Biasanya di gedung itu memang banyak foto satire, lucu, sekaligus memalukan. Kadang dewan pada tidur saat sidang, atau malah sidang yang dihadiri segelintir anggota. Pernah suatu kali Baskara bisa menangkap adegan sesama dewan pukul-pukulan. Kalaupun nanti tak ada obyek yang baik, Baskara berencana keliling Jakarta. Toh, pemotretan yang ditugaskan kepadanya tentang acara di Kementerian Dalam Negeri masih nanti sore. Dan, dia tak suka memotret acara-acara seremonial.
Baru tiga menit mobilnya berjalan menuju Gedung DPR RI, dia kembali memikirkan Lili. Tapi, tiba-tiba dia melihat keributan di pinggir jalan. Betapa kagetnya Baskara, ternyata Lukito terlibat dalam keributan itu. Bahkan dia dalam pihak yang terdesak oleh dua orang kekar berambut cepak berbaju preman. Baskara sempat menyaksikan sebuah bogem mendarat di wajah Lukito yang innocent itu. Tanpa banyak menunggu, dia langsung menepi dan mendatangi mereka.
Sebuah pukulan lagi nyaris dihantamkan ke muka Lukito. Entah, sudah berapa kali si Lucky Luke itu menerima tinju. Baskara cepat-cepat menangkap tangan orang itu dari belakang. “Maaf, Pak. Jangan main hakim sendiri, ini ada apa?”
"Jangan ikut campur, kalau tak mau seperti dia!” bentak salah seorang dari mereka. "Saya harus ikut campur karena dia teman saya dan Bapak tak bisa memperlakukannya seperti ini!” "Kalau begitu terima ini!”
Baskara menangkis pukulan keras itu, mundur dua langkah lalu bicara lagi. Dalam hati dia ingin membalas, tapi dia urungkan karena menduga dua orang itu anggota tentara atau polisi, dilihat dari caranya memukul dan postur tubuhnya. ”Bapak, kalau memang ada masalah mari kita selesaikan baik-baik. Bukan dengan cara seperti ini.”
"Jangan menggurui! Kami ini aparat. Kalian mau apa?” ancamnya. Benar juga dugaannya. Kalimat terakhir ini membuat Baskara menjadi yakin mereka aparat keamanan. Sudah tiga kali dia melihat aparat keamanan justru menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan arogansi, bukan dengan prosedur yang ada. Itu yang membuat Baskara makin prihatin. Meski itu oknum, tapi banyak cerita tentang keangkuhan oknum terhadap orang biasa.
"Justru karena Bapak aparat. Ajari kami menyelesaikan masalah dengan baik,” jawab Baskara. Matanya mulai tajam, tanda dia tak gentar oleh gertakan seperti itu. Sementara Lukito tampak kesakitan. Dari mulut dan hidungnya mulai keluar darah.
Dua orang berbadan tegap itu kini mengarah ke Baskara. Mereka tampak marah karena merasa digurui. Tangan mereka dikepalkan dengan kuatnya. Tapi sebelum melakukan sesuatu, Baskara langsung mencegahnya. “Pak, kami berdua wartawan yang tahu prosedur. Mari, kita selesaikan masalah dengan prosedur.”
Mendengar kata-kata Baskara, kedua orang itu tampaknya berpikir dan ngeper juga. Mereka pun mengendorkan emosinya, enggan berurusan dengan wartawan. Sejenak mereka saling menatap, kemudian salah satunya berujar, “Oke, selesaikan sendiri masalah kalian. Kami punya urusan lebih penting.” Kedua orang itu langsung masuk mobil mereka, segera meninggalkan Baskara dan Lukito.
Baskara nyaris mencegah dan meminta pertanggungjawaban mereka atas pemukulan terhadap rekannya. Tapi, segera dia menyimpulkan itu tak akan ada gunanya. Lagi pula dia sudah mencatat nomor mobil dan menghapal wajah mereka. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, dia tinggal melaporkan nomor itu.
"Untung ada kamu, Lorenzo. Kalau tidak, wajahku bakal rusak dan Zaliany akan menolakku mentah-mentah,” dalam keadaan sakit Lukito masih sempat cengengesan. "Ngacau, kamu. Bagaimana, serius nggak?” "Berdarah begini masih ditanya.” "Kalau begitu kita ke klinik dulu. Biar diobati sekalian dicek dan divisum.” Mereka pun segera ke klinik dengan mobil masing-masing. Untung Lukito cuma memar-memar, dan menurut dokter yang memeriksanya tak ada luka serius meski mulut dan hidungnya berdarah. "Ada apa sampai kamu dihajar orang?” tanya Baskara. "Mobil mereka di belakangku dan tampak buru-buru. Mereka memencet bel berkali-kali menyuruh aku menepi. Aku nggak kasih jalan. Memang dia sendiri yang buru-buru? Tiba-tiba di depanku ada mobil berhenti mendadak. Akupun injak rem dengan mendadak pula. Mereka kaget dan mobilnya sempat menyundul mobilku. Aku turun untuk menegor mereka dan minta pertanggungjawaban. Sebab ini bukan salahku. Aku terpaksa ngerem mendadak. Kalau mereka tak bisa mendadak, salahnya sendiri dari awal sudah srudak-sruduk seperti mau melindas semua mobil di depannya. Mereka turun langsung menghajarku.” "Ha… ha… ha… Itu namanya pelanduk menghantam gajah.” "Sialan, malah menertawakan orang yang lagi sial! Dasar!” "Maaf, bukan maksudku menertawakan kamu. Seharusnya mereka tak berbuat begitu. Malah mentang-mentang sebagai aparat. Memangnya aparat bisa berbuat apa saja? Sudahlah, semua sudah berlalu. Tak usah dipikir lagi, bisa menghabiskan energi. Sekarang keadaanmu bagaimana?” "Tak apa-apa, aku akan meliput lagi.” "Kamu yakin?” "Iya, yakin sekali.” "Ya sudah, lebih hati-hati di jalan.”
Dua sahabat ini pun segera berpencar lagi untuk memburu buruan masing-masing.
Lili dan Zaliany keluar dari kelas setelah sejam mendengarkan kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia. Mereka sebenarnya ingin ke kost Awan, tempat para aktivis sering berdiskusi dan merancang aksi. Tapi Lili mengajak Zaliany ke kantin dulu.
“Nanti saja ke rumah Awan. Kita ke kantin dulu, yuk. Mulai lapar,” pinta Lili. Zaliany pun menuruti. Dia tahu, Lili agak resah setelah bertemu kakaknya. Ini kesempatan untuk menjajaki perasaannya tentang abangnya. Dalam hati Zaliany sudah ikhlas menjadi Mak Comblang untuk kedua manusia yang sangat dia sayangi.
Benar saja. Setelah pesan makanan dan minuman, Lili mulai buka pertanyaan yang mengarah ke Baskara. Dalam tiga bulan ini keduanya memang sangat akrab. Keakraban yang akhirnya membangun persahabatan yang makin erat, apalagi diberi pupuk pemikiran dan pendirian yang sama. Mereka semakin terbuka dan sering saling mencurahkan isi hati dan cerita dalam banyak hal. “Zal, kakakmu asyik juga, ya?” “Aha, kamu tertarik ya?” tembak Zaliany. “Hus, baru ketemu pikiranmu sudah ngelantur.” “Sudah deh, jujur saja. Kita ‘kan friends. Nggak perlu ada yang ditutup-tutupi. Kalau kamu tertarik, bisa diatur,” Zaliany mencoba to the point. “Aku belum bisa menjelaskan. Tapi, terus terang aku agak gimana, gitu. Sempat gemetar sedikit ha…ha…ha… Ada unsur ketertarikan, tapi tentang apa aku belum tahu. Awas, jangan cerita kepadanya, lho!,” Lili mulai menyantap gado-gado yang sudah dihidangkan. “Kalau begitu dijajaki saja. Aku bisa atur agar kalian ketemu lagi, setuju nggak?” “Wah, bagaimana ya?” Lili sebenarnya setuju, tapi agak sedikit malu. Untuk yang satu ini Lili masih kesulitan terbuka. Itu rupanya diketahui Zaliany. “Begini saja, bagaimana kalau setiap mau kuliah kamu mampir ke rumahku dulu?” “Malu, ah!” “Sudah deh, nurut saja!” ultimatum Zaliany tak bisa dijawab Lili.
Lili masih malu mengungkapkan isi hati yang sebenarnya sangat setuju. “Jangan dulu, ah. Nanti terkesan agresif. Biarkan semua berjalan apa adanya. Kalau memang cocok, pasti banyak kesempatan bertemu. Kamu kok jadi bersemangat, sih?” “Tentu saja. Kalau dua orang yang kuanggap istimewa bersatu dalam cinta, aku juga ikut bahagia.” "Kamu bisa saja. Tapi jangan direkayasa begitu, aku nggak suka.” Zaliany pun tak berani memaksa, demi menghormati sahabatnya. Toh, masih banyak kesempatan untuk mempertemukan mereka berdua. Usai makan di kantin, tanpa banyak menunggu mereka langsung meluncur ke daerah Depok, tempat kost Awan. Di sana Awan dan beberapa teman sudah asyik berdiskusi. Awan yang sedang duduk bersandar kusen pintu kostnya sambil bicara dengan empat rekan yang ada di dalam, tampak langsung berwajah cerah begitu melihat sosok Zaliany. Dia sudah lama menaruh simpati kepadanya, tapi masih belum bisa mengungkapkan isi hatinya.
Diam-diam, Zaliany yang cantik dan periang ini sebenarnya juga tertarik, hanya sebagai wanita dia lebih memilih menunggu datangnya bola. Sayangnya, bola itu tak segera ditendang Awan. [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing