KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 14 Maret 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (1-3)

Cerita bersambung ini mengambil setting saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Ini murni cerita fiksi, tapi mencoba mengambil kisah salah satu dari sekian perempuan China yang katanya menjadi korban pemerkosaan sistematis.

Seorang pemuda yang berprofesi sebagai wartawan, berpacaran dengan gadis China. Hubungan yang tak disetujui oleh orang tua si gadis. Namun, cinta mereka begitu kuat. Saking kuatnya, mereka sempat akan melakukan hubungan badan sebagai perwujudan rasa cintanya. Namun, mereka membatalkannya demi kesucian.

Namun, kesucian itu akhirnya dinodai oleh sekelompok orang brutal yang mengambil keuntungan saat kerusuhan Mei 1998. Peristiwa yang menjadi pukulan berat buat kedua kekasih itu, juga banyak pihak. Sebuah perjuangan cinta yang dipotong oleh nafsu biadab manusia.

Bagaimana mereka memperjuangkan cinta, peristiwa pemerkosaan, juga apa yang terjadi setelah pemerkosaan itu, ikuti ceritanya dengan seksama, sebuah cerita fiksi tragedi yang mencoba memotret salah satu sisi kerusuhan Mei 1998. (Red)

SATU

HARI yang cerah di bulan Januari 1998. Padahal biasanya hujan sudah datang di pagi hari. Meski cerah, Baskara justru malas beranjak dari tempat tidurnya. Sebagai fotografer di sebuah media massa nasional di Jakarta, dia berangkat ke kantor tak tentu jamnya. Kadang pagi, kadang agak siang. Hari ini dia ingin agak puas tidurnya dan berangkat kerja siang hari. Maklum, semalam dia harus kerja sampai larut. Dua kali panggilan keras adiknya, Zaliany yang biasa membangunkan tidurnya, tak digubris.

“Mas Bas, bangun! Kerja, nggak?” teriak Zaliany untuk ketiga kalinya sambil membetulkan kancing bajunya. Dia tampak sudah rapi dan siap berangkat ke kampus.

“Dasar bujang pemalas. Eh, sebentar lagi aku disamperin teman kuliahku yang pernah aku ceritakan. Rugi kalau nggak kenalan dengannya. Siapa tahu jodoh, biar nggak always jomblo,” lanjut Zaliany yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jurusan Manajemen semester empat.

Serangkaian kalimat terakhir Zaliany itu membuat Baskara tergoda juga dan tak kuasa melanjutkan rasa malasnya. Dia langsung menyingkap selimut dan bersejingkat, keluar dari kamarnya. Dia berlari mengejar adiknya yang sedang menuju meja makan untuk bergabung dengan ayah dan ibunya, kemudian membalikkan tubuhnya agak kasar. Acara makan keluarga hampir selalu tanpa Baskara, karena sering bangun setelah jam sarapan usai. Atau kadang sebelumnya sudah menghilang karena panggilan tugas. Di siang hari dan malam, dia sering makan di jalan atau kantor.

“Eh, yang benar? Masih sendiri, nggak? Nanti kenalin, ya. Tapi jangan terlalu norak, pakai skenario yang cerdas sedikit,” kata Baskara tampak bersemangat.

Zaliany yang merasa dikasari langsung cemberut dan pasang muka galaknya. “Nggak akan aku kenalin dengan orang yang kasar seperti kamu. Terlalu sayang karena orangnya sangat lembut,” jawabnya tegas.

“Oke, oke! Maaf, deh. Abangmu mandi dulu, biar ganteng kayak Arjuna. Atau seperti idolamu, David Beckham,” ujar Baskara, tampak bersemangat.

Zaliany melotot dan siap mendamprat. Ayah dan ibu mereka hanya tersenyum melihat adegan itu. Tapi sebelum Zaliany mengeluarkan kata-kata lebih pedas, Baskara langsung berlari ke kamar mandi. Zaliany pun hanya bisa terpaku sambil cemberut dan menelan kegeramannya. Baskara langsung nongkrong di atas kloset. Ritus setiap kali dia mandi pagi. Pikirannya langsung melayang-layang membayangkan teman adiknya tersebut.

Di depan adik dan orangtuanya, Baskara sering slengekan. Tapi sejatinya dia pribadi yang mandiri, dewasa, berwibawa, cerdas, pemberani, dan tenang. Dia juga sangat pandai bergaul. Ditambah wajahnya yang ganteng dan postur tubuh yang atletis mirip Lorenzo Lamas, banyak wanita yang menyukainya. Tapi di sini persoalannya. Dia kadang terlalu pilih-pilih, hingga belum pernah pacaran sejak putus dengan kekasihnya beberapa saat setelah wisuda, tiga tahun lalu. Padahal umurnya kini sudah 27 tahun. Sudah saatnya dia punya calon pendamping. Bahkan menikah pun sudah sangat pantas.

Ayahnya yang seorang dosen, Prof. Dr. Sungkono, sudah berkali-kali menanyakan kapan akan mengakhiri masa lajangnya. “Ibumu sudah ingin menimang cucu. Apa kamu tak ingin segera menikah? Pekerjaan sudah punya dan gajimu juga terhitung cukup. Menunggu apa lagi?”

Entah sudah berapa kali kata-kata klise itu diucapkan kepadanya, hingga membuatnya sering tertekan dan terbebani. Kadang menjadi risih di telinganya. Dalam hatinya dia juga ingin segera menikah, tapi masih belum ketemu yang cocok. Apalagi dia masih terluka oleh mantan pacarnya, selain menginginkan wanita yang tak hanya cantik, tapi juga punya sikap dan kepedulian terhadap kehidupan, serta budi dan kasih terhadap sesamanya. Sebab, menurutnya, jika manusia hanya memikirkan dirinya dan hanya mengejar kebutuhan badaniah serta kemegahan materi, dia tak lebih dari mahluk yang tak berjiwa. Dan, dia tak ingin memiliki pasangan yang tak berjiwa. Identitas, kehormatan, dan harga diri seseorang, pikirnya, terletak pada sejauh mana dia punya makna terhadap orang lain, lingkungan dan kehidupan. Itu pula sebabnya dia pilih putus dengan kekasih terakhirnya, karena terlalu menuntut ukuran-ukuran materi hingga dia ragu akan ketulusan cintanya.

***
Sesuai obsesinya, dia ingin memiliki pasangan yang juga belahan hatinya. Persyaratan yang menjadi sulit dia dapatkan sampai kini, tapi dia percaya sang belahan hati itu ada dan tak akan pergi ke mana.

Jika waktunya tiba, dia akan datang sendiri untuk menyatukan hati yang terpisah. Siapa pun jodohnya kelak, dia berharap adalah sang belahan hati itu.

“Siapa tahu ini orangnya. Belahan hati yang datang dengan sendirinya. Segala kemungkinan harus ditelusuri!” desah Baskara.

Sebagai mantan aktivis mahasiswa, Baskara masih konsisten dengan sikapnya yang peduli terhadap nasib dan setiap persoalan negeri ini. Dia tak ingin masuk birokrasi seperti teman aktivis lainnya dan kemudian menanggalkan idealismenya, larut dalam dunia yang mudah menyeret ke dalam penyelewengan.

Maka dia ingin istrinya kelak juga memiliki sikap dan pemikiran yang sama, bisa diajak tukar-menukar pikiran serta selalu nyambung jika berbicara. Sehingga kehidupan mereka bisa harmonis. Minimal sang istri bisa memahami, mengerti, dan menghormati sikapnya. Ngeri rasanya jika pendampingnya sangat materialistis dan memuja kemewahan.

Baskara masih terobsesi memiliki negeri yang ideal seperti yang dicita-citakan setiap orang. Negeri yang sejahtera, adil, demokratis, berbudaya tinggi. Negeri yang dibangun oleh orang-orang bijak dan mau berkorban, bukan para koruptor yang hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongannya.

Negeri yang punya daya saing tinggi, harga diri dan dihormati. Baginya itu bukan utopia dan akan terwujud jika setiap orang peduli serta mau ikut mengupayakannya, setidaknya memikirkan bagaimana seharusnya sebuah negara dan masyarakat yang ideal dibangun. Itu akan muncul jika dimulai dari diri sendiri pada setiap individu. Jika sudah demikian, pikirnya, akan mudah tercipta sistem yang mampu membangun negara seperti itu. Karena semua orang punya cita-cita dan kepedulian yang sama luhurnya, hingga setiap penyelewengan akan segera mendapat tekanan.

Lahir dan besar di era Orde Baru, dia merasa jenuh. Apalagi dia melihat banyak penyimpangan yang menurutnya membawa negeri ini ke dalam keterpurukan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dia muak dengan segala jenis dagelan politik yang menjadi gaya para pejabat dalam menanggapi setiap masalah negara.

Kadang membodohi rakyat, padahal rakyat sebenarnya tak mudah dikibuli. Kalaupun rakyat diam, sering itu lebih karena takut. Dia juga muak dengan para pejabat yang bersikap seperti para priyayi yang harus dilayani, bukan melayani rakyat seperti seharusnya. Belum lagi jika merasakan tekanan demi tekanan yang mengebiri kebebasan hampir di semua bidang.

Negeri ini menurutnya bagaikan ruangan yang selalu dipenuhi detektor, penyadap, dan pengintai yang membuat orang susah bergerak. Apalagi para aparat keamanan menjadi sangat menakutkan bagi rakyat. Mereka sering bertindak kasar berlandaskan alasan yang tak jelas, kecuali instruksi dari penguasa yang belum tentu berlandaskan kebenaran, keadilan, dan kasih. Tangan-tangan mereka sangat ringan menggebuk rakyat manakala ada demo atau masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaan yang menurutnya makin jauh dari tuntutan zaman. Dia masih geram betapa banyak pertunjukan seni yang dilarang, perkumpulan yang dibatasi atau dibubarkan, gerak mahasiswa yang ditekan, juga kebebasan pers yang makin dipersempit bahkan terakhir Tempo, Detik, dan Editor dibredel.

Semua harus sesuai dengan petunjuk tunggal. Seolah ada dewa di Indonesia yang petunjuknya menjadi pedoman masyarakat dalam semua kegiatan dan pikiran. Kegeraman Baskara makin menjadi-jadi ketika tulisan rekan-rekannya terpaksa masuk peti karena menyinggung hal sensitif negara. Parahnya, sering kali tulisan yang dianggap sensitif justru yang berisi kontrol terhadap pemerintah. Banyak foto-fotonya yang juga hanya bisa masuk album, seperti bentrok aparat dengan masyarakat Warung Buncit saat kampanye PPP di Pemilu 1997.

Fotonya yang menggambarkan seorang aparat menginjak anak seumuran SMA dengan darah muncrat dari mulutnya, terpaksa hanya disimpan. Padahal menurutnya itu foto bagus yang bisa menimbulkan reaksi masyarakat untuk menekan perilakua aparat agar lebih manusiawi terhadap rakyat.

***
Meski seorang fotografer, dia juga sering menulis opini di surat kabarnya. Kritikannya terhadap pemerintah dan kebudayaan negeri ini cukup tajam. Dia selalu mengritik kemandekan dan menganjurkan perubahan. Dia tak bisa membiarkan setiap kejanggalan dalam hal apa pun.

Apalagi di saat ini, negara tampak kelelahan menghadapi persoalan zaman karena banyak kesalahan di sana-sini. Saking piawainya menulis, suatu kali rekannya wartawan menganjurkan dia menjadi wartawan tulis saja.

“Aku suka menulis, tapi lebih suka memotret karena menyangkut hobi beratku sejak SMP,” jawabnya kepada Lukito, teman wartawannya itu, “Toh, aku bisa tetap menulis jika memang ingin menulis.”

Baskara memang aneh. Dia lulusan Fisipol UI, tapi justru bekerja sebagai fotografer. Penyimpangan yang tak pernah dia sesali. Baginya kemampuan dan penguasaan bidang menjadi dasar bekerja, agar bisa profesional. Sejak SMP dia memang jago dalam fotografi. Bahkan koleksi kameranya pun cukup lengkap. Dari keluaran tahun 1980-an sampai yang terbaru.

Koleksi karyanya juga banyak dan berkualitas. Jika dilihat album dan foto-foto yang dipajang di kamarnya, dia lebih suka memotret kehidupan dan keindahan-keindahan alam. Apa salahnya jika dia akhirnya bekerja di bidang yang benar-benar dia sukai dan kuasai. Lagi pula sejak lama dia memang mencita-citakan jadi wartawan. Profesi yang menurutnya sangat mengasyikkan dan menantang. Selain memiliki akses informasi terdepan, juga menjadi agen perubahan. Salah satu pilar demokrasi yang juga berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas zaman. ***

Pikiran Baskara tentang teman adiknya mulai mengembang ke mana-mana. Dia enggan beranjak dari kloset karena saking asyiknya, meski dia sudah tak punya kepentingan lagi dengan kloset itu. Calon tamu itu adalah orang yang baru seminggu diceritakan Zaliany. Dia teman dekat adiknya. Cerita Zaliany memang sangat pelit. Deskripsinya sangat umum.

Dia bilang orangnya tipe yang disuka Baskara. Wanita yang menarik, cerdas, cantik, lembut, peduli dengan kehidupan, sekaligus punya ketegasan dan sikap. Dia juga aktivis yang sering ikut demonstrasi, dan rupanya kenal Baskara bahkan pernah bertanya tentang dirinya.

Cuma itu ceritanya, detilnya tak pernah dijelaskan hingga Baskara makin penasaran dan sempat menilai cerita adiknya mengada-ada. Begitu Zaliany bilang ada teman yang akan mampir ke rumahnya, dia tahu siapa orang yang dimaksud. Pasti teman yang pernah diceritakan kepadanya.

Ah, bagaimana nanti kenalannya. Aku tak mau terlihat kaku. Semoga Zaliany membuat skenario yang bagus, sehingga semua berjalan dengan lancar. Seperti apa dirinya? [selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA