Setelah berada di ketinggian tertinggi, kali ini tubuhku seperti dicampakkan bak kapas yang memburai dari dedaun pohonnya. Seperti diterjunkan begitu saja entah oleh siapa. Ringan, melayang, entah berapa lama aku berada dalam posisi seperti ini. Beberapa saat berikutnya, tubuhku melesat cepat dan tiba-tiba saja aku telah berada di sebuah lorong panjang yang dipenuhi Nur warna putih, lalu berubah menguning, jingga, kembali memutih dan… tiba-tiba berubah merah. Semerah darah.
Byur!
Tubuhku lesat ke dalam air. Aku terpekik bukan buatan saat mendapati air yang menciprat-ciprat ke wajahku ternyata tak sebening atau sekeruh air yang biasa menggenangi sungai-sungai. Air ini berwarna merah kental dan… bau anyir. Lekas kupencet kuat-kuat hidungku dengan ibu jari dan telunjukku, seraya mengeratkan dua bibirku rapat-rapat. Hei! Berada di manakah aku? Apakah aku berada di telaga neraka? Oh, bulu kudukku kontan meremang. Badanku ditelikung gigil bukan kepalang.
Hey! tapi, mengapa tak kurasakan hawa panas meriap-meriap sekujur badan? Bukankah deskripsi tentang neraka itu, sebagaimana kata para dosen agama sewaktu aku masih duduk di bangku kuliah dulu, sungguh teramat sangat mengerikan. Panas luar biasa, hingga tak ada sesiapa pun yang mampu membayangkannya sebetapa panasnya hawa neraka. Justru yang kurasakan saat ini adalah rasa gigil menyengat tulang tersebab air berwarna merah yang tengah merendam tubuhku—kecuali bagian leher hingga kepala—ini berasa dingin. Dingin sekali. Mungkin melebihi dinginnya es batu yang semalaman dikungkum di dalam lemari kulkas.
Tiba-tiba terasa ada yang menarik-narik kedua pundakku. Kupalingkan wajah, tapi tak kutemukan sesiapa.
Dan, tubuhku melayang lagi. Mengawang. Sejurus lalu sekujur tubuhku seperti dilesatkan hingga akhirnya kedua ketiakku menyantol di seutas tali warna hitam mengilat. Tipis sekali tali ini? Tapi, mampu untuk menahan sekujur tubuhku dengan berat 65 kilogram.
Hei! Jangan-jangan tali ini adalah… sirathal mustaqim? Tali yang berasal dari sehelai rambut dibelah tujuh. Tali jembatan yang membentang di atas neraka jahanam yang menghubungkannya ke pintu surga?
Lantas, dengan posisiku yang masih menggelantung seperti ini, lagi-lagi tubuhku seperti ditarik lekas hingga menghantam keras sebuah pintu besar menjulang tinggi dengan nyala kuning terang tapi tak menyilaukan. Anehnya, sekujur badanku tak berasa sakit sama sekali. Lekas kuberdiri menghadap pintu megah yang kutaksir tercipta dari berbongkah-bongkah emas murni berates-ratus karat. Indah dan gagah sekali. Mulutku sampai terlongo-longo seraya tak hentinya mendecak kagum.
Sontak aku teringat sesuatu. Hei! Jangan-jangan aku telah sampai di surga? Berarti, pintu megah di hadapanku ini adalah pintu surga? Kedua sudut bibirku sontak melengkungkan senyum. Tak sabar, lekas kumenggegas langkah seraya tanganku menjulur hendak meraih handel pintu megah bersinar kuning keemasan itu. Tapi, aku terperangah saat kedua kakiku tak bisa mengayun sama sekali. Tak bisa bergerak laksana batu. Seketika senyumku menyirna.
"Hei! Mau ke mana kau?"
Tiba-tiba, sebuah suara yang begitu keras mengagetkanku. Kepalaku celingukan. Tapi tak kutemukan muasal suara itu. Tak ada siapa-siapa.
"Tak perlu kau mencari-cariku hei anak manusia. Penglihatanmu itu terbatas!" suara itu menggema lagi.
"Ssi… siapa kau sse… sebenarnyaa?" gagap kumelontar tanya, sementara pandanganku mengedar ke sekililing yang tetap saja kosong.
"Aku adalah malaikat!"
Hah? Ma… malaikat? Aku tercekat luar biasa. Wajahku memucat dan tubuhku bergetar seperti tersengat aliran listrik.
"Kau saat ini berada di depan pintu surga!" terangnya sebelum kumenanya. Hebat! Sepertinya ia mendengar gumam batinku?
"Tapi, kau jangan senang dulu anak manusia! Kau tak diperkenankan masuk ke dalam surga," lanjutnya, kali ini dengan suara berat tapi lebih pelan dan tak sesangar barusan.
"Me… mengapa aku tak boleh mencicipi surga wahai Malaikat?" tanyaku penasaran sekaligus tak terima dengan vonisnya. Karena seingatku, sewaktu di dunia, aku tergolong rajin beribadah. Sesibuk apa pun, aku selalu luangkan waktu untuk menunaikan shalat lima waktu. Masanya orang-orang berzakat dan bersedekah, aku pun berzakat dan bersedekah. Masanya orang-orang puasa Ramadhan dan tadarus hingga terkantuk-kantuk, aku pun menjalaninya.
"Ya, ya, ya, aku tahu kalau kau orang yang tergolong ahli ibadah," katanya membuatku terperangah. Hei! Lagilagi dia menahu isi hatiku?
"Tapi, ada yang kau lupakan wahai manusia yang sok alim," lanjutnya kali ini dengan nada ketus.
"Apa itu wahai Malaikat?" Dahiku mengerut-ngerut.
"Selama ini kau telah menelantarkan istri dan anak-anakmu. Kau terlampau disibukkan oleh pekerjaanmu. Kau tak mau tahu bagaiman pergaulan anak-anakmu di luar sana. Kau tak acuh! Kau juga tak pedulikan anakmu menenggak alkohol, kau menutup mata saat anak perempuanmu bergaul bebas dan berzina dengan pacarnya, kau juga tak peka saat istrimu selalu dirajam dingin tiap kau tinggalkan selama berminggu-minggu hingga akhirnya istrimu mencari laki-laki lain dan diam-diam berselingkuh di belakangmu!"
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar ceracau panjang sang malaikat tak berwujud itu. Wajahku kian pasi seraya merunduk dalam. Semua vonis yang dituduhkan malaikat itu sungguh tak kupungkiri adanya. Benar! Benar sekali jika selama ini aku tak mengacuhkan keluarga, dan lebih menomorsatukan pekerjaan. Tapi, bukankah aku bekerja siang dan malam demi keluarga juga?
"Ya, ya, ya. Memang bekerja demi menafkahi anak istri itu suatu keniscayaan bagi seorang suami. Tapi, bukankah di sebalik itu ada nafkah batin yang selama ini telah kau alpakan? Kapan kau meluangkan waktu buat mendidik istri dan anak-anakmu?" cecar sang malaikat, kali ini dengan nada seperti orang yang tengah marah. Lagi-lagi tanpa kubersuara, malaikat itu telah menahu isi hatiku.
Mulutku berasa kaku. Tak bisa digerakkan sama sekali. Seperti ada yang menggemboknya. Aku tak bisa mengemukakan beragam dalih lagi sekadar membela diri, bahkan sekadar bertanya lagi pun aku tak mampu. Suasana mendadak tersungkup hening.
Tiba-tiba kudengar suara menggemuruh. Tubuhku seperti ditarik ke belakang. Kasar. Aku terpekik saat tubuhku dilesatkan tiba-tiba hingga aku terpeleset. Masih untung kedua tanganku bisa menjangkau tali hitam berkilat itu. Posisiku sekarang menggelantung di atas sungai yang kuyakini berisi lautan darah itu.
Aku terpekik bukan kepalang saat kedua bola mataku melirik ke bawah sana. Air berwarna merah bau anyir yang semula berasa dingin itu tiba-tiba mendidih dan mengeluarkan asap memutih. Sekujur tubuhku sekonyong-konyong mulai merasakan hawa panas yang ditimbulkan oleh asap itu. Dan jeritku pun tak tertahankan manakala seperti ada yang menginjak telapak tanganku yang tengah mencengkeram kuat-kuat tali hitam berkilat itu hingga tubuhku terpelanting, terperosok ke dalam lautan darah didih itu. Kulit tubuhku serasa dibeset (dikelupas) dan rasanya sakit luar biasa. Aku tak mampu lagi menjerit karena mulutku telah dipenuhi air serupa darah didih itu. Sejurus lalu, seperti ada yang menarik tubuhku. Lalu kurasakan tubuhku melesat tinggi. Mengawang. Setelah itu, aku dilempar ke sebuah lorong panjang sempit dan gelap. Tubuhku serasa terjepit, sakit bukan kepalang.
"Aww! Aduh!" aku mengaduh kesakitan.
"Ma, Papa udah sadar, Ma!"
Kudengar pekik suara seseorang yang teramat kukenali. Hei, bukankah itu suara Aurel, putriku yang baru semester dua di universitas ternama?
Kubuka kedua mata dan lekas kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kulihat tembok yang mengelilingiku semuanya berwarna putih. Tubuhku kini tengah terbaring lemas di atas ranjang yang juga berseprei polos warna putih. Perlahan kesadaranku berangsur mengutuh meskipun aku belum bisa menggerakkan sekujur tubuh.
Entah telah berapa lama aku tak sadarkan diri di rumah sakit ini. Kecelakaanlah yang menyebabkan aku berada di ranjang rumah sakit ini. Aku tak bisa mengendalikan setir saat tiba di persimpangan mendadak seorang pengemis nongol di depan mobilku.
"Papaa!" Lamunku mengabur saat kudengar suara Liliana, istriku, memanggilku seiring suara derap langkah-langkah kaki yang semakin mendekat. Dan aku tercekat luar biasa hingga kedua bola mataku serasa mencelat dari kelopak saat beberapa detik berikutnya aku telah dikelilingi oleh orang-orang berwajah menyeramkan.
Kulihat Aurel yang dulu berwajah putih mulus tanpa sebutir pun jerawat kini berwajah memucat dengan bola mata memerah. Dan yang membuatku terpekik adalah rambut kepalanya berubah menjadi ratusan ular yang menjuntai-juntai sementara kepalanya menjulur-julur ke arahku. Tak jauh beda dengan istriku, rambutnya pun dikelilingi ratusan ular tapi wajahnya dipenuhi benjolan merah bernanah.
Dan yang membuatku langsung menjerit tak tertahankan saat kulihat rupa Deva dan Devi, dua putra-putri kembarku yang baru lulus SMP yang posisinya keduanya berada persis di samping bahu dan lenganku. Kepala Deva dan Devi dipenuhi bulu-bulu lebat menghitam, sementara wajahnya moncong serupa anjing dengan lidah panjangnya yang terus terjulur memuncratkan liur hingga membasahi wajahku. (*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Chen Mei Ing - Jakarta