KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 17 April 2011

SATU CINTA DUA AGAMA (18-19)

Sekali lagi Rizal mencoba menghubungi Tri, karena diliputi rasa penasaran. Lagipula Rizal bukanlah tipe lelaki yang mudah menyerah? Tapi percuma Tri tetap tidak menjawab telponnya. Rizal merungut kesal, hampir-hampir telepon genggam ditangannya dibanting.

“Sebegitu besarkah cintamu pada Li itu Tri? Sampai tidak peduli dan mengabaikan aku yang jelas-jelas sangat menginginkan cintamu dan seiman?”Rizal berpikir kalau Li lah yang menghambat cintanya pada Tri saat ini, padahal tidak lagi.

Tri sekarang malah sedang sibuk menyemai benih-benih cinta di hatinya untuk Ramli. Rizal lupa bahwa Ramli sosok sederhana itu ternyata mampu menarik perhatian dan meluluhkan hati Tri.
Bagi Rizal, Ramli bukanlah rival yang sesuai, secara dari tampilan luar saja Rizal jauh lebih macho, sehingga ia yakin Tri tidak akan terjerat cinta Ramli. Perkiraan Rizal meleset jauh, Rizal tidak tahu?makna cinta yang sesungguhnya.

Mencintai adalah untuk menyenangkan orang yang kita cinta dan itu tidak cukup hanya dengan mengerti saja, tetapi lebih jauh seorang pecinta harus memahami orang yang dicintainya.
Dengan mengetahui apa yang disenangi dan bagaimana menyenangkan  orang yang dicinta itu.

Rizal mencintai Tri hanya dengan mengedepankan egonya, dia yang gagah mapan, dan cerdas. Bagi Tri itu tidak cukup untuk menarik hatinya. Tri lebih memilih Ramli yang pendiam dan bersahaja, karena Ramli ternyata mencinta dengan tulus tanpa menuntut.

Baginya mencinta adalah memberi dengan ikhlas, dan sudah sangat bahagia dengan cintanya itu.

***

Tri mengabaikan deringan di hpnya. Dalam batin Tri bergumam?
“Maafkan aku Rizal, aku tidak bisa menerima cintamu. Mungkin aku lebih memilih Ramli sebagai pengganti Li dalam hidupku. Aku tidak menemukan sesuatu pada dirimu yang membuatku nyaman berada dekatmu. Aku tahu belum mampu mencintai Ramli dengan sepenuh hatiku, tapi aku akan belajar untuk memberinya cinta yang utuh
? Aku berharap padanya, ia akan membimbingku dalam mengarungi hidup ini dan pelan-pelan aku akan berbahagia bersamanya.  Seperti bahagianya aku saat bersama Li. ”

*
“Fer, malam ini kamu ada waktu?” Tanya Li saat berpapasan denga Fera ketika hendak keluar kantor di lobi.

“Li, buat kamu, aku selalu punya waktu spesial!” Fera tertawa riang menanggapi pertanyaan Li.

“Bagaimana nanti malam kita makan, lalu pergi nonton, dan …”

Belum sempat meneruskan kalimatnya, pembicaraan Li sudah dipotong,”dan bermesraan dibawa terangnya bulan ha ha ha ….. Jam berapa jemput aku?” Derai tawa membuat Li celingak-celinguk tak enak dengan keadaan sekitar.

“Husss ketawanya pelan-pelan dong, Fer!” Li mengingatkan.

“Ok, Koko Li! Eh, boleh dong panggil Koko kayak Tri memanggil kamu, Li?!” Fera senyum-senyum sambil memandangi Li.

Tri ya Tri, mantan kekasih yang begitu dicintainya selalu memanggilnya Koko dengan manja. Tiba-tiba kenangan itu hadir kembali membuat Li melamun sesaat.

“Ehm ehm, begitu disebut nama Tri, langsung deh kepikiran. Tapi tidak apalah, yang penting aku sekarang yang didekatmu!” Masih dengan senyum mengembang Fera menanggapi.
Fera memang seorang wanita yang ceria dan enerjik.

*
Terang bulan memayungi malam minggu kota Jakarta. Udara begitu cerah dan penampilan yang sungguh rupawan malam itu. Li juga tak kalah gagah penampilannya malam itu. Malam yang penuh senyuman mengiringi pasangan ini.

Li dan Fera tampak sangat serasi saat melangkah bersama. Fera tak ragu menggandengkan tangannya ditangan Li.Tak kalah serasinya saat berpasangan dengan Tri.
Sepertinya Li tak bisa lagi menolak keagresifan wanita yang bernama Fera!

Pada saat makan malam yang ditemani temaramnya lampu dan lagu romantis, Li memberanikan dirinya menggenggam tangan Fera dengan lembut.

“Fera, sepertinya aku tak dapat lagi menutupi perasaanku, bahwa ada perasaan suka padamu!” Ada detak-detak getar jantung yang tak menentu dalam situasi itu di dada Li.

“Tapi… Bagaimana dengan keyakinan kita yang berbeda?” Kata Li sedikit ragu, menatap kepada Fera.

Fera menanggapi dengan tawa riang dan berujar, ”Koko Li, kalau soal itu jangan khawatir. Keluargaku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Kakakku saja menikah dengan orang Kristen dan tidak bermasalah selama ini hidup mereka. Nyatanya mereka bahagia dan saling menghargai!”

“Oh, begitu? Jadi tidak masalah dan aku tidak akan kecewa untuk kedua kalinya?!” Wajah Li tampak sumringah. Lagu romantis masih mengalun manis mengiringi suasana kemesraan Li dan Fera.

“Kalau begitu, maukah engkau menerima cintaku, Fera?”

Senyum Fera mengembang dan hatinya berbunga. Ia berdiri dihadapan Li dan berkata, ”Aku, Fera Noor Aini, hari ini, dengan senang hati dan suka rela menerima cintamu, Jet Li. Eh, maksudnya Charli!”

“Kamu ini, Fer, suasana romantis begini masih bercanda juga!” Li senyum-senyum tak kuasa menahan tawa.

Li ikut bangkit dan meraih tangan Fera, lalu mengecupnya dengan lembut.
Sungguh malam yang begitu indah bagi sepasang anak manusia ini. Walaupun di hati kecilnya Li, sesungguhnya masih ada bayangan wajah Tri dengan senyum manisnya yang menari-nari.

Namun Li juga tidak ingin hal itu akan menjadi penghalang baginya untuk membuka hati untuk wanita lain. Tri, bagaimanapun saat ini bukan kekasihnya lagi dan kisah cinta dengan Tri adalah masa lalu. Baginya Tri saat ini bagaikan adiknya sendiri.

**

Pagi ini, Ramli berdandan rapi sekali. Ada jadwal ia mengajar di kampus hingga jam tiga sore ini. Berbeda dengan hari sebelumnya, Berkali-kali Ramli mondar mandir di depan kaca di kamarnya. Selalu merasa ada yang kurang dengan penampilannya saat ini, celana bahan yang lembut dengan kemeja lengan panjang kotak-kotak berwara hitam berpadu merah bata. Lengannya dilipat sesikut, sungguh dia terlihat menawan.

Namun Ramli masih belum puas dengan penampilannya. Padahal semuanya sudah sangat sempurna. Mungkin karena sore ini ia ada janji akan bertemu Tri hingga ia berpikir harus tampil sebaik mungkin hari ini.

“O ya…parfum kelupaan!” Bisiknya. Cepat-cepat ia semprotkan parfum merk Bulgari paforitnya yang beraroma lembut itu. “Apa lagi ya?” Pikirnya. “Ok lah, sepertinya sudah lengkap semua!” Hari ini akan jadi hari yang indah untuknya dan Tri.

Ramli berangkat ke kampus dengan hati dipenuhi kebahagiaan, “Begini ya, rasanya jatuh cinta? Apalagi yang dicintai itu gadis manis sebaik Tri.!” Ramli terus membayangkan wajah Tri yang selalu tersenyum. “Ayu sekali !” Desisinya pelan, ia tersenyum sendiri. Kali ini ia benar-benar telah jatuh cinta pada Tri. Dan ini cinta yang dia inginkan, cinta terakhir dalam hidupnya.

Waktu di kampus terasa lama, ada 4 kelas yang harus diajarnya hari ini. Meski begitu, Ramli tetap menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh semangat. Hingga tampa sadar akhinya tugasnya selesai juga.

Dari kampus Ramli langsung menuju ke kampung Tri, lumayan jauh, dua jam perjalanan. Namun demi cinta jarak itu tidak akan menjadi soal. Ramli menikmati perjalanannya, dengan bersenandung kecil ia memutar setir. Wajah Tri terus menari di pelupuk matanya. Rasanya ingin cepat-cepat sampai dan bertemu pujaan hati.

Saat sampai di Rumah Tri, Ramli bahagia sekali karena Tri sudah menunggunya di teras. Sesaat Ramli tertegun, wajah Tri sore itu menyejukkan pandangannya. Celana jeans biru tua dengan blus lengan panjang warna abu-abu. Semakin anggun karena kali ini Tri memakai kerudung berwarna senada dengan bajunya, sunguh terlihat indah.

“Ayo silakan masuk Uda!” Sambut Tri dengan sangat ramah. Ramli tersentak, dan cepat membalas senyuman Tri. Sambil mengangguk pelan ia duduk di kursi rotan bergaya unik di teras itu.

“Sebentar ya, saya ambilkan minum.” Kembali Tri menawarkan. Ramli masih belum sanggup berkaa-karta hanya anggukan , tanda setuju dengan Tri. Ia masih sibuk menata pikirannya yang berkecamuk tidak menentu, debar-debar hatinya semakin keras terdengar. Seakan ia takut, degup jantungnya yang tiba-iba kencang itu didengar oleh Tri.

Sepertinya Tri sudah tidak canggung lagi dengan lelaki itu. Hingga dalam waktu sesaat saja mereka sudah terlibat percakapan akrab. Sikap supel Tri itu membuat Ramli akhinya lupa dengan suasana hatinya yang berantakan karena cinta.

Banyak hal yang mereka bicarakan, keduanya sudah sangat dewasa tidak perlu lagi berbasa basi soal perasaan. Hubungan ini memang sama-sama mereka inginkan hubungan yang akan mengikat mereka selamanya, sampai ke jenjang pernikahan. Karena latar belakang keluarga mungkin sudah sama-sama mereka tahu, karena dulunya mereka juga satu SMA.

Kini yang menjadi fokus pembicaraan mereka adalah bagaimana, keduanya saling bisa mengerti dan memahami karakter masing-masing. Agar bisa menerima satu dan yang lainnya dengan seadanya diri mereka, tidak ada lagi sekat. Tidak ada lagi rahasia jujur mengungkapkan kekurangan diri.

Karena untuk menikah, menerima kelebihan pasangan tentu sangatlah mudah, namun tidak begitu halnya dengan kekurangan diri Tak ada manusia yang sempurna, setiap orang pasti memiliki sisi kurang, inilah yang harus mereka sesuaikan, agar bisa saling melengkapi kekurang-kekurangan itu.

Berdua mereka saling bercengkrama, seperti sepasang kekasih yang sudah sangat lama menjalin cinta. Sampai tidak ada yang tahu, kalau sebenarnya Tri baru saja menjalin hubungan ini dengan Ramli.

Entah karena namanya hampir mirip dengan Li, mantan kekasih yang dulu sangat ia cintai, hingga dengan mudah Tri bisa mengalihkan perasaannnya pada lelaki dihadapannya ini.

**
Rizal yang masih diliputi rasa kesal karena tidak mendapatkan perhatian Tri, akhirnya memutuskan untuk menyusul Tri di kampungnya. Itulah caranya untuk mendapatkan kepastian tentang Tri. Mengapa selama ini ia selalu menghindar dan tidak mau menerima panggilan teleponnya.

Dengan keyakinan penuh Rizal terbang menyeberangi lautan dengan menggunakan burung besi. Langkah pasti diayunkan langsung menuju ke kampung Tri di Batusangkar. Rizal berjanji pada dirinya sendiri harus mendapatkan cinta Tri. Itu harga mati yang dipatoknya dalam hati.

Rasa optimis boleh saja, namun itu semua belum tentu cukup untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Sebab kenyataan yang harus dihadapi seringkali berbeda.

Tekad yang bulat dan keyakinan penuh Rizal untuk mendapatkan cinta Tri ternyata sungguh berbeda dengan realita yang ditemuinya. Sesuatu hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya terjadi di depan matanya kini.

Betapa terkejut dan kecewanya Rizal ketika jejak kakinya harus terhenti saat dengan mata kepalanya sendiri, dari kejauhan ia melihat Tri sedang bercanda dengan Ramli di depan beranda rumah.

“Sial! Bukankah lelaki itu adalah Ramli? Mau apa dia dengan Tri?!” Gerutu Rizal kesal setengah mati.

Dengan perasaan emosi yang tertahan ia mendekati pasangan yang sedang memadu kasih itu. Lalu dengan sinis berkata,”Wah, wah, pantas saja, telepon tidak dijawab, rupanya setiap hari asyik berkasih-kasihan ya?!”

Melihat kehadiran Rizal, tentu saja Tri terkejut, begitu juga Ramli yang merasa kaget melihat Rizal yang emosi.

Keduanya berdiri dan kaget dengan kedatanngan Rizal yang tiba-tiba itu. Hampir bersamaan mulut Tri dan Ramli berucap

“Rizal…!” [sebelumnya | selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA