Suatu hari, Bambang meminta Tarjo menemaninya membeli celana. Karena tak ada penjual jasa menjahit pakaian, mereka terpaksa pergi ke toko walau tahu kemungkinan mendapat celana seukurannya tidak gampang.
Ketika sampai di toko pertama, Bambang bertanya kepada penjual di toko, "Apa di toko ini ada celana untuk ukuran saya ?" Sambil menepuk-nepuk pahanya, ia menunjukkan kalau ukuran celananya yang luar biasa besar. Ia yakin tanpa melihat nomor celana pun si penjual pasti tahu ukuran celananya.
"Coba yang ini," tawar si penjual. Bambang pun mencobanya di ruang ganti dengan ditemani Tarjo.
"Tak muat kawan. Tak enak dilihat," kata Tarjo sambil melihat sang kawan. Bambang kemudian meminta celana yang lebih besar kepada penjual.
"Maaf, itu sudah ukuran paling besar." Si penjual tak menemukan lagi ukuran celana lebih besar dari celana tadi walau sudah mengubek-ubek seisi toko. Bambang kecewa. Ia lalu pergi ke toko berikutnya.
"Tak ada lagi yang lebih besar, Mas," jawab si penjual kedua. Hhhh... Bambang menghela napas lagi. Mereka pun pergi ke penjual ketiga, keempat, kelima, sampai seluruh toko pakaian di seluruh kota mereka datangi. Tapi jawabannya sama.
Bambang dan Tarjo berjalan lemas, hendak pulang menuju rumah. "Kenapa mereka tak menjual juga celana dengan ukuran raksasa ? Hah ! Apa mereka pikir dunia hanya dipenuhi orang-orang ramping ? Sial ! Aku pikir hidup ini tak adil." Bambang mengumpat sepanjang jalan. Sedari tadi Tarjo hanya diam.
"Kau ada saran bagus untukku, Jo ?" tanya Bambang pada Tarjo.
"Sebenarnya aku ingin menawarkan sesuatu padamu," Tarjo menjawab pertanyaan Bambang. Ia mengajaknya duduk sejenak.
"Jika mau, kau boleh saja mengambil sebagian bahan celanaku. Gunting saja bagian kaki kanannya, toh aku tak memerlukan itu. Kau tahu kakiku cuma satu kan ? Ambil itu, lalu tambahkan ke celana kau yang sekarang agar sedikit lebih besar," lanjut Tarjo.
Bambang tak menjawab. Ia teringat sahabatnya itu hanya punya kaki kiri.
"Apa kau pernah merasa hidup ini tak adil, Jo ? Misalnya soal pakaian ? " Bambang bertanya lagi.
Tarjo diam sejenak. "Ya, dulu. Kenapa mereka tak menjual juga celana dengan satu kaki ? Apa mereka pikir dunia hanya dipenuhi orang-orang berkaki dua ? Tapi, siapa pula aku yang memaksa pemilik pabrik tekstil membuat celana berkaki satu ? Kupikir ada hal-hal yang tak bisa kita paksakan berubah.
"Sebaliknya, ada pula hal-hal yang bisa diubah, yaitu kita. Daripada merutuki panas terik, bukankah berteduh atau mengembangkan payung diatas kepala itu lebih baik?" [Merry Huang / Menado]