Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Jika sudah begitu sasaran kemarahanku pastilah Asti (bukan nama sebenarnya) istri yang sudah kunikahi selama beberapa tahun.
Tapi harus kuakui, Asti memiliki kesabaran yang luar biasa saat menghadapi emosiku yang meledak-ledak, walau seringkali diakhiri dengan lelehan air mata dan isak tangis tertahan dari mulutnya.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ketenangan di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah,
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. Belum selesai aku marah, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang begitu pilu.
Suatu saat, istri tercintaku ini memintaku untuk mengantarkannya pergi kesebuah acara, tetapi aku menolaknya karena ada rapat penting di kantor. Sebenarnya aku tak tega membiarkan ia pergi dengan naik bis umum, karena ia sedang hamil. Tapi apa boleh buat, rapat dikantor rasanya lebih penting dari pada mengantarkan istriku.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku menghadiri acara. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Perempuan, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku.
Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku sayang," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ibu-ibu berjalan melintas sambil menggendong bocah. Pakaian mereka begitu indah dan cerah.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penatianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaju hitam melintas. "Ini dia istriku tersayang!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami kejam!!! "Buuu...!" panggilku, Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidak percayaan atas kehadiranku di tempat ini.
Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Ayah...!" bisiknya pelan namun bahagia. Sungguh, aku baru melihat isteriku sebahagia ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali me-ngembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, sayangku , lagi—lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri baik sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]
Tapi harus kuakui, Asti memiliki kesabaran yang luar biasa saat menghadapi emosiku yang meledak-ledak, walau seringkali diakhiri dengan lelehan air mata dan isak tangis tertahan dari mulutnya.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ketenangan di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah,
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. Belum selesai aku marah, sudah terdengar ledakan tangis istriku yang begitu pilu.
Suatu saat, istri tercintaku ini memintaku untuk mengantarkannya pergi kesebuah acara, tetapi aku menolaknya karena ada rapat penting di kantor. Sebenarnya aku tak tega membiarkan ia pergi dengan naik bis umum, karena ia sedang hamil. Tapi apa boleh buat, rapat dikantor rasanya lebih penting dari pada mengantarkan istriku.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku menghadiri acara. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Perempuan, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku.
Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku sayang," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ibu-ibu berjalan melintas sambil menggendong bocah. Pakaian mereka begitu indah dan cerah.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penatianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaju hitam melintas. "Ini dia istriku tersayang!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami kejam!!! "Buuu...!" panggilku, Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidak percayaan atas kehadiranku di tempat ini.
Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Ayah...!" bisiknya pelan namun bahagia. Sungguh, aku baru melihat isteriku sebahagia ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali me-ngembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, sayangku , lagi—lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri baik sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]