KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 25 Februari 2011

PADA SUATU KETIKA

Mimpi itu kembali mengganggu tidur Marla.  Seorang lelaki tak dikenal berwajah cukup tampan masuk ke kamar saat ia  hendak berbaring tidur. Marla terkejut bukan kepalang. Ketika ia hendak  berteriak lelaki itu menyapanya dengan tenang. Marla tak bisa  berkata-kata lagi karena lelaki itu segera mengunci bibirnya. Mulutnya  yang beraroma mint itu menularkan rasa mint-nya  sehingga membuat Marla ingin terus merasakannya lagi…dan lagi…

Entah mengapa, ketakutan Marla lenyap seketika. Bahkan justru ia yang  kemudian mendekat dan langsung menyandarkan wajahnya ke dada lelaki itu.  Lelaki itu, ya, lelaki itu tak sedikit pun memancarkan maksud jahat  dari matanya. Belum pernah Marla melihat pria itu sebelumnya. Seolah ia  datang begitu saja, mengusik kehidupan Marla.

Marla terbangun. Pandangannya terpanah pada langit-langit kamar  Ekspresinya tegang. Ini sudah hari ke delapan Marla dilesakkan  mimpi-mimpi itu.

Siapa lelaki itu? Aku tak pernah bertemu dengannya. Dalam kehidupan sebenarnya sulit buat Marla untuk jatuh cinta lagi  semenjak  kekasihnya, Dave melamar. Hubungan mereka toh baik-baik saja hingga tak terasa sudah mencapai tiga tahun. Tiga tahun  adalah waktu yang cukup untuk saling mengenal pribadi masing-masing.  Tapi, begitu Dave melamar entah mengapa Marla merasa ketampanan  kekasihnya mendadak luntur, bahkan terlihat tolol. Jauh beda seperti  cerita teman-teman, adegan film atau novel-novel roman…

"Saat mengajukan lamaran pacar kita akan tampak seperti Brad Pitt!"  celetuk Mona. "Atau Reeves, Keanu Reeves!" tambah Jessica. "Ya, asal jangan kayak Mr. Bean," desis Marla mengingat ekspresi Dave  saat melamarnya.

Jika mengingatnya perasaan Marla campur aduk. Dave melamarnya di food  court, di tengah keramaian. Bukan di antara temaram nyala lilin  resto mahal diselingi liukan violin atau desahan saksofon… Oh, sungguh  memalukan!

Sempat, sebelum mimpi aneh itu, peristiwa memalukan itu terulang lagi  dalam mimpi. Saat Dave mengucapkan "Will you marry me?" mendadak  orang-orang yang sedang lalu lalang dan duduk di food court menatapnya. Beberapa dilihatnya tersenyum-senyum, kemudian tertawa.  Lainnya lagi bertepuk tangan, lalu berdiri mengelilingi meja mereka  berdua. Suasana jadi riuh seperti film komedi Friends.

Kawin, ah, ini dia yang sangat rajin diucapkan ibunya semenjak  berhubungan dengan Dave. Menjelang pergantian tahun pertanyaan itu terus  diulang-ulang, bahkan semakin berapi-api. Apalagi di saat usia Marla  sudah menginjak tiga puluh, tak hanya ibu, teman-temannya semakin santer  saja. Kawin?

Hmm.

Ucapan Dave masih terngiang di telinga. Tapi keinginan untuk memutuskan  tak kunjung datang. Kala itu Marla minta waktu untuk berpikir dan Dave  yang baik hati mengijinkannya sampai pertanyaan itu datang lagi.  Sementara mimpi aneh dengan lelaki tak dikenal itu berturut-turut  mengusik tidurnya… "Barangkali mimpi itu pertanda kamu harus segera kawin," ucap Jessica.  Ia mengucapkannya dengan tekanan pada kata "harus". "Iya, apalagi yang lebih penting dari menjawab lamaran seorang pria?"  celetuk Mona. "Kasihan, lho. Dia minta jawaban segera…please, urgent immediately!" "Eh, nanti malam I Like Monday-nya siapa? Atau nomat aja di PS?  KC? Djakarta? PI?" "Marla, knock, knock are you still there?" "Ah, sudahlah! Kalian seperti ibuku saja!" "Terus?" "Terus, terus apa? Ya, pikir-pikir dulu!" "Pikir-pikir apa? Kenapa pacaran lama-lama?" "Lho, pacaran lama-lama ya…" "Ya, buat apa? Perempuan lain belum ditanya sudah bilang ya. Kamu malah  santai-santai, pakai pikir-pikir segala lagi! Terus kapan kawinnya?" "Malas, ah!" "Memangnya kenapa kalau kamu terima lamarannya?" "Apa ya? Ya…rasanya…" "Rasanya apa?" "Kok jadi interogasi begini, sih? Rasanya tidak tertarik…" "Ha, tidak tertarik kawin sama Dave?" "Nggh, ehh…" "Payah!" "Aku…aku…nah…yang itu aku tidak tahu!" "Lho, kan bisa bilang iya dulu? Toh, akhirnya nanti  kawin juga. Gampang kan?" "Iya, kalau nggak jadi, ya, nggak apa-apa. Paling tidak…" Tuhan, yang mau kawin kalian atau aku, sih? Tapi bukan itu yang keluar  dari mulut Marla. Sepotong lagu yang dikenalnya terngiang di radio. "Ssst! Nah, ini lagu barunya Dido! I know you think that I shouldn't  still love you or tell you that…" Marla mengeraskan volume-nya. "Mar…" "I will go down with this ship and I won't put my hands  up and surrender…" *** Seorang perempuan cantik tak dikenal masuk ke kamar saat ia hendak  berbaring tidur. Jeff terkejut bukan kepalang. Ketika ia hendak  berteriak perempuan itu menyapanya dengan tenang. Jemari kaki mungil  yang lentik, kukunya berkilat sempurna. Perempuan itu menatapnya lalu  tersenyum. Jeff mendekatinya. Bibirnya merekah penuh gairah.

"I want you…" bisiknya lembut. Jeff tak bisa berkata-kata lagi  karena perempuan itu segera mengunci bibirnya. Bibirnya yang basah,  merah dan sedikit terbuka itu membuatnya ingin terus merasakannya  lagi…dan lagi…sementara Jeff segera menyingkapkan kain yang membelit  kaki rampingnya.

Belum pernah Jeff melihat perempuan itu sebelumnya. Seolah ia datang  begitu saja dari langit. Jeff bekerjap-kerjap sampai tubuhnya bermandi  peluh.

Pandangannya terpanah pada langit-langit kamar. Ekspresinya  tegang. Mimpi itu, ya, mimpi itu lagi.

Hari berganti hari Jeff semakin bingung. Ini sudah hari ke delapan Jeff  menemuinya. Siapa perempuan yang tiba-tiba nyelonong seperti bidadari  impian Itu? Darah Jeff seketika teracuni kejelitaannya. Otaknya mendadak  tersumbat.

Tapi siapa gadis itu? Siapa dia? Jangankan kenal, aku tak  pernah bertemu dengannya! Seingat Jeff hanya Monica, perempuan terdekat yang belum lama ini hampir  dikawininya. Ah, kalau Jeff mengingatnya ia serasa bodoh. Barangkali  ini karena terlalu buru-buru…ya, semakin dipikir Jeff paham waktu itu ia  terlalu tergesa-gesa. Begitu tergesanya Jeff hingga ia melamarnya bukan  di restoran yang romantis, atau di tepi danau di bawah sinar bulan  purnama…Jeff melamarnya di restoran fast food Mc Donald! Entah  apa yang dipikirnya waktu itu, yang jelas Jeff sudah tak tahan. Tiga  tahun adalah waktu yang cukup untuk saling mengenal. Lantas ketika  keberanian itu muncul, kenapa harus di saat lunch? Kenapa  harus…

Jeff paham mengapa Monica minta waktu untuk berpikir. Tak hanya  berpikir, waktu bertemu juga. Jeff masih ingat perkataan Monica di  telepon, "Sepertinya kita jangan ketemu-ketemu dulu ya, Jeff. Hmm, uh,  bukannya aku… ya…tapi…" "Oke, aku mengerti. Kamu butuh waktu untuk berpikir, kan? Aku sangat  mengerti, Mon. Aku…" "Nggg…er…ehh…beri aku waktu beberapa hari, Jeff. Aku tidak bisa  memutuskan secepat itu…" Dan hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Sampai tak terasa  Monica telah menggantung jawaban itu sampai tiga bulan…Jeff menyesali  kebodohannya.

Tiga tahun pacaran diselingi putus sambung ditambah tiga  bulan penantian betapa menyiksanya! "Sudahlah, tidak ada yang perlu disesali. Toh kalau kamu tidak  segera mengatakannya kamu tidak tahu jawabannya, kan?" kata Anton. "Kalau aku mempersiapkannya lebih matang pasti nggak bakal begini  jadinya! Sabar itu ada batasnya, Bung. Ini sudah tiga bulan, Ton. Tiga  bulan!" cetus Jeff. Ah, apakah ini gara-gara Jeff pernah meminjaminya buku F. Nietzsche  di mana filsuf kondang itu pernah bilang, "Membuat orang gelisah itulah  tugas saya?" Pikiran Jeff campur aduk tak keruan sampai ia mimpi bertemu  gadis asing tak dikenal. "Nah, itu pertanda kamu harus mencari pengganti," kata Anton. Mencari pengganti? Ya, begitu mudah dikatakan. Dalam kehidupan  sebenarnya sulit bagi Jeff untuk jatuh cinta lagi. Hubungan mereka toh baik-baik saja hingga tak terasa sudah mencapai tiga tahun. Tiga tahun  adalah waktu yang cukup untuk saling mengenal pribadi masing-masing.  Tapi, begitu ia melamar entah mengapa kelelakiannya luntur, bahkan  terlihat tolol. Jauh beda seperti cerita teman-teman, adegan film atau  novel-novel roman…

Untuk mencari pengganti sebenarnya mudah. Ada Clara yang memang  terang-terangan menunjukkan perhatiannya di kantor, ada Stella yang  pernah ditolong Jeff ketika pacarnya yang rocker itu mabuk  berat, kalap lantas memukul Stella di kafe. Ada Rosa, tetangganya, masih  mahasiswi yang selalu bersemangat kalau diajak bicara soal politik,  sastra sampai film-film terbaru. Ada Tina kawannya di lantai lain yang  setiap pagi mengirimkan cerita-cerita lucu di internet…ada… Aih, mengapa tak ada wanita lain seindah Monica?

*** Jam 7 malam. Dave bilang akan segera tiba. Ya, mereka janjian ketemu di  Spice Garden, Plaza Indonesia. Tapi begitu Marla menjejakkan kaki di  sana langkahnya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal. Lho, bukannya  tadi aku sudah bilang ingin ketemu? Tapi, ah, demi Tuhan. Aku…aku…

Lamunan Marla buyar. Ponselnya berdering. Pasti Dave sudah di sekitar  sini! Marla ragu mengangkatnya. Ia berjalan keluar. Keningnya  berkeringat. Hatinya semakin gelisah. Dia bangkit dan langkahnya tak  tertahan untuk pergi keluar dari Spice Garden. Hasratnya yang kembali  muncul selintas untuk menjawab ponsel itu berhasil ditekannya dengan  menarik nafas dalam-dalam.

Langkah Marla terburu-buru. Aku tidak siap…aku tidak bisa menemuinya…keterlaluan…tapi…kenapa aku mengiyakannya tadi siang?  Bukankah aku…

Marla segera menapaki eskalator. Jantungnya berdegup kencang seperti mau  copot. Pokoknya aku harus segera pergi dari sini! Di lantai  selanjutnya, ada sale. Nah, di depan sana ada blouse putih yang sudah lama diidam-idamkannya. Lumayan, diskonnya sampai 50%! So, tunggu apalagi? *** Jeff melangkah dengan gontai. Ia tak begitu yakin apakah Monica bakal  menemuinya. Tiga bulan adalah waktu yang panjang untuk mengemukakan  jawaban atas pertanyaan yang dipendamnya. Teringat perkataan Anton tadi  siang, "Temui sajalah. Kalau dia tidak datang berarti sudah saatnya kamu  mencari pengganti. Toh dia dulu yang mau menemui, kan?"

Ya, ya, baiklah. Aku akan datang. Aku pasti datang, Monica. Tapi ini  masih lama. Barangkali ia masih sedang dalam perjalanan atau…ah, tapi  baiklah. Aku mampir ke lantai atas dulu. Barangkali ada sesuatu yang  bisa kubelikan untuk Monica. Ya, baiklah. Nah, di depan itu ada sale. Hehehe, tapi yang sale pakaian dalam, lho. Masak aku  harus ikut-ikut mengaduk-aduk tumpukan itu sementara…

Langkah Jeff terhenti. Di depannya melintas seorang gadis berkulit putih  rambut sebahu berpotongan sedikit shaggy dengan highlights warna kecokelatan. Pandangan mereka sekilas beradu dan sama-sama  saling tertegun dalam sekejap saja. Mau menegur tapi urung karena  sama-sama ragu. Jarak sekitar sepuluh meter sebenarnya tak begitu jauh  untuk bisa mengenal dengan jelas wajah masing-masing.

Jeff bertanya, apakah benar gadis itu dalam mimpinya? Sementara  Marla  yang sedang menenteng kantung belanjaannya pun sama halnya,  bertanya-tanya bukankah lelaki itu yang…

Bukan main. Ini…ini…ini tidak mungkin. Tidak mungkin kejadian semalam  dalam mimpi akhirnya terjadi di sini! Kata orang mimpi adalah bunga  tidur. Jadi, biarkan saja pergi dan berlalu…dan…ya, tapi, sudah delapan  kali, Marla. Dan…ah…

Marla berusaha tersenyum. Begitu pula Jeff. Senyum mereka manis sekali  di balik rasa penasaran yang mulai memuncak. Gerak eskalator terasa  lamban. Bibir masing-masing nampak bergerak ingin mengucapkan salam…tapi  tak ada suara. Jeff ingin memanggil Marla. Marla juga ingin memanggil Jeff.

Tapi tak ada nama di kepala. Jeff ingin segera sampai ke lantai bawah  lalu menyusul gadis itu ke atas. Marla juga ingin segera cepat-cepat  sampai atas lalu menyusul lelaki itu ke lantai bawah.

Langkah keduanya terasa kaku setelah menapaki lantai tujuan  masing-masing. Jeff akhirnya bergerak hendak ke eskalator lagi sedangkan  Marla juga bergerak sama hingga keduanya terdiam sesaat.

Jeff bergerak, Marla menunggu. Mereka bertemu dengan puncak kerinduan  yang ditekan kuat-kuat seolah takut meledak mengganggu suasana di pusat  perbelanjaan itu. "Kamu…" Marla menyapa duluan. "Kamu…" Jeff tak melanjutkan kata-katanya. Dua-duanya hanya saling pandang. Tercenung. [Oleh: Mei-Ing]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA