Senang rasanya bisa kuliah di kota favoritku. Jogjakarta adalah kota impianku sejak SMP dimana dulu aku pernah punya cita-cita untuk bisa berkuliah di salah satu universitas terkenal di Jogja.
Mimpi bukan lagi sekedar mimpi. Akhirnya aku berhasil menginjakan kakikku di kota pelajar yang ramah ini. Alhamdulillah aku masuk di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja.
Hati pun tak kecewa setelah tahu ternyata aku gagal masuk di perguruan tinggi yang paling terkenal di Jogja karena aku bisa kuliah di universitas negeri yang tak kalah bagus kualitasnya dengan universitas super terkenal dan nomor satu se-Asia Tenggara itu.
Hidup di jogja sungguh menyenangkan karena tak hanya bisa belajar banyak hal, tetapi juga karena mempunyai teman-teman yang ramai dan menyenangkan.
Teman kampus, teman nongkrong, maupun teman-teman kos semuanya menyenangkan. Sebut saja Gendis, salah satu teman nongkrongku yang paling dekat dengan aku.
Sekilas memang dia nampak sedikit cuek dengan penampilan. Mungkin bisa dikatakan sebagai cewek yang sedikit berani dalam hal berbusana dan bergaul.
Pertama kali kenal dengan Gendis ketika aku nongkrong di salah satu angkringan besar di Jogja. Dia adalah teman dekat temanku, Anna.
Meskipun sedikit minim dalam hal berpakaian, Gendis termasuk teman nongkrong yang asik. Dia adalah gadis yang supel.
Mungkin karena aku sering nongkrong dengan dia, aku dan dia cukup dekat dalam hal pertemanan. Sedikit demi sedikit dia mulai terbuka denganku.
Seringkali dia curhat masalah pribadinya seperti masalah keluarga dan pacar. Dia mengaku dia sungguh nyaman curhat denganku. Dan menurut dia aku adalah tipe perempuan yang sederhana, besahaja, dan pandai memberikan solusi untuknya.
Satu hal yang aku kurang suka dari Gendis adalah keterbukaannya dia tentang hubungan asmaranya dengan ketiga pacarnya. Kebetulan aku kenal betul dengan salah satu pacarnya.
Geo adalah namanya. Dia salah satu teman kampusku tapi lain fakultas. Menurut kacamata pribadiku, dia cukup baik dan pendiam.
Sifat pendiamnya lah yang membuatku heran mengapa Gendis begitu suka dengan cowok pendiam seperti Geo. Geo adalah bukan tipe cowok idaman Gendis.
Aku pun melonjak kaget ketika Gendis mengaku bahwa dia mendekati Geo hanya karena suka dimanjakan oleh Geo secara material.
Tak kusangka ternyata Gendis mempunyai sifat sedikit materialistis. Tiga bulan Gendis tak seperti biasanya tak mengunjungi kosku. Aku sedikit khawatir karena Gendis tak bisa dihubungi lagi baik melalui telepon ataupun melalui Facebook.
Aku pun mencoba menjenguk dia di kontrakannya. Kujumpai dia diam merenung di sudut kamarnya. Wajahnya yang pucat dan matanya yang mencekung karena terlalu banyak menangis.
Aku pun tak sengaja menemukan sebuah testpack kehamilan yang tergelatak begitu saja di antara tumpukan barang-barang. Tanpa ditanya dia pun bercerita sendiri bahwa dia telah mengecewakan kedua orang tua.
Dia mengaku bahwa dia sedang hamil sekitar tiga bulan. Dia pun tak tahu siapa bapak dari anak yang tengah dikandungnya.
Dia bingung kepada siapa dia harus meminta pertanggung jawaban atas anak yang sedang di kandungnya. Kini dia hanya bisa menyesal dan menyesal.
Beberapa hari setelah kujenguk dia di kontrakannya, tiba-tiba saja aku dapat kabar bahwa dia sedang kritis di rumah sakit swasta di Jogja.
Menurut penjelasan dokter, Gendis dalam keadaan kritis karena dengan sengaja dia meminum obat melebihi dosis. Segala doa kupanjatkan untuk keselamatan Gendis dan Tuhan mendengar doaku.
Tak lama kemudian Gendis pun melewati masa kritisnya, Betapa terharunya aku ketika Gendis meminta maaf atas segala dosa yang sudah dibuatnya.
Gendis pun ikut terharu setelah tahu bahwa kedua orang tuanya ikhlas memaafkan kesalahan Gendis.
Gendis berjanji akan terus kuliah dan menjaga anak yang sedang dikandungnya. Kelak dia akan merawat anak yang sedang dikandungnya dengan penuh kasih sayang.
Dia berharap anaknya tidak akan pernah berbuat kesalahan seperti ibunya di masa lalunya yang suram. [Vivi Tan / Jakarta]
Mimpi bukan lagi sekedar mimpi. Akhirnya aku berhasil menginjakan kakikku di kota pelajar yang ramah ini. Alhamdulillah aku masuk di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja.
Hati pun tak kecewa setelah tahu ternyata aku gagal masuk di perguruan tinggi yang paling terkenal di Jogja karena aku bisa kuliah di universitas negeri yang tak kalah bagus kualitasnya dengan universitas super terkenal dan nomor satu se-Asia Tenggara itu.
Hidup di jogja sungguh menyenangkan karena tak hanya bisa belajar banyak hal, tetapi juga karena mempunyai teman-teman yang ramai dan menyenangkan.
Teman kampus, teman nongkrong, maupun teman-teman kos semuanya menyenangkan. Sebut saja Gendis, salah satu teman nongkrongku yang paling dekat dengan aku.
Sekilas memang dia nampak sedikit cuek dengan penampilan. Mungkin bisa dikatakan sebagai cewek yang sedikit berani dalam hal berbusana dan bergaul.
Pertama kali kenal dengan Gendis ketika aku nongkrong di salah satu angkringan besar di Jogja. Dia adalah teman dekat temanku, Anna.
Meskipun sedikit minim dalam hal berpakaian, Gendis termasuk teman nongkrong yang asik. Dia adalah gadis yang supel.
Mungkin karena aku sering nongkrong dengan dia, aku dan dia cukup dekat dalam hal pertemanan. Sedikit demi sedikit dia mulai terbuka denganku.
Seringkali dia curhat masalah pribadinya seperti masalah keluarga dan pacar. Dia mengaku dia sungguh nyaman curhat denganku. Dan menurut dia aku adalah tipe perempuan yang sederhana, besahaja, dan pandai memberikan solusi untuknya.
Satu hal yang aku kurang suka dari Gendis adalah keterbukaannya dia tentang hubungan asmaranya dengan ketiga pacarnya. Kebetulan aku kenal betul dengan salah satu pacarnya.
Geo adalah namanya. Dia salah satu teman kampusku tapi lain fakultas. Menurut kacamata pribadiku, dia cukup baik dan pendiam.
Sifat pendiamnya lah yang membuatku heran mengapa Gendis begitu suka dengan cowok pendiam seperti Geo. Geo adalah bukan tipe cowok idaman Gendis.
Aku pun melonjak kaget ketika Gendis mengaku bahwa dia mendekati Geo hanya karena suka dimanjakan oleh Geo secara material.
Tak kusangka ternyata Gendis mempunyai sifat sedikit materialistis. Tiga bulan Gendis tak seperti biasanya tak mengunjungi kosku. Aku sedikit khawatir karena Gendis tak bisa dihubungi lagi baik melalui telepon ataupun melalui Facebook.
Aku pun mencoba menjenguk dia di kontrakannya. Kujumpai dia diam merenung di sudut kamarnya. Wajahnya yang pucat dan matanya yang mencekung karena terlalu banyak menangis.
Aku pun tak sengaja menemukan sebuah testpack kehamilan yang tergelatak begitu saja di antara tumpukan barang-barang. Tanpa ditanya dia pun bercerita sendiri bahwa dia telah mengecewakan kedua orang tua.
Dia mengaku bahwa dia sedang hamil sekitar tiga bulan. Dia pun tak tahu siapa bapak dari anak yang tengah dikandungnya.
Dia bingung kepada siapa dia harus meminta pertanggung jawaban atas anak yang sedang di kandungnya. Kini dia hanya bisa menyesal dan menyesal.
Beberapa hari setelah kujenguk dia di kontrakannya, tiba-tiba saja aku dapat kabar bahwa dia sedang kritis di rumah sakit swasta di Jogja.
Menurut penjelasan dokter, Gendis dalam keadaan kritis karena dengan sengaja dia meminum obat melebihi dosis. Segala doa kupanjatkan untuk keselamatan Gendis dan Tuhan mendengar doaku.
Tak lama kemudian Gendis pun melewati masa kritisnya, Betapa terharunya aku ketika Gendis meminta maaf atas segala dosa yang sudah dibuatnya.
Gendis pun ikut terharu setelah tahu bahwa kedua orang tuanya ikhlas memaafkan kesalahan Gendis.
Gendis berjanji akan terus kuliah dan menjaga anak yang sedang dikandungnya. Kelak dia akan merawat anak yang sedang dikandungnya dengan penuh kasih sayang.
Dia berharap anaknya tidak akan pernah berbuat kesalahan seperti ibunya di masa lalunya yang suram. [Vivi Tan / Jakarta]