Lebih dulu Walikota dan istri membakar dan memegang tiga lidi 'Hio-swa'. Melakukan 'pai' (hormat) tiga kali di depan Kong-co HTCS, yang telah ditempatkan di joli (tandu), sebelum keluar klenteng, memimpin kirab diikuti tujuh Kong-co dari tujuh klenteng, keliling "daerah Pecinan", Gang Pinggir sekitarnya sepanjang 10 Km.
Walikota pada sambutan singkat dihadapan ribuan warga Tionghoa yang menyaksikan ritual itu menyatakan terima kasih. Sebab masyarakat Tionghoa bisa memelihara suasana kondusif dan harmonis di lingkungannya. Dan telah menyumbangkan tenaga serta pikiran, ikut memajukan roda perekonomian di kota Semarang.
Warga Tionghoa saling berebut, berusaha dapat memikul dan menggoyang tandu Kong-co HTCS sepanjang kirab berlangsung. Sebab orang Tionghoa meyakini, barang siapa dapat ikut memikul joli itu, maka hidupnya akan dilimpahi berkah berupa panjang umur, sehat lahir bathin dan kaya raya dilimpahi rezeki.
Jut-bio Klenteng HTCS Semarang ini, berbeda dengan Jut-bio yang selama ini pernah diselenggarakan klenteng-klenteng lain. Sebab mengikut-sertakan sepasang gajah dewasa, 'Deo' dan 'Shinta'. Sebelum dua gajah ini berangkat, keningnya ditempeli kertas 'Hu' (ajimat) silang. Dengan maksud, agar tak diganggu roh jahat dan lebih jinak serta tertib mengikuti kirab. [Jeni Wang, Semarang]