KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 01 Mei 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (41-42)

Thio Hok Kie ingin marah sejadi-jadinya, tapi dia mencoba menahannya. Takut akan menjadi ramai dan didengar Beng San. Cuma, hatinya sudah bulat. Lili nantinya harus kawin dengan Beng San. Itu akan indah baginya, karena berbesan dengan pebisnis besar. Lagi pula, menurutnya, Lili akan hidup bahagia dengan gelimang harta. Dia tak peduli lagi dengan penolakan Lili, begitu juga dengan perasaannya. Menurutnya, itu hanya akan sebentar. Dia merasa punya kuasa untuk mengatur anaknya. Toh, istrinya dulu juga sempat menolak dijodohkan dengannya, tapi akhirnya mau juga meski agak terpaksa. Kini, ibu Lili juga setia. Maka, dia berharap Lili juga akan seperti ibunya, akhirnya mau mencintai orang yang dijodohkan dengannya.

"Kalau begitu, ini perintah Papah. Dan, kamu jangan membantah perintah Papah. Seperti halnya Papah menjodohkan kakakmu, maka turuti permintaan Papah. Kamu akan aku jodohkan dengannya. Titik! Papah tahu apa yang terbaik buat anaknya, maka kamu harus menurutinya. Kalau kamu sekarang masih keberatan, terserah. Papah yakin, akhirnya kamu akan mengerti juga maksud orangtua. Yakinlah, cinta bisa datang belakangan."

"Tidaaaak! Papah jahat, Mei Li tak akan bisa. Papah tolong, jangan lakukan itu," Lili menangis, seolah dunia bakal runtuh.

Papahnya tampak tak peduli. Baginya penolakan itu masalah kecil dan hanya sementara. Dia yakin benar, cepat atau lambat Lili akan luluh juga. Dia pun segera keluar dari kamar Lili dengan keyakinannya bakal sukses menjodohkan anaknya dengan Beng San, putra pebisnis besar di Jakarta yang usahanya sudah menggurita. Dia segera kembali menemui Beng San.

"Jangan tersinggung, lho Beng oleh sikap Mei Li." "Oh, tidak Om. Semakin dia sulit, justru semakin menantang. Ha… ha… ha…" "Bisa saja, kamu. Kalau kamu benar-benar mencintai dia, semua bisa diatur. Toh lama-lama dia akan mencintaimu juga. Sabar saja," timpal mamah Lili. "Saya sabar, kok Tante. Wanita yang baik memang tak boleh gampangan, bukan begitu Om?" "Setuju, Beng. Anakku memang bukan tipe gampangan. Aku bangga karenanya. Oh, ya. Bagaimana bisnismu?" "Lancar Om. Tapi Papah meminta saya kuliah MM di London agar makin jago mengelola bisnis. Lagi pula di sana ada bisnis yang bisa saya kerjakan dan bersinergi dengan bisnis papah di Jakarta. Saya bilang maunya nikah dulu, baru ke London. Biar nggak kesepian," jawab Beng San.

"Lho, kalau begitu kamu lamar Mei Li saja." "Itu pula, Om. Inginnya begitu, tapi Mei Li tampaknya masih mencintai kekasihnya." "Ah, itu masalah mudah. Sudah, ajak orangtuamu ke sini. Kita bikin acara lamaran yang formal. Kalau orangtuamu dan kami sudah sama-sama merestui, apa lagi yang dipikirkan?" "Tapi bagaimana kalau Lili menolak?" "Ah, itu urusan kami. Tenang saja. Semua akan lancar. Biar kami yang merayu, sambil kita atur waktunya." "Kalau begitu, saya pamit dulu. Nanti saya bilang ke Papah-Mamah," jawab Beng San bersemangat. "Ya, hati-hati."

Orangtua Lili pun langsung bersemangat. Setelah Beng San pergi, mereka langsung merayu Lili. Seolah sudah tak ada waktu lagi. Sekali lagi, Lili menyatakan penolakannya. Tapi tetap saja itu tak dianggap sebagai hal serius bagi orangtuanya, terutama papahnya.

"Papah, saya sudah bulat tidak mau menerima lamaran Beng San. Papah jangan memaksa," kata Lili sesenggukan. "Lili, itu hanya masalah waktu. Sudah turuti saja Papahmu." "Tidak, Mah. Biar Lili mati saja." "Eh, kamu jangan seperti Juliet dong. Itu hanya ada dalam dongeng. Papah sudah tak mau dengar alasan-alasanmu. Pokoknya, kamu harus menerima lamarannya. Titik!"

Lili ingin membantah lagi, tapi diurungkannya. Baginya sudah tak ada gunanya memberikan argumentasi dan membantah papahnya. Mending mencari strategi untuk lepas dari keadaan ini. Hatinya hancur, air matanya semakin deras mengalir.

Part.42

ENAM   AKTIVITAS mahasiswa baik dalam belajar maupun dalam pergerakan, menjadi satu-satunya hal yang membuat Lili masih bersemangat. Selain karena panggilan hatinya, dia masih bisa bertemu dengan Baskara. Sebab, orangtuanya mulai mengekangnya, terutama di hari Minggu. Dia nyaris tak bisa keluar di hari itu. Sangat menyakitkan baginya, apalagi Beng San pasti ke rumahnya dan dia harus menemuinya.

Bahkan di hari Sabtu, dia diwajibkan untuk segera pulang selepas kuliah. Tak boleh lewat sore, karena Beng San juga akan berada di rumahnya. Upaya orangtuanya untuk menjodohkannya dengan Beng San semakin serius. Dia sempat melontarkan senjata terakhir sebagai alasan penolakannya, yaitu ingin menyelesaikan kuliah dulu. Tapi papahnya tak sependapat. Menurutnya, menikah tak harus menunggu selesai kuliah. Toh, katanya, jika sudah kawin dengan Beng San akan segera dibawa ke London. Lili bisa melanjutkan kuliah di sana.

Maka, Lili pun memanfaatkan benar hari-hari lain ketika dia kuliah dan terlibat gerakan mahasiswa. Sebab, hanya hari-hari itu dia agak leluasa untuk menemui kekasihnya. Sebelum ke kampus, bisa dipastikan Lili akan mampir ke rumah Zaliany dulu. Selain menjemput temannya, juga bertemu Baskara. Kalau ada waktu, selepas kuliah atau rapat dengan rekan-rekannya, dia bisa bertemu Baskara lagi.

Apalagi kalau demo, Baskara pasti ikut datang memotret. Sekalian beraksi, Lili bisa berpacaran dengan leluasa. Bulan April nyaris habis, Lili dan rekan-rekannya makin intensif melakukan pertemuan. Bahkan berbagai aksi demonstrasi mulai dirancang, sebagian malah sudah dilaksanakan.

Seperti biasanya, pagi ini dia mampir ke rumah Zaliany sebelum ke kampus. Tapi tidak seperti hari sebelumnya, dia tampak sudah kehilangan segala semangatnya. Lesu dan kesedihan memancar di setiap auranya.

"Pagi, Lili. Kok nggak bawa mobil?" sambut Zaliany. "Tadi bannya kempes. Lagi pula aku lagi nggak bisa konsentrasi, nih," jawab Lili yang matanya masih sembab, tanda habis menangis. "Eh, kita padat acara hari ini. Setelah kuliah kita harus segera ke markas. Banyak hal yang harus dibahas," sambut Zaliany.

"Tapi sore aku harus pulang. Sekarang aku nggak bisa pulang malam lagi. Keadaan makin gawat. Papahku mulai banyak melarang. Padahal, aku ingin seperti dulu. Bebas beraktivitas. Apalagi sekarang keadaan nasional sudah semakin runyam. Unjuk rasa terjadi di mana-mana dan aparat mulai malakukan kekerasan terhadap mahasiswa. Kita juga harus segera bergerak. Rasanya geregetan juga untuk segera turun ke jalan," kata Lili, masih menyimpan semangat di balik kehancuran hatinya.

"Kita bahas nanti di markas bersama rekan-rekan. Sekarang masuk dulu. Kamu benar-benar tampak tidak sehat. Kulit Cinamu yang kuning menjadi pucat, tuh."

"Ah, jangan bercanda dulu. Aku memang lagi remuk, nih. Tadi keluar dari rumah sudah dibekali berbagai nasihat, bahkan ancaman agar cepat pulang. Aku nggak tahu akan kuliah atau tidak. Yang ada di pikiranku cepat ke sini dan ketemu kakakmu. Kalau tidak bisa ke markas, nanti sampaikan salamku kepada teman-teman. Segera melakukan aksi. Situasi nasional sudah begini runyam," Lili masih tetap memikirkan gerakan para mahasiswa dan situasi nasional, meski dirinya sendiri sedang dibekap kesedihan.

"Beres. Tapi, kalau boleh tahu, ada masalah apa?" "Papahku tak hanya mulai banyak membatasi gerakku, tapi juga sudah melakukan penjajahan. Dia benar-benar serius akan memaksaku kawin dengan Beng San."

Zaliany tersentuh, "Oh, aku ikut prihatin. Terus, bagaimana sikapmu?" "Itu dia. Aku tak mau dijodohkan, tapi juga kesulitan melawan orangtuaku. Aku tak ingin menyakiti mereka, tapi juga  tak ingin dipaksa-paksa seperti ini," Lili tiba-tiba menangis. Zaliany kaget dan terharu, kemudian langsung mendekapnya dan menuntun ke ruang tamu.

"Sudah, tabahkan hatimu. Sebentar aku panggil Mas Bas. Kamu harus mendiskusikannya dengannya. Kamu nggak usah kuliah dan ke markas dulu, biar nanti aku bilang ke dosen dan teman-teman," hibur Zaliany. [Hery Prasetyo] [Sebelumnya | Selanjutnya]
--
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email Upload by: Chen Mei Ing - Jakarta

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA