bocah ini selalu ingat pesan ayahnya bahwa area pengunungan Khenti masih merupakan wilayah berbahaya bagi anak seusia dirinya. Apalagi, jia berburu sendirian. Wilayah pengunungan Khenti masih menjadi area yang dipenuhi binatang buas. Sementara, dibutuhkan ketangkasan tersendiri dalam menghadapi dan menaklukkan hewan-hewan liar itu. Yesugei tidak meragukan keberanian Temujin. Tapi, tubuh Temujin belum sanggup jika berhadapan dengan hewa-hewan liar di area pengunungan Khenti.
"Hari ini, Ayah akan menemanimu berburu..." kata Yesugei setelah diam agak lama. Temujin tersenyum, "Apakah kita akan berburu di sekitar Khenti?" Yesugei membalas dengan senyum. Beberapa kali, laki-laki ini mengajak Temujin berburu di wilayah pengunungan Khenti. Bagaimanapun, ia ingin memperkenalkan wilayah itu pada anak laki-lakinya. Sebab, cepat atau lambat, wilayah Khenti pasti akan menjadi kawasan yang di jelajahi Temujin. Semuanya tinggal menunggu waktu.
"Mengapa ayah tidak menjawab?" tanya Temujin manakala Yesugei tidak segera menyahut pertanyaannya. "Ya, kita akan berburu di sekitar Khenti..." Temujin melonjak gembira.
Pagi ini, Yesugei menyaksikan kemurnian tingkah seorang bocah saat keinginannya dikabulkan. Dan tiba-tiba, ia tercengang sendiri. "ia benar-benar masih seorang bocah," pikirnya. "Haruskah aku menelantarkan dunia kecialnya dan memaksanya memasuki dunia orang dewasa?" hatinya di dera kebimbangan.
Pada masyarakat Mongol, seiring hadirnya perpecahan antarsuku, mereka sering memaksakan pernikahan dini pada anak-anak mereka. Pemaksaan ini terjadi lebih karena di ilhami keinginan mereka untuk membuat sebuah persekutuan dan memperbesar suku atau klan mereka. Sebuah tindakan yang tanpa di sadari telah merampai dunia anak-anak mereka. Sebuah tindakan yang makin menenggelamkan bangsa Mongol pada keadaan yang mencemaskan. Sebab, mereka tidak lagi memiliki generasi yang meluangkan pikirannya untuk bangsa mereka. Sebab di usia dini, mereka sudah harus bergulat dengan urusan rumah tangga, bahkan mengurusi anak-anak.
"Tidak! Ini hanya sebuah perjodohan, bukan pernikahan" Yesugei berusaha menjernihkan kebimbangannya. Dan, sepanjang perjalanan menuju kawasan pengunungan Khenti, ia tak henti berpikir tentang masa depan Temujin. Menurutnya, setiap saat banga Mongol melahirkan generasi baru. Generasi yang hadir dalam atmosfir yang berbeda-beda. Namun sepanjang ini, belum tampil generasi yang sanggup memberi warna baru pada bangsa Mongol. Bahkan, kehadiran para generasi bvaru justru memperpanjang perpecahan mereka.
Disebuah lorong tebing pegunungan, Yesugei tegak bersandar. Memandang ke bawah, ia melihat bentangan padang rumput yang melingkar sepanjang aliran sungai Onon. Lalu bagian atas ger-ger perkemahan yang tampak seperti ujung-ujung kubah, berserak di banyak tempat. Tiba-tiba, Yesugei membayangkan saat pertama kali orang-orang Mongol mendiami kawasan lembah Onon. Masa dimana orang Mongol mulai mengubah identitas mereka dari manusia nomaden menjadi manusia menetap dan memiliki jati diri sebuah bangsa. "Tentu keadaannya lebih sulit!!" Ia membatin sendiri. Tiba-tiba pula, ia menyesali sikap-sikap orang Mongol yang sekarang terpecah-pecah dan saling bermusuhan satu sama lain. Menurutnya, orang-orang Mongol tidak bisa menghormati jerih payah dan pengorbanan leluhur mereka. "Bangsa ini tak mungkin ndapat bangkit kembali seperti masa lalu jika tak ada nit untuk menyatukan diri dan menyiapkan generasi penerus..." Ia terus membatin, lalu berpaling pada Temujin yang duduk di atas sebuah batu, mempersiapkan peralatan berburunya.
Yesugei mendekat, lalu duduk di sebelah Temujin pandangannya lurus ke depan. Ia tengah menenteramkan hatinya dan menata kalimat yang hendak di ucapkan.
Temujin berpaling. beberapa kali, ia mendengar ayahnya menghela napas panjang. Menatap wajah ayahnya, mendadak ia seperti menemukan bulan yang sendu tertutup hamparan awan.
"Ada yang ingin ayah katakan?" tanya Temujin dapat membaca kegelisahan pada wajah ayahnya.
Yesugei tersentak kaget. Ia tidak menduga, dalam usianya yang masih sangat muda, Temujin sudah mampu menduga apa yang tersirat dari sikapnya.
Sesaat, Yesugei ingin menggeleng karena belum menemukan kalimat untuk membuka percakapan dengan Temujin. Namun saat ia sadar bahwa ia tak boleh membuang kesempatan ini, ia segera berkata "Temujin, seandainya ayah punya satu permintaan atau keinginan, apakah kau meluluskannya?" suara Yesugei terdengar sangat pelan di antara suara desir angin pengunungan. Ia tampak sangat hati-hati.
Temujin memandang lama pada wajah ayahnya. Sebuah wajah yang tib-tiba terlihat aneh pagin ini. Kemudian, ia menyahut, "Aku selalu ingin meluluskan permintaan atau keinginan ayah. Ayah punya permintaan apa?"
"Ayah ingin menjodohkanmu dengan putri Dei Tsetsen>>>" Yesugei langsung ke persoalan. Ia memandang wajah anak lelakinya, seolah ingin mengetahui reaksi dari wajah polos di hadapannya.
Temujin tersentak, tapi hanya sesaat, ia tertawa. Memang, ia sering mendengar kata-kata perjodohan. Namun, ia belum mengerti maksa kata-kata itu. Dan, tampaknya Yesugei dapat meraba ketidak mengertian akanya. Maka, ia cepat menyambung kata-katanya "Ayah ingin menikahkanmu dengan Borte, anak gadis Dei Setsen dari suku Ongirad. Tapi, jangan berpikir ayah ingin agar kau secepatnya menikah dengan Borte. Ini hanya rencana. Saat menikanya menunggu sampai usiamu pantas..."
Temujin terdiam. Suara tawanya terpenggal. Ia benar-benar tidak menduga apa yang dibicarakan ayahnya. Yesugei berusaha tersenyum, lalu melanjutkan ucapan "Ayah minta kau menjawab dengan hatimu! dan atah akan menerima semua keputusanmu!"
"Apakah hal ini baik menurut ayah?" tanya Temujin.
Yesugei mengangguk pasti. "Setiap orang tua sangat menginginkan hal terbaik bagi anaknya."
"Jika demikian, aku tak menolak..." Wajah Yesugei berubah cerah. Seketika, ia memeluk tubuh Temujin. Mereka bertatapan lama. Udara pagi pegunungan Khenti seakan larut dalam kebahagian Yesugei.
"Menurut seorang Shaman, pernikahanmu kelak membawa tanda-tanda pertemuan laut dan matahari. Sebuah kekuatan dan kemasyhuran..."
Temujin diam. Dalam usianya yang belum genap sembilan tahun, ia merasa kesulitan menerjemahkan kata-kata ayahnya. Yang mampu ia pahami ialah pernikahannya kelak membawa sebuah kebaikkan.
"Temujin..." kata Yesugei. "Dei Setsen berharap, sebelum kau menikah dengan putrinya, kau mau tinggal bersamanya. kau tak keberatan?"
Untuk kedua kalinya, Temujin di buat terkejut. Tidak seperti saat meluluskan permintaan ayahnya untuk dijidihkan, kali ini ia benar-benar sulit berpikir. Dan sepertinya, ia belum sanggup untuk melakukan permintaan Dei Setsen.
"Jangan terlalu cemas anakku. Permintaan Dei Setsen adalah permintaan yang wajar. Sebagai calon mertua, jelas ia ingin mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Hal ini pun baik untukmu, Karena begitu saat pernikahanmu tiba, kau tidak merasa canggung lagi dengan keluarga istrimu. Dan, kau punya banyak kesempatanb untuk mengumpulkan mahar buat calon istrimu."
Temujin masih diam. Ia belum sepenuhnya sanggup menverna penjelasan ayahnya. Sebab, yang tersirat dalam piklirannya ialah ia merasa belum dapat berpisah dengan keluarganya sendiri. Ia pun merasa ragu apakah dirinya bisa segera beradaptasi dengan lingkungan barunya nanti.
"Temujin, ayak minta maaf. Barangkali semua ini berat untukmu. Tapi, ini semua demi kebaikanmu di masa mendatang. Dan jangan sekali-kali berprasangka ayah telah merampas masa kanak-kanakmu! Sekali lagi, semua ini demi kebaikanmu masa depanmu. Kau tahu, ayah selalu menginginkan hadirnya perubahan pada bangsa ini! Dan, keinginan itu ayah harapkan akan muncul dari dirimu. Kau adalah salah satu keturunan Khabul. Aku berharap kau adalah generasi yang mewarisi sekaligus dapat membangkitkan kembali apa yang pernah di raih leluhurmu! Dan, aku selalu percaya, kau bisa melakukannya!"
Pagi ini, Temujin tidak sepenuhnya dapat konsentrasi dengan pikirannya. Hingga anak panahnya selalu meset dari hewan buruannya. Dan menyaksikan semua sikap anak lelakinya, Yesugei tertawa.
"Ini hanya sementara, anakku. Tidak lama lagi, kau akan kembali pada bentukmu semula. Anak yang selalu tepat dalam membidik hewan buruan!" kata Yesugei dalam hati.
Ketika matahari hampir menjangkau titik tengahnya, mereka berdua menuruni pegunungan Khenti. Hari ini, mereka pulang hanya membawa dua ekor kelinci hasil bidikan Yesugei. Anak panah Temujin tidak satu pun berhasil membidik dengan tepat hewan buruan. Sebuah hasil yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
Dan, sepanjang perjalanan pulang, Temujin lebih banyak diam. Semua kata-kata ayahnya serupa bayangan yang selalu menyertainya kemana ia melangkah. Bayangan yang tidak pernah mampu ia singkirkan. Hatinya kian resah takala teringat bahwa ia sulit untuk menolak permintaan ayahnya.
"Kau merasa keberatan, Temujin?" tanya Yesugei saat mereka sudah menyusur di sepanjang aliran sungai Onon menuju ger perkemahannya.
"Tidak..., aku hanya khawatir."
"Khawatir tentang apa?"
Temujin diam
"Kau belum siap untuk hidup dalam lingkungan keluarga Dei Setsen?"
Temujin tegal penuh keraguhan.
"Temujin, aku telah membicarakan semuanya dengan Dei Setsen. Keberadaanmu disana bukanlah pemaksaan. Jika kau merasa belum siap, aku akan membicarakannya dengan Dei Setsen. Aku yakin, ia akan mengerti."
'Tidak, ayak..."
"Maksudmu?" tanya Yesugei dengan dada berdebar.
"Ayah tak perlu membicarakan soal ini dengan Dei Setsen. Aku siap hidup di keluarga Dei Setsen."
Yesugei menghentikan langkahnya. Kebimbangan memancar dari sikapnya. Nada suara Temujin memberinya isyarat, jika anak lelakinya belum benar-benar siap untuk melakukan apa yang di ucapkannya. Ia hendak berkata, tapi tiba-tiba Temujin mendahului "Kapan aku mulai hidup bersama keluarga Dei Setsen?"
"Kau yakin?"
Temujin mengangguk.
"Aku akan mengantarmu kapan saja jika kau sudah merasa siap.
Tiba di ger perkemahan, Heolun mendekati Temujin, lalu menarinya menjauh dari ger perkemahannya. Hari ini, Hoelun dapat menangkap kesenduan, kebimbangan dan kegelisahan pada wajah anak lelaki sulungnya itu. Dan, ia dapat menebak apa yang membuat Temujin bersikap aneh.
"Ayahmu sudah membicarakan semuanya padamu?" tanya Hoelun. Ia menatap lama wajah anaknya. Temujin tidak segera menyahut. Pertanyaan ibunya menjelaskan kepadanya bahwa ibunya sudah tahu soal perjodohan ini.
Hoelun meraih dagu Temujin, lalu menuntun wajah anaknya menghadap pada wajahnya, "Temujin, kau tidak suka dengan perjodohan ini? kau menolaknya?"
Temujin menatap ke dalam sepasang mata ibunya. "Bukan aku menolak..." jawab Temujin. Suaranya terdengar bergetar.
"Tapi, aku melihatmu gelisah?"
"Aku belum sanggup berpisah dengan ibu."
Mendengar jawaban Temujin, Hoelun merasakan seluruh persendian tubuhnya lemas. KeharuaN melingkar dadanya, Ia berusaha agar air matanya tidak jatuh. Namun, ia gagal. Perlahan, air mata itu membasahi wajahnya yang beku. Ia meraih tubuh Temujin dan mendekapnya erat-erat. "Aku pun tak ingin berpisah denganmu nak..." bisik hatinya.
"Tapi, aku tak bisa menolak harapan ayah. Kata ayah, ini demi kebaikan masa depanku." kata Temujin. Ia menjauhkan tubuhnya dari tubuh ibunya. Matanya terus menatap ke dalam sepasang mata ibunya yang sekarang dipenuhi genangan air bening. "Ibu..." Temujin meneruskan kata-katanya. "Semua kata-kata ayah benar, kan?"
Hoelun seperti kehilangan seluruh konsonan kata. Ia tak kuasa untuk membuka suara. Di antara kabut pandangannya, tiba-tiba ia berkata pada dirinya sendiri. "Sepertinya, belum lama aku menggendong tubuh kecilmu. Masih dapat aku rasakan kepalamu yang menyusup mencari-cari kehangatan. Masih bisa aku dengar tangisan malam-malamu. Sekarang, kita akan berpisah. Hari-hari indah kita akan segera berakhir. Seandainya aku memiliki kekuatan untuk mencegahmu."
"Ibu.." terdengar lagi suara Temujin, "Semua kata-kata ayah benar, kan?" Ia mengulangi pertanyaan.
Sesaat, Hoelun tampak ragu-ragu. Namun, beberapa saat kemudian, ia mengangguk. :Semua kata-kata ayahmu benar, Nak. Ini semua demi kebaikan masa depanmu."
Meski tidak sepenuhnya dapat memahami "kebaikan masa depan" yang dimaksud ibunya, tapi melihat senyum yang mulai mengembang pada ibunya, Temujin mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejak hari itu, hari-hari Hoelun terasa hambar. Udara yang mengelilingi dirinya tak lagi mengirimkan gelombang yang damai. Ia tak pernah tahu mengapa secepat itu ia akan berpisah dengan anaknya. Di sampungnya memang masih ada Khasar, adik laki-laki Temujin. Namun, tidak mudah baginya untuk segera dapat membebaskan dirinya dari bayangan kecemasan dan kegamangan. Air matanya selalu mengalir saat ia membayangkan kehidupan Temujin di lingkungan barunya dalam usia yang masih sangat muda. Usia dimana anak-anak yang lain masih merajuk atau merengek pada ibunya. Mendadak, muncul pertanyaan ironis dalam hatinya "Megapa setiap keinginan besar harus ditebus dengan pengorbanan?" maafkan ibu, Temujin." seperti mengalami kelumpuhan frontal, ia terdiam lama. Wajahnya terpekur menghadap tanah. Sebuah wajah yang dingin hampir membeku.
***
Pada sebuah pagi yang belum mengantar matahari menjelajahi permukaan langir, Hoelun berdiri di depan ger kemahnya. Pandangannya menjangkau berkeliling. Ia menghela napas panjang berkali-kali. Panorama indah yang mendiami lembah Onon, pesta warna yang mengelilingi hamparan padang rumput, tiba-tiba tidak membuat hatinya meneriakkan kekaguman. Semalam, Yesugei mengatakan pada dirinya bahwa pagi ini, Temujin akan di antar menuju kediaman Dei Setsen.
Hampir semalaman ia tak dapat menutup kelopak matanya. Pikirannya melayang jauh. Dan, sejauh jelajahan pikirannya, yang dapat ia rasakan adalah guncangan-guncangan yang memilukan. Ia seperti terjebab dalam alam yang kelam dan pucat. Saat ini, ia menjauh, bahkan keluar dari lingkaran semesta ini. Namun, tubuh dan jiwanya seakan terpenjara dalam kerapuhan. Ia tak sangguprgerak. Pagi ini, ia tak sadar berapa lama berdiri terpaku di depan ger perkemahannya. Yang ia sadari setelahnya adalah tiba-tiba Temujin telah berada di sampingnya.
Temujin mengangkat wajahnya, berusaha menjangkau paras ibunya. Ia tidak hanya melihat panorama sendu pada wajah di hadapannya, tapi juga menyaksikan getar halus dan sebuah kesepian di kedua mata ibunya yang tampak mulai berkaca-kaca. Bocah ini dapat memastikan bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu tengah berusaha menghadapi saat-saat yang paling menggelisahkan dalam hidupnya.
"Ibu..., Ibu tak perlu terlalu sedih. Kata ayah, keluar Dei Setsen akan memperlakukanku dengan baik. Dan, aku akan sering-sering pulang menengok ibu..," kata Temujin. Suaranya pelan dan berusaha memberi ketenangan. Beberapa hari lalu, oa berbincang panjang dengan ayahnya. Dalam pembicaraan itu ayahnya meyakinkan bahwa keluarga Dei Setsen akan menerima dan memperlakukan dirinya sebagaimana ia berada di lingkungan keluarganya sendiri.
"Aku bukan tidak percaya. Aku hanya berpikir ini terlalu cepat, anakku..." kata Hoelun dalam hati. Namun, ia tidak mau mengatakan hal itu pada Temujin. Ia ingin, di saat-saat terakhir ii, ia tak memberi tambahan beban pada Temujin. Ia pun berusaha tersenyum. Namun sejauh ini, ia masih merasa sulit untuk berbicara. Semua huruf seperti sedang bersembunyi di balik mega-mega.
"Kau siap, Temujin?" tiba-tiba terdengar suara Yesugei. Saat lain, laki-laki kepala suku Borjigin ini sudah tegak di sebelah Temujin.
Temujin mengangguk. Yesugei memindahkan pandangannya pada Hoelun. Dari wajah perempuan itu, ia tahu Hoelun sedang menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya. Ia mendekat dan berkata setengah berbisIK, "Jaga dirimu baik-baik. Aku pergi duluan..."
Hoelun mengangguk tanpa bersuara. Dan, ia benar-benar rak mampu membendung air matanya saat Temujin memeluk dirinya, lalu mulai melangkah meninggalkan halaman ger kemahnya, mendekati kuda yang telah di siapkan.
Ketika ladam-ladam kaki kuda membawa Temujin dakan Yesugei menjauh ger kemahnya, ia tegak membesi. Wajahnya serupa rumput kering. Dan, sepanjang pandanganya yang mengikuti gerakkan sosok Temujin, semua yang terlihat adalah pemandangan gersang yang ironis dan misterius, Hamparan rumput, lembah , siulan burung dan cerahnya langit, seketika kehilangan bentuk dan diam. Manakala sosok Temujin dan Yesugei mulai mengecil dan berupa menjadi titik-titik yang bergerak timbul tenggelam di antara jajaran pogon, ia merasakan napasnya terpenggal. Dan, ia hanya dapat menitikkan air mata hingga panas matahari mulai menyerang tubuhnya.
Menjelang senja, Yesugei dan Temujin mulai memasuki area wilayah suku Ongirad, yang terletak di sebelah timur laut lembah Onon, di balik sebuah lebarnya hutan. Mereka di sambut antusias oleh Dei Setsen dan keluarganya. Berada di lingkungan keluarga Dei Setsen, Temujin merasa seperti Makhluk yang baru keluar dari sarangnya, lalu menemukan sebuah habitat baru. Di sepanjang usianya, ia belum seperti kehilangan identitas dan bergerak di sebuah wilayah yang diam dan kering.
"Aku berharap kau menganggap Temujin sebagai anakmu sendiri," kata Yesugei sambil memandang Dei Setsen yang duduk di hadapannya,
"Tentu, tentu, Yesugei. Kau tak perlu mencemaskan soal itu."
"Dan, satu hal... Temujin sangat tidak suka anjing. Ia pernah mengalami hal buruh dengan hewan itu."
Dei setsen sempat terkejut. Tapi, ia segera mengangguk-angguk.
"Sekarang, aku harus kembali!"
"Secepat itu?" ujar Dei Setsen. "Sebentar lagi, hari akan gelap. Apa tidak sebaiknya menunggu sampai besok pagi?"
Yesugei menggeleng. "Aku harus kembali sekarang. Aku titipkan Temujin dan masa depannya kepadamu!"
Yesugei bangkit, lalu melangkah keluar di ikuti oleh Temujin dan Dei Setsen. Yesugei mendekati Temujin. "Temujin..." katanya pelan, "Kau berada di keluarga baru, Kau harus dapat membawa diri. Tunjukkan bahwa kau adalah anak yang baik!"
Temujin mengangguk. Yesugei menghampiri Dei Setsen. Kedua laki-laki itu berpelukan. Dan, Yesugei berbisik, "Buat, ia seperti yang kita inginkan bersama!"
"Tentu! Tentu sahabatku...," jawab Dei Setsen.
Bersamaan dengan hampir tenggelamnya matahari, Yesugei meninggalkan wilayah suku Ongirad. Temujin mengiringi menjauhnya tubuh ayahnya, hingga ia melihat api obor mulai di nyalakan oleh ayahnya di kejauhan sana.
Lanjutan dari seri.1 alamatnya http://yinnihuaren.blogspot.com/2011/02/jengis-khan-temujin-i.html
Disalin oleh: Chen-Mei-Ing