Suatu kali, Tina dan teman-temannya yang semua laki-laki terkena razia pelajar yang membolos sekolah. Ketika berada di kantor polisi, semua siswa tidak ada yang berani berbicara, kecuali Tina, yang dengan berani memukul meja dan berteriak "Mau duit tidak ada, mau nyawa cuma ada satu!" Sejak itu namanya jadi semakin terkenal.
Semasa saya masih di SMP, pelajaran saya tergolong bagus, selalu berada dalam lima besar, tetapi saya suka bergaul dan bermain dengan siswa yang kurang, selain itu di dalam kelas saya suka berbicara. Maka itu, saya tergolong satu-satunya siswa perempuan yang nilai pelajarannya bagus dan tidak dipanggil oleh guru untuk diberi peringatan. Saya juga tidak antipati terhadap Tina, serta tidak merasa bahwa dia sangat nakal. Bukankah dia juga sama dengan saya sering mendapat teguran karena berbicara dalam kelas dan terlambat datang ke sekolah?
Ketika duduk di kelas 9, karena pelajaran saya cukup bagus, saya terpilih wakil ketua kelas. Ini adalah "jabatan" tertinggi yang pernah saya sandang, yaitu bertanggung jawab mengumpulkan pekerjaan rumah seluruh kelas untuk diserahkan kepada guru, dan bertanggung jawab pula mengembalikan pekerjaan itu kepada teman-teman sekelas.
Suatu hari, guru mata pelajaran kimia ada urusan mendadak dan meninggalkan kelas, guru menyuruh saya menuliskan beberapa pertanyaan kimia di papan tulis untuk dikerjakan teman-teman sekelas. Selesai menulis saya duduk di bangku guru, anggap saja saya bertanggung jawab untuk sementara. Dalam hati saya merasa agak canggung, karena saya bukan sebagai seorang pengurus kelas. Umumnya, ketua kelas sendiri yang memimpin, dan dia pasti duduk di depan. Beruntung saat itu dalam kelas sangat hening, semua orang lagi sibuk mengerjakan soal, lagipula waktu UTS juga hampir tiba, semua orang sibuk mempersiapkan ujian. Maka itu tidak ada orang yang memedulikannya.
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar jendela. Ada beberapa siswa yang berjalan lewat jendela samping kelas kami, diantaranya ada Tina. Karena kelas kami berada di lantai satu, dan di depan kelas terdapat lapangan kecil, semua siswa saat pulang sekolah atau beristirahat pasti akan melewati kelas kami. Letak jendela kelas juga sangat rendah, menengok dari luar jendela akan terlihat semua keadaan dalam kelas.
Melihat kelas kami tidak ada guru, Tina langsung bersemangat, dia duduk di luar jendela dan berteriak lantang: "Hai! Kalian sedang ngapain?" Keadaan dalam kelas memang hening, lagipula jendela kelas sedang terbuka lebar, karena itu suara Tina terdengar keras sekali. Dengan lantang Tina memanggil beberapa nama yang dia kenal, serta berbicara dengan suara keras. Lewat beberapa saat, ada teman yang merasa terusik dengan kegaduhan itu, dan di dalam kelas mulai ada sedikit kekacauan. Ada teman yang mengeluarkan isyarat suara untuk diam.
Tina tahu di dalam kelas ada orang yang tidak suka, dia malah sengaja tertawa terbahak-bahak, dan mengeluarkan kata-kata yang sinis. Seakan sedang mengatakan, "Mau duit tidak ada, mau nyawa hanya satu." Seluruh kelas terdiam, tidak ada seorang pun yang berani melayani dia.
Mendadak saya tersadar akan tanggung jawab sendiri, dan memberanikan diri berjalan menuju jendela tempat Tina duduk. Sebenarnya saya sendiri juga pernah beberapa kali dihukum berdiri oleh guru, di rumah juga sering dimarahi ayah dan ibu, maka itu saya sangat paham dengan perasaan Tina. Dia hanya sengaja berbuat sedikit keonaran saja, hanya ingin menunjukkan perbedaan dengan orang lain, tidak berniat jahat apa-apa. Sebenarnya dia itu sangat tertekan.
Dengan senyum tulus, saya menghampirinya. Melihat senyum saya dengan penuh keramahan, Tina segera berhenti berbicara, dengan wajah tersipu dia membalas tersenyum kepada saya. Saya berkata lembut kepadanya: "Sobat, kami sedang mengerjakan soal-soal dari guru, bisakah untuk tenang sejenak? Sebentar lagi kita sudah bisa bermain lagi kok, terima kasih ya!"
Ucapan terimah kasih saya ini membuat wajahnya semakin memerah karena malu, sepasang mata jernihnya berkedip-kedip dan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda menyetujui. Lalu dia berkata, "Ok." Lantas membalikkan badan dan berlari pergi. Prosesnya sangat sederhana hingga saya pun juga tidak menyangka. Karena sejak awal, gaya dia seperti mau bertengkar dengan siapa pun.
Saya kira, ini pertama kali saya menyadari kekuatan dari kebaikan. Namun di kemudian hari, di dalam urusan duniawi yang penuh dengan intrik saya telah berubah menjadi lebih mementingkan nama dan keuntungan, semakin lama semakin mementingkan kekuasaan. Di dalam persaingan, niat kebaikan saya semakin lama semakin kecil, kerisauan hati semakin bertambah banyak, sudah tidak mengetahui lagi makna sebenarnya dari pengalaman kehidupan ini.
Lebih-lebih setelah bekerja, saya mengejar kenikmatan materi, menuntut rangsangan rohani, meronta-ronta dalam pusaran keegoisan diri sendiri, kerisauan hati tak kunjung berhenti, merasakan kehampaan diri tiada tara, setiap hari tak henti-hentinya menjerit akan kesumpekan hati.
Hingga akhirnya saya mendapatkan pencerahan dari seorang bijak, sekali lagi memungut dan mengumpulkan ketulusan, kebaikan, dan kemurahan hati (toleran), memulai dengan kehidupan baru, pada akhirnya saya baru menyadari betapa berharga kebaikan itu.
Kebaikan itu membuat orang menjadi cantik, kebaikan itu membuat orang menjadi agung, kebaikan itu membuat orang menjadi tenang dan berakal budi. Kebaikan itu benar-benar adalah sumber jernih, bisa membersihkan segala kotoran, mencuci bersih segala nafsu kejahatan.
Dari dulu kejahatan tidak bisa menekan kebenaran, kebaikan itu akan mengembalikan segala sesuatu ke titik awal yang indah dari suatu hal. Kebaikan itu adalah sumber jernih yang tidak akan kering untuk selamanya. [Li Qi / Surabaya / Tionghoanews]