KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 17 April 2011

TAK TERPISAHKAN

Upacara perabuan telah selesai, begitupun dengan pelarungan abu jenazah. Iring-iringan pengantar pun telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tak ada tangis duka ataupun jerit histeris saat abu Ah Feng bertabur di udara sewaktu upacara pelarungan tadi. Aku sungguh heran, kenapa Om dan Tante Lie begitu tenang melepas kepergian putra sulung mereka. Mungkin hanya aku saja yang berduka disini. Hanya aku yang menangis dan menjerit-jerit mengutuki kenyataan.

Semua memang takdir Tuhan, Lie Xiao Feng kekasihku harus pergi secepat ini, dengan cara yang tak wajar pula. Bunuh diri. Entah apa penyebab utama hingga Ah Feng nekat mengakhiri hidupnya sendiri. Namun dari cerita-cerita yang sering Ah Feng keluhkan padaku aku dapat menarik kesimpulan kalau Ah Feng depresi. Ah Feng tak tahan terus menerus ditekan dan diatur oleh kedua orang tuanya. Bukan hanya dalam hal-hal besar dan penting saja, tapi juga dalam segala urusan remeh temeh Ah Feng. Om dan Tante Lie memang orang yang sangat keras dan kaku. Dulu hubunganku dan Ah Feng pun sempat mendapat batu sandungan dari mereka berdua. Alasannya sederhana saja, karena aku hanyalah seorang gadis penjaga toko buku. Sementara semua orang tahu betul siapa itu Keluarga Lie. Mereka adalah satu dari sekian keturunan Tionghoa yang sukses di kotaku.

Aku masih berurai air mata saat mobil Ii Giok -tante Ah Feng- yang kutumpangi berhenti didepan pintu pagar rumahku.

“Sudah sampai Mei.” ujar Ii Giok membuatku sedikit tergugu karena lamunan yang buyar.

“Ah, eh iya. Terima kasih I.” ucapku tergagap.

Aku membuka pintu belakang mobil lalu bergegas turun.

“Sesekali mampirlah ke rumah Om dan Tante Lie, mereka pasti akan sangat terhibur oleh kedatanganmu.” saran Ii Giok.

Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Basa-basi macam apa ini! Sejak kapan Om dan Tante Lie menyukaiku. Kedatanganku ke rumah keluarga itu pasti hanya akan mengganggu ketenangan hidup mereka saja.

“Ii pulang dulu ya Mei.”

“Gak mampir dulu I?” tawarku.

“Mungkin lain kali.” jawab Ii Giok sambil tersenyum tulus. Diantara saudara dan kerabat Ah Feng yang lainnya Ii Giok memang yang paling baik dan ramah.

“Mei tunggu ya I.”

Ii Giok mengangguk, lalu segera menyalakan mesin mobilnya. Mobil itupun melaju dan menghilang ditelan jalan yang menikung tajam.

Aku membuka gerendel pagar rumahku. Bunyinya berderit karena usia tua. Kuedarkan pandangan menyapu seluruh halaman rumah. Kulihat popoh sedang asik menyiram bunga wijayakusuma kesayangannya. Popoh adalah nenekku, ibu dari ibuku. Di rumah ini awalnya kami tinggal bertiga, aku, popoh, dan kungkung kakekku. Tapi setahun yang lalu kungkung meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itu otomatis penghuni rumah ini hanya aku saja berdua dengan popoh, sedang ayah dan ibuku tak pernah kutahu mereka ada dimana. Apakah masih hidup atau sudah menjadi abu seperti kungkung dan Ah Feng.

“Popoh…” aku memanggil popoh lirih.

Popoh menengok kearahku, serta merta melepaskan selang air yang tengah digenggamnya dan tergopoh menghampiriku.

“Mei… Sudahlah Mei, jangan menangis lagi. Biarkan Ah Feng beristirahat dengan tenang.” popoh berusaha menenangkanku seraya memeluk tubuhku yang lemah.

Hanya itu yang kuingat, selebihnya aku lupa. Mungkin aku tak sadarkan diri. Yang kuingat selanjutnya adalah popoh yang menangis disamping tempat tidurku sambil mengusap-ngusap rambut tipis diatas keningku hingga ku tertidur pulas.

Esoknya keadaanku tetap sama, lemah, lesu dan tak bersemangat. Kepergian Ah Feng yang tiba-tiba telah mengubahku menjadi serupa mayat hidup. Aku tak lagi bergairah dan mudah jatuh sakit. Aku bahkan dipecat dari tempat kerjaku karena sering terlambat dan banyak melakukan kesalahan. Hari-hari yang kulalui kini hanyalah melamunkan Ah Feng sepanjang waktu. Kadang aku kasihan melihat popoh yang jadi ikut-ikutan sakit karena memikirkanku. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Foto-foto dan beribu kenangan tentang Ah Feng yang selalu kupeluk tiap waktu tetap saja tak dapat mengobati kerinduanku akan sosok Ah Feng. Semua tetap terasa hampa. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide gila. Guci abu Ah Feng. Guci yang berisi abu jenazah Ah Feng itu pasti bisa mengobati kerinduanku pada Ah Feng. Ya, aku yakin itu.

Tak sulit bagiku untuk mendapatkan guci abu jenazah milik Ah Feng. Aku sudah mendapatkannya kini. Tadi siang aku berkunjung ke rumah Keluarga Lie. Aku ingin bersembahyang di depan abu jenazah Ah Feng, ujarku memberi alasan pada Tante Lie yang tampak heran atas kedatanganku. Dan sesuai perkiraan, tentu saja Tante Lie tak berkeberatan. Siapa juga yang tak senang menerima kedatangan orang yang hendak berdoa untuk anaknya.

Tante Lie menuntunku menuju kamar sembahyang, dan mempersilahkanku masuk. Kutunggu sejenak hingga Tante Lie keluar dari kamar sembahyang. Begitu Tante Lie pergi dan menutup pintu, secepat kilat kusambar guci abu Ah Feng, kudekap erat dan segera kumasukkan kedalam tas yang kubawa. Dengan hati-hati kukeluarkan sebuah guci abu yang lain dari dalam tasku. Guci abu milik kungkung. Kubuka selembar foto yang menempel dibagian belakang kedua guci dan kutukar. Perlahan kuletakkan guci abu milik kungkung diatas meja sembahyang menggantikan guci abu Ah Feng. Sempurna! Kedua guci abu itu memang sama persis. Tante Lie ataupun popoh pasti tidak akan menyadari kalau guci abu kungkung dan Ah Feng telah bertukar tempat.

Semenjak memiliki guci abu Ah Feng, hidupku kembali normal. Aku sudah mulai bisa makan dengan lahap, terlebih bila popoh memasak fung zau. Sejak dulu aku memang suka fung zau buatan popoh. Hari-hariku berubah ceria, tertawa dan bercanda bersama popoh. Tentu saja popoh senang melihat hal itu, apalagi kini aku jadi rajin sembahyang dan berdoa. Tentu saja popoh tak tahu alasanku yang sebenarnya kenapa aku senang berlama-lama di kamar sembahyang adalah untuk melepas rinduku pada Ah Feng.

Awalnya popoh tidak menaruh curiga apapun pada kebiasaan baruku. Tapi lambat laun tampaknya popoh mulai merasa ada yang tidak beres denganku. Semua berawal dari kebiasaanku bercakap-cakap dan membawa guci abu kedalam kamarku. Semakin lama popoh terlihat semakin curiga. Hingga pada suatu ketika popoh mengutarakan keanehannya dan mencecarku dengan berpuluh pertanyaan yang membuatku terpaksa mengaku.

Brakkkk…!!! Popoh menggebrak meja belajar tak berdosa yang menjadi penghias kamarku.

“Mei Lian, apa yang sudah kau perbuat!”

Popoh berteriak marah padaku, sedang aku hanya tertunduk diam menanggapi amarah popoh.

“Perbuatanmu kali ini benar-benar tidak bisa dimaafkan. Cucu macam apa yang tega menukar guci abu jenazah kakeknya sendiri! Kau sudah menghina leluhur.” popoh semakin marah padaku.

“Kemarikan guci abu itu!” ujar popoh sambil merebut guci abu Ah Feng yang tengah berada dalam pelukanku. Guci itu terlepas dan berpindah ke tangan popoh.

“Popoh mau apa?” tanyaku.

“Popoh mau mengembalikan guci abu ini ketempatnya semula, dan mengambil guci abu milik kakekmu yang kini berada di rumah Keluarga Lie.” jawab popoh sambil bergegas keluar dari kamarku.

Hah! Apa aku tak salah dengar. Popoh akan mengembalikan guci abu Ah Feng ke rumah orang tuanya dan memisahkan Ah Feng dariku. Tidak bisa! Ini tidak boleh terjadi. Aku berlari mengejar popoh. Kudapati popoh tengah berdiri diambang pintu.

“Popoh, kembalikan guci abu Ah Feng, Mei mohon.” pintaku sambil menarik guci itu dari tangan popoh.

Popoh bertahan hingga terjadi tarik-menarik yang tak seimbang antara aku dan dia. Tapi sekeras apapun popoh bertahan tenagaku tetap lebih kuat darinya. Akhirnya popoh melepaskan genggamannya, tapi yang terjadi justru guci itu malah terlepas dan pranggg!! Guci yang berisi abu jenazah Ah Feng terhempas ke lantai dan pecah berkeping-keping. Abu jenazah Ah Feng berserakan bercampur dengan beling-beling pecahan guci. Sebagian abunya bahkan berterbangan tertiup angin.

Popoh tertegun melihat hal itu, sementara aku berubah kalap. Kepal tangan dan tendanganku serta merta menghujani tubuh renta popoh. Popoh berteriak-teriak kesakitan, tapi itu justru membuatku semakin buas. Tak kuhirau teriakan minta ampun popoh. Aku berjongkok, memungut pecahan guci yang terbesar dan cresss..!! Tanpa ampun aku menyabetkan beling tajam itu ke leher popoh yang sudah tak berdaya. Popoh pun roboh bersimbah darah, tubuhnya menggelepar di lantai.

“Tak ada yang boleh memisahkan Ah Feng dariku, tidak boleh!!! Bahkan termasuk popoh sekalipun.” jeritku sambil meraup sisa abu Ah Feng yang berserak di lantai dengan kedua tanganku. (*v*)

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA