"Oh, tidaaaaak! Tidak mungkin! Lili engkau baik-baik saja, kan?" tanyanya kepada kain itu, dia dekap dan cium seolah-olah kain itu adalah Lili. Jiwa Baskara semakin tergoncang, hingga seperti orang tak waras yang bicara sendiri.
"Terlambat sudah. Semua sudah terlambat. Aku yang bego, Lili. Aku yang tak tahu diri, membiarkanmu dalam keadaan kacau seperti ini. Aku benar-benar tolol. Kekasih macam apa diriku ini, tak bisa melindungi kekasihnya."
Baskara segera merasakan kesia-siaan luar biasa. Dia pun segera keluar dari rumah itu sambil menggenggam sobekan baju Lili. Segera bergegas mencari siapa saja yang bisa dia tanya. Tapi keadaan begitu sepi dan mencekam. Tak ada orang yang bisa dia jumpai. Baskara tetap tak putus asa. Dia harus tahu ke mana Lili dan keluarganya pergi.
Tiba-tiba dia melihat sekelebat sosok pria di rumah tetangga Lili yang juga berantakan. Baskara segera memburunya, masuk ke rumah itu untuk menemuinya. Siapa tahu dia memiliki informasi. Tak ada rasa takut lagi. Dia masuk dari ruang ke ruang sambil memanggil orang itu dengan sopan. Tiba-tiba, sebuah pukulan keras melayang ke wajahnya. Blak! Baskara terjatuh. Orang yang dikejar Baskara tadi masih akan menghantamkan sebuah kayu ke kepalanya. Orang itu tampak panik dan ketakutan. Baskara segera mundur.
"Jangan pukul, saya orang baik-baik," cegah Baskara.
Orang itu masih belum percaya. Meski tak jadi memukul lagi, tapi dia siap-siap mengayunkan kayu di tangannya. "Percayalah, saya seorang wartawan, teman Lili. Rumahnya di sebelah itu. Saya ke sini ingin menemuinya, tapi sudah tak ada. Tolong, turunkan kayu itu, kita bicara baik-baik."
Orang itu mulai percaya dan menurunkan kayunya. "Apa yang sampeyan cari?" "Saya hanya ingin tanya, ke mana keluarga Lili. Anda kenal dia?"
Orang itu tiba-tiba menangis sesenggukan. "Ya, saya kenal Mbak Lili. Dia orang yang baik. Orang-orang jahat itu tadi tiba-tiba menyerbu daerah ini dan menghancurkan rumah-rumah," katanya.
"Apa yang terjadi dengan keluarga Lili?" tanya Baskara tak sabar. "Saya tak tahu, tapi mereka pasti bernasib sama dengan juragan saya. Orang-orang itu merusak rumah-rumah, bahkan melakukan pemerkosaan. Oh, kejam sekali." "Anda tahu ke mana keluarga Lili pergi?"
"Mereka bersama keluarga juragan saya. Tuan saya pamit mau mengungsi ke Singapura. Keluarga Mbak Lili juga mau ke sana. Mereka kini berkumpul di suatu tempat yang saya tak tahu di mana. Besok mereka akan berangkat ke Singapura." "Anda benar-benar tak tahu di mana mereka bekumpul?" "Tidak, saya tak bohong. Mereka buru-buru dan hanya pamit akan ke Singapura. Sudah begitu saja dan saya diminta menjaga rumah ini." "Bagaimana dengan Mbok Minah? Dia ikut keluarga Lili juga?" "Sepertinya begitu. Saya tak tahu persis."
Baskara makin panik, tapi cukup puas dengan informasi itu, meski belum tahu keberadaan Lili dan nasibnya. Yang pasti, besok dia dan keluarganya pasti di bandara. Pagi-pagi benar dia akan berada di sana untuk mencari Lili. Dia segera mengucapkan terima kasih kepada orang itu dan menawarkan perlindungan.
Tapi orang itu menolak, karena berjanji akan menjaga rumah tuannya. Baskara pun tak bisa berbuat apa-apa, kemudian segera memacu sepeda motornya dengan jiwa yang terus teraduk-aduk. Apalagi orang itu bilang ada pemerkosaan. Baskara masih berharap Lili bukan salah satu korbannya. Tapi, sobekan kain berdarah di tangannya membuat jiwanya semakin tergoncang.
Part.57
Baskara kembali ke kantor sebentar hanya untuk pamit dan minta cuti, karen kondisinya sudah lelah. Lelah badan dan jiwanya. Dia hanya ingin segera pulang ke rumah untuk mengabarkan semua kepada Zaliany dan orangtuanya, sekaligus berkeluh-kesah. Sekitar pukul 22.00 Baskara baru sampai di rumah, tetap menggunakan motor. Sebab, membawa mobil di Jakarta dalam keadaan seperti itu nyaris takmungkin.
Beberapa mahasiswa teman Zaliany tampak ada di teras. Setelah kerusuhan dua hari, sekitar 10 mahasiswa tidur di rumah Zaliany. Mereka rata-rata rumahnya di Bekasi, sekalian menemani Zaliany. Baru sampai halaman, ayah Baskara memburunya.
"Untung kamu tidak apa-apa," Pak Sungkono menyambutnya, tampak panik. Maklum, dua hari Baskara tidak pulang sementara Jakarta dalam keadaan kacau-balau.
"Secara fisik tak apa-apa, tapi jiwa saya terluka dan tercabik-cabik. Orang-orang biadab itu telah mengobarkan api dan membuat ibukota jadi neraka. Neraka yang apinya membakar jiwa raga setiap orang. Api yang membakar negeri yang panasnya mungkin akan terus terasa sampai bertahun-tahun lamanya. Bapak, saya juga terbakar dan entah kapan akan sembuhnya," Baskara tampak emosional dan marah. Dia terus mengomel, menumpahkan segala kepedihannya, sampai-sampai seperti bukan dirinya.
"Bapak juga merasakan panasnya, juga rakyat seluruh negeri ini. Apa yang dicari oleh para pembuat kerusuhan itu? Kalau ini politik, berarti politik biadab yang tak memikirkan nasib dan kepentingan banyak orang, kecuali kelompok atau golongan. Ibukota adalah barometer dan kunci segalanya. Jika pusat pemerintahan menjadi neraka seperti ini, tentunya dampaknya ke seantero negeri dan panasnya akan terus terasa cukup lama. Semua menjadi korban, semua terpukul dan terluka, Baskara," jawab Pak Sungkono.
Baskara pun semakin emosional, "Ada yang lukanya ringan, tapi banyak pula yang luka berat hingga sekarat, meninggal, ada pula yang tetap hidup tapi merasakan kematian. Kerusuhan ini telah menebar kematian dalam hidup banyak orang. Kejadian ini telah merampas hidup banyak orang dan menggantikannya dengan kematian. Bapak, saya tak tahu apakah saya sekarang juga sudah mati dalam hidup. Saya termasuk yang terluka berat. Luka itu ada di sini," jelas Baskara sambil menunjuk dadanya.
"Baskara, kamu tak boleh putus asa seperti itu. Aku tahu Bas, aku tahu. Aku juga prihatin, juga seluruh negeri pasti prihatin. Tapi sebaiknya kita juga berusaha tenang, agar bisa berpikir jernih," kata ayahnya mencoba menghibur putranya.
Dia melihat Baskara begitu tergoncang dan diliputi emosi. Tapi dia belum tahu persis apa yang dirasakan dan dialami anaknya. Yang dia tahu, Baskara sangat peduli terhadap negeri ini dan mudah emosional jika melihat segala sesuatu yang mencederai negeri ini.
"Saya, juga Bapak dan jutaan orang, merindukan negeri ini berubah lebih baik, tapi tak pernah membayangkan akan terjadi kehancuran seperti ini. Di telapak kaki ibukota kini sedang menyala-nyala api neraka. Jika tak segera diatasi, maka neraka itu akan menjalar ke seluruh tubuh. Neraka itu hanya akan padam jika ada perubahan pemerintahan.
Sebab zaman dan rakyat seluruh negeri menghendaki perubahan itu. Jika tak segera muncul angin baru, saya takut neraka itu akan semakin membesar. Bapak, panasnya neraka yang baru menyentuh telapak itu sudah membuat ubun-ubun mendidih dan rasanya akan terasa selamanya. Terus membakar hati dan jiwa, apalagi juga terus membesar. Bapak, saya salah satu orang yang meraskan panasnya itu. Saya ikut terbakar! Ubun-ubun dan jiwa ini sepertinya sudah mendidih."
Pak Sungkono segera tahu, pasti ada peristiwa yang membuat anaknya sedang tergoncang berat. Dia rangkul putra kesayangannya itu dan berusaha menghiburnya, "Bas, kamu anak Bapak yang tegar dan gagah. Mari, masuk rumah dulu dan duduk atau minum. Tenangkan hatimu, setelah itu kau boleh cerita lagi."
Baskara tak sanggup meneruskan kata-katanya, karena memang sudah kehabisan. Pelukan ayahnya membuatnya merasa sedikit terhibur dan memberi sedikit tenaga.
Part.58
Dia pun menuruti ayahnya dan masuk rumah. Di sofa ruang tamu, Zaliany tampak sedih dan bermuram durja. Mata merahnya menandakan dia baru saja menangis. Sementara ibunya terus mengelus rambutnya sambil menghiburnya. Beberapa mahasiswa temannya juga mengelilingi sambil sesekalii mengucapkan kata=kata menghibur. Baskara pun jadi penasaran dan segera mendatanginya. Zaliany segera memeluk Baskara. Ibunya mengikutinya, merasa lega Baskara dalam keadaan selamat. Tapi, Baskara merasa ada yang lain dari pelukan Zaliany. Ada getaran hebat yang seolah ingin dia tumpahkan.
"Ada apa, Zaliany?" tanya Baskara penasaran. "Awan hilang!" Zaliany menangis lagi. Baskara pun mencoba tegar dan menghibur adiknya. Dia dudukan Zaliany. Baskara mulai bertanya, "Hilang bagaimana?" "Dia memimpin kita mengikuti aksi di Universitas Trisakti, sehari setelah empat mahasiswa perguruan tinggi itu tertembak mati. Tiba-tiba rusuh di mana-mana. Kami pun memutuskan pulang. Kami harus menarik diri, karena takut dikambinghitamkan atas kerusuhan itu, sekaligus membicarakan bagaimana sikap kita selanjutnya. Kali ini kami berkumpul di kampus. Karena sudah malam, beberapa mahasiswa pulang dulu. Awan juga mengantarku pulang. Di jalan, kami sempat curiga ada Jeep yang mengikuti. Awan menurunkan aku di depan rumah, kemudian buru-buru pamitan untuk segera berkumpul dengan rekan yang lain. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Tadi pagi teman-teman sempat mencari, tapi hanya menemukan sepeda motornya di pinggir jalan sekitar 500 meter dari rumah kita. Kami menyimpulkan dia diculik," tutur Zaliany, mengulang cerita yang sudah dia sampaikan kepada orangtuanya.
"Oh, sialan. Kamu sudah hubungi dia ke rumahnya?" tanya Baskara yang emosinya memuncak kembali. "Sudah, orangtua Awan juga sedang mencarinya. Semua teman Awan tak ada yang tahu. Dia tak mungkin ke mana-mana kalau tidak ada sesuatu. Apalagi dia sudah menyiapkan sederet rencana." Semua diam. Pak Sungkono dan istrinya mencoba menghibur kedua anaknya dan mengalihkan pembicaraan. Bu Sungkono menawarkan minuman, tapi Baskara tak bisa menahan diri untuk segera menumpahkan kisahnya.
"Kenapa orang-orang yang kita cintai harus mengalami nasib seperti ini?" gugat Baskara. Zaliany pun langsung menangkap pesannya. Seperti tak sabar dia menanyakan kabar Lili, "Bagaimana dengan Lili?" "Kasihan Lili, kasihan. Para bajingan itu merusak rumahnya. Aku tak tahu persis apa yang dilakukan berandalan itu, tapi tampaknya parah. Oh, tidak!" teriak Baskara begitu histeris, hingga membuat rumah itu menjadi begitu menyeramkan. "Oh, ya ampun. Bagaimana keadaan Lili sekarang?" tanya Bu Sungkono tiba-tiba menjadi emosional juga. "Saya tidak tahu. Tapi sepertinya parah. Dia dan keluarganya berkumpul di suatu tempat yang belum saya ketahui. Katanya, besok mereka akan mengungsi ke Singapura." "Kalau begitu, besok kita ke bandara untuk menemuinya dan memberikan semangat," kata Zaliany. "Itu yang sudah aku rencanakan," jawab Baskara.
Orangtua mereka sempat melarang, karena tahu Baskara dan Zaliany tampak dalam keadaan terpukul. Tapi Baskara meyakinkan mereka, "Bapak, Ibu, Baskara memang terpukul, tapi masih bisa menjaga diri." "Zaliany juga. Lagi pula, kami bisa mengajak beberapa teman mahasiswa yang tidur di tempat kita," sambut Zaliany.
Kakak-beradik ini tak ingin menyia-siakan kesempatan bertemu Lili. Orang yang sangat mereka sayangi. Orangtua mereka pun bisa memaklumi, bahkan akhirnya mendukung. [Sebelumnya | Selanjutnya]
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Chen Mei Ing - Jakarta