Sore itu, Kakek merampungkan pekerjaannya membuat lemari kayu yang esok akan dikirim ke panti asuhan di Kalimantan yang terkena banjir, bersama dengan berbagai perkakas seperti ranjang, kursi roda, obat-obatan, selimut sebagai sumbangan dari warga lingkungan kami. Namun sehari kemudian ia panik kehilangan kacamata. Selidik punya selidik, ia baru ingat menaruh kacamata tersebut di dalam lemari yang sudah disumbangkan tersebut. "Duh, Gusti. Saya 'kan sudah menghabiskan tenaga dan uang menolong sesama. Kenapa malah jadi begini?" gerutu Kakek, seolah menyalahkan Tuhan.
Selang dua bulan kemudian, pengasuh panti asuhan korban banjir tersebut, bertandang ke lingkungan kami untuk menyatakan terima kasih atas bantuan yang diterimanya. "Secara khusus saya berterima kasih atas kiriman kacamata. Maklum, banjir bandang itu memporakporandakan rumah dan seisinya termasuk kacamata saya. Sejak kehilangan kacamata, saya didera sakit kepala berkepanjangan. Kami sekeluarga terus berdoa agar diberi rejeki untuk membeli barang itu kembali. Eh, kebetulan ada yang mengirimkan. Sungguh! Begitu saya pakai, pas dan cocok benar. Sepertinya ini khusus dibikin untuk saya. Terima kasih Tuhan. Doa kami terjawab," ujarnya terbata-bata.
Tentu saja teman-teman bingung, lantaran tidak ada yang menyumbangkan kacamata. Namun Kakek yang duduk di pojok tak kuasa menahan isak. Terbersit penyesalan, mengapa dulu menyalahkan Tuhan. "Mungkin ketika Tuhan mengunjungiku minta kacamata itu, aku tidak berada di rumah," kata Kakek dalam hati. Namun ia bersyukur, Tuhan memakainya untuk membahagiakan orang lain dengan cara tak terduga indah. [Sunny Lin / Pekanbaru]