KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 14 Maret 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (4-6)

Zaliany paling bisa membuat orang penasaran. Itu memaksa Baskara terus memikirkannya. Maklum, dalam tiga tahun ini Baskara memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai kurang memikirkan masalah cinta. Bahkan dia juga lupa bagaimana cara menggaet wanita, meski punya banyak kenalan.

Baskara sekarang sepertinya sudah jauh berbeda dari dulu. Dia tak mampu lagi main srudak-sruduk, hingga akhirnya hanya sekedar bisa bersikap akrab setiap berhubungan dengan wanita. Selebihnya mandek. Lagi pula, dia memang hanya ingin serius dengan orang yang dia rasa cocok.

Dia sebenarnya sudah haus cinta, ditambah orangtuanya terus mendesak agar cepat menikah. Di sisi lain dia seperti kesulitan mencari pasangan. Zaliany bisa merasakan betapa kakaknya kesepian. Itu pula yang membuat Zaliany berpikir untuk mengenalkan kakaknya dengan seseorang yang dia anggap istimewa. Apalagi dia menjadi sahabat dekatnya dalam beberapa bulan terakhir. Sudah lama Zaliany ingin mengajaknya ke rumah, agar bertemu kakaknya, tapi selalu ada halangan. Hingga akhirnya pagi ini, dia bisa memenuhi undangannya.

"Mas Bas, sudah pukul 07.30, lho. Sebentar lagi tamuku datang. Mandi apa tidur, sih? Dasar pemalas.” Teriakan Zaliany itu membuyarkan lamunan Baskara. Dia langsung mengucapkan selamat tinggal kepada barang yang dia keluarkan dari tubuhnya dan menyiramnya sampai ludes, kemudian cepat-cepat mandi.

Baskara mulai berprasangka baik dan tak mau mengecewakan adiknya. Meski galak dan kadang manja, Zaliany sayang kepadanya. Dia juga prihatin terhadap nasib abangnya yang membujang dan lama kesulitan mencari pacar. Kakak-beradik ini memang sangat akrab, meski terkadang saling suka menggoda.

Tapi mereka juga bisa serius dan saling membantu. Bahkan sering terlibat diskusi yang dewasa, termasuk soal pasangan hidup dan politik. Maklum, Baskara mantan aktivis dan kini Zaliany mengikuti jejaknya. Isu-isu politik dan strategi demonstrasi sering mereka diskusikan. Prof. Dr. Sungkono dan istrinya beruntung memiliki dua anak yang cerdas, rukun, dan berparas indah. Pak Sungkono dan istrinya memang berasal dari Jogjakarta, tapi mereka seperti punya darah indo hingga keturunannya juga seperti punya aroma indo.

Baskara sendiri tak pernah tahu siapa nenek moyang mereka, hingga ayah dan ibunya punya hidung yang mancung dan paras sedikit berbau Eropa. Mungkin dulu nenek atau kakek moyangnya orang Belanda. Setahu Baskara, ayah dan ibunya kalau diturut-turut sama-sama masih kerabat Keraton Jogjakarta.

Ah, apa artinya garis keturunan. Kebanggaan terhadap garis keturunan terkadang membangun kesombongan sosial yang sangat kejam. Ini sering mengacau pemahaman orang terhadap esensi manusia dan hubungan sosialnya.

Kerukunan antarmanusia yang seharusnya terjalin, sering dirusak oleh kesombongan semacam ini. Akhirnya orang menjadi pilih-pilih, punya kecenderungan-kecenderungan tertentu, primordial sempit, dan pada gilirannya melahirkan kotak-kotak sosial. Efek selanjutnya bisa mengakibatkan gesekan dan menimbulkan konflik. Konflik yang tak teratasi bisa mengakibatkan peperangan, pertumpahan darah. Tragedi mengerikan sekaligus memalukan.

Konflik itu sendiri sering beranak-pinak dendam. Karena kesombongan ras pula Adolf Hitler membunuh ribuan orang, pemerintah Yugoslavia di bawah Slobodan Milosevic melakukan ethnic cleansing hanya demi membangun The Great Serb, ribuan warga kulit merah Amerika dibunuh, dan warga Aborigin di Australia nyaris punah oleh para pendatang kulit putih. Ah, masa bodoh dengan garis keturunan. Yang penting aku manusia dan sesama manusia harus saling mengasihi, menghormati, saling membantu, dan memberi.

Keturunan, ras, dan kesukuan hanyalah warna-warni dan kekayaan kehidupan yang semestinya disyukuri, dikenali, dihormati dan dinikmati. Bukan untuk disombongkan atau diperbandingkan antara satu dengan lainnya. Bukankah Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal dan mengasihi? Bukankah bangsa ini juga menghormati perbedaan-perbedaan, hingga mampu melahirkan filosofi indah berupa Bhineka Tunggal Ika? Sayang dalam kehidupan sehari-hari, filosofi semacam ini seperti jauh panggang dari api.

***
Karena pemikiran dan pemahaman seperti itu, Baskara pun tak mau pilih-pilih dalam bergaul. Termasuk dalam mencari pasangan. Dia tak mempersoalkan jenis ras atau etnik. Tak peduli apakah dia orang Jawa, Sunda, Papua, Dayak, orang Eropa, Cina, atau Negro. Yang terpenting sesama manusia harus saling mengasihi, menghormati, memahami, mengerti, bisa bekerja sama, mesra dalam persamaan dan perbedaan.

Ras baginya hanya identitas badaniah. Kejiwaan mereka tetap manusia. Baik-buruknya dan terhormat-tidaknya manusia bukan diukur dari golongan atau ras, tapi pada pribadi dan perbuatannya. Sesama manusia punya hak dan kewajiban yang sama untuk saling mengasihi, menghormati, membantu, dan bekerja sama. Dua belah hati, pikirnya, juga tak harus satu ras. Karena hakekat manusia adalah sama. ***

Cukup lama Baskara bercermin seusai mandi. Ini menyimpang dari kebiasaannya yang tak terlalu peduli dengan penampilannya. Tapi dia tak melakukan apa-apa, kecuali hanya menatapi dirinya sendiri di cermin. Dia memang tak bisa berdandan. Baju lengan panjang yang dilipat sampai di atas siku dengan kombinasi celana jins adalah trade mark-nya, terkadang hanya memakai T-shirt dan jins. Dipadu rambut agak ikal yang panjangnya sebahu, sekilas dia lebih tampak seperti seniman tapi anggun.

"Bah, kenapa harus berkaca-kaca memaksakan penampilan? Mending jadi diriku sendiri. Kalau memang suka, ya suka dengan diriku yang seperti ini. Masa bodoh, toh hanya baru mau kenalan,” desahnya sambil menyulut rokoknya dan mengembuskan asap ke bayangan wajahnya di cermin.

Dia semakin sering mengisap rokok, tanda mulai tidak tenang. Kecemasan mulai merambati dirinya. Muncul pula perasaan grogi. Makin tidak tenang, makin sering dia mengisap rokoknya sampai tak sadar api sudah menyentuh filternya. Segera dia mematikannya di asbak dan secara refleks mengambil satu batang lagi. Korek sudah dia nyalakan, tapi tak segera menyulut rokoknya. Sayup-sayup terdengar Zaliany sedang menyambut seseorang.

"Inikah dia? Ah, kenapa jantungku jadi berdetak kencang? Mungkinkah aku mulai cengeng, romantis, dan sentimentil?” tanyanya kepada diri sendiri. Getaran itu memang benar-benar mengganggu, pun menambah penasaran. Belum pernah dia merasakan seperti itu, termasuk ketika dulu melakukan pendekatan kepada mantan kekasihnya. Maklum lama dia tak pernah PDKT kepada wanita.

"Eh…. Orangnya sudah datang tuh,” bisik Zaliany dari balik pintu kamarnya.

Aneh. Jantung Baskara malah seperti berhenti. Dia kebingungan harus melakukan apa untuk memulai perkenalannya. Baskara menyergap pintu kamarnya dengan cepat, mencoba mengajak bicara Zaliany. Tapi adiknya keburu pergi menemui sang tamu.

"Sialan! Mau diajak membuat skenario yang rapi malah kabur. Awas, kau!” ancamnya. Baskara makin gugup. Tapi keinginan dan hasyrat untuk bertemu sang tamu terlalu besar. Akhirnya dia beranikan diri keluar dari kamar. Berkali-kali dia ragu melangkahkan kaki ke ruang tamu. Bahkan sekadar mengintip sang tamu pun takut ketahuan. Akhirnya dia hanya bisa berdehem-dehem dengan harapan Zaliany datang dan mengajaknya ke luar. Tapi strategi itu ternyata tak berhasil. Akhirnya dia punya cara lain.

Diambilnya tas kamera dan dipakainya sepatunya, kemudian pura-pura akan berangkat kerja. Dengan masih agak gugup dia memberanikan diri melewati ruang tamu agar disapa adik dan temannya. "He, abang jelek. Tumben berangkat kerja lewat ruang tamu? Biasanya lewat samping langsung ke garasi dan nggeblas,” hardik Zaliany yang duduk di samping temannya. Zaliany memang menyapa Baskara sesuai harapannya, tapi kata-katanya membuatnya mati kutu. Ketahuan jika lagi bermanuver. "Ha…. Eh….Hem, boleh dong sekali-kali mutar dikit. Ehm… Oh, ada tamu. Mau kuliah, ya?” kata Baskara masih tetap gugup. "Dari tadi juga sudah tahu, masih tanya!” jawab Zaliany.

Sialan! Ini adik tidak bisa diajak kerja sama. Sengaja membuatku terkapar dalam kegugupan. Dasar kurang asem kebanyakan cabe.

***
Dia akhirnya memberanikan diri untuk melirik sang tamu yang tampak anggun dengan setelan rock jins dan baju lengan pendek. Sang tamu membalas lirikannya sambil tersenyum.

Seketika itu hati Baskara seperti disambar geledek bercabang tujuh. Senyum yang membuat Baskara makin tak berdaya. Baru kali ini dia merasakan senyum yang manis, penuh wibawa, dan menyentuh hatinya.

Rambut sang tamu memang sederhana. Lurus dengan model cepak awal 1990-an seperti rambut Demi Moore di film Ghost. Tapi kecantikannya tetap memancar, bahkan berani bersaing dengan Demi Moore. Matanya yang sipit, justru menjadi daya tarik tersendiri. Mata kecil-mungil yang indah dan bersinar. Kulitnya yang kuning menandakan bahwa dia keturunan Tionghoa. Zaliany tak pernah cerita bahwa dia keturunan Tionghoa. Tapi Baskara tak memedulikannya.

"Ehm, temannya Zaliany, ya?” tanya Baskara lagi sambil berusaha mengatasi kegugupannya. "Kalau bukan teman tak mungkin ke sini,” damprat Zaliany begitu kejamnya. "Maksudku, teman kuliah apa teman main?” Baskara mencoba bersilat lidah dengan hati yang makin dongkol oleh ulah adiknya. Sementara sang tamu makin tersenyum menahan tawa dan menatap mata Baskara dengan ramah.

Duh, tatapan itu benar-benar menusuk. Belum pernah aku dibuat bergetar oleh seorang wanita. Benar-benar wanita penuh wibawa.

Diam-diam dia juga memuji dan berterima kasih kepada adiknya karena mengenalkannya dengan orang yang ternyata istimewa. Meski belum tahu banyak, Baskara merasa sang tamu termasuk wanita lain daripada lainnya.

"Eh, iya kenalkan ini Lili teman sekelasku. Itu panggilannya, nama resminya Lilianti. Kalau nama Cina-nya Thio Mei Li. Lili, dia kakakku yang jelek, lulusan Fisipol UI tapi kerja sebagai tukang intip. Maksudku fotografer, ha…ha…ha…” Zaliany tertawa renyah. Akhirnya dia berbaik hati juga, meski tetap slengekan.

Baskara pun maju lima langkah dan menyalami Lili. “Baskara!” dia memperkenalkan namanya. Lili pun mengulang namanya yang sudah disebut Zaliany. Meski tampak tenang dan tetap tersenyum, Lili sebenarnya juga mulai agak gugup oleh kagantengan dan kewibawaan yang dipancarkan Baskara.

Apalagi dia tak menyangka akan bertemu kakak Zaliany yang sudah sedikit dia kenal lewat cerita teman-teman aktivisnya, juga cerita Zaliany sendiri. Jika selama ini dia malas mengorek Baskara dari Zaliany, lebih karena Lili merasa tak punya kepentingan atau takut dikira tertarik.

Tapi suatu kali, Lili penasaran juga tentang Baskara karena teman-teman aktivis mahasiswa terlalu sering memuji kakak Zaliany itu. Dia pun bertanya, “Kakakmu hebat ya, banyak dipuji. Kayak apa sih orangnya?”

"Ya begitu-begitu saja,” jawab Zaliany waktu itu. Tapi, pertanyaan Lili itu langsung menimbulkan ide bagi Zaliany untuk mempertemukannya. Siapa tahu, dia berjodoh dengan kakaknya. Dia tahu, Lili keturunan Tionghoa yang tak mempersoalkan perbedaan ras, termasuk dalam berjodoh.

Maka, dia memaksa Lili mampir ke rumahnya hari ini sebelum ke kampus. Kebetulan keduanya sedang sibuk terlibat gerakan mahasiswa. Zaliany tak pernah bilang akan mempertemukannya dengan Baskara. Sebab, jika dia katakan itu, Lili justru bisa malu dan menolak ke rumahnya. [sebelumnya | selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA