Sudah dua tahun aku menikah dan dikaruniai satu putra. Tapi keadaan rumah tangga kami tidak berubah, suamiku masih tetap kekanak kanakan. Rumah tanggaku tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Setiap hari aku dan suamiku, sebut saja Doni, selalu bertengkar dan aku kerap dituduh sebagai biang masalah.
Aku menikah dengan Doni saat berusia 21 tahun. Aku mengenal Doni dari temanku. Empat tahun lalu kami baru saling kenal. Saat itu kami senasib, sama-sama patah hati ditinggal pacar.
Teman-temanku selalu mencoba menjodohkan aku dan Doni. Tapi aku tidak bisa semudah itu jatuh cinta. Sejak perkenalan itu, aku dan Doni sering bertemu. Doni selalu mengantar kemanapun aku pergi. Hingga makin lama hubungan kami makin dekat. Padahal kala itu aku tidak punya niat untuk menjadikan Doni sebagai kekasih apalagi suami.
Suatu hari Doni mengajakku nonton sebuah konser. Sebelum turun dari mobilnya, Doni sempat bicara, "Hari ini kita jadian ya?" Sembari memegang tanganku, Doni melanjutkan, "Aku mau kamu jadi pacarku, kamu mau kan?" Aku bingung, aku takut kembali tersakiti, aku terlanjur benci dengan yang namanya lelaki.
Tapi aku bertekad harus mencobanya. Aku sempat diam dan berfikir, namun akhirnya aku memutuskan menerima cintanya. Betapa bahagianya Doni, ia langsung mencium keningku dan aku hanya bisa diam. Awalnya hubungan kami berjalan lancar, namun saat menginjak setahun, hubungan tersebut mulai tidak sehat. Semua berawal saat aku bertandang ke rumah Doni.
Kebetulan saat itu keadaan rumah memang sedang sepi, karena suasana yang demikian Doni mulai berani bersikap tidak senonoh. Awalnya aku berusaha menolak dan menghindar. Entah karena rayuan atau sentuhan tangan Doni di bagian tubuhku, membuatku akhirnya terlena. Perbuatan yang seharusnya tidak kami lakukanpun terjadi.
Setelah kejadian itu aku tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyesalinya sepertinya juga tidak mungkin, tapi yang jelas perbuatan itu ternyata tidak cukup hanya sekali. Hampir di setiap kesempatan kami melakukan perbuatan itu. Kami tak memikirkan lagi soal dosa, yang ada dalam pikiran kami hanya kenikmatan belaka.
Hingga suatu hari aku telat haid dan ini mencemaskanku. Terbukti kemudian bahwa aku hamil. Aku langsung menemui Doni dan mengatakan kalau aku positif hamil, untungnya Doni mau bertanggung jawab.
Doni meminta orangtuanya untuk melamarku dan menikahlah kami dengan sebuah pesta yang sederhana. Keluarga kami memang tak mengetahui, bahwa saat pernikahan berlangsung, aku sedang mengandung dua bulan. Setelah menikah, Doni bekerja di luar kota. Doni selalu menyisihkan gajinya untuk biaya persalinanku nantinya dan kebahagiaan sepertinya akan segera menghampiriku.
Namun ternyata apa yang menjadi angan-anganku tak pernah terwujud. Justru setelah kelahiran anak pertama Doni malah berhenti bekerja. Di tambah perangainya yang mulai emosional dan kekanak-kanakan, salah sedikit saja atau ia sedang kesal dengan suatu hal maka aku yang akan menjadi sasaran kemarahannya.
Setelah keadaan semakin tidak menentu, aku memutuskan bekerja. Rencananya, aku akan bekerja setelah usia anakku berusia paling tidak enam bulan. Dan syukurlah rencanaku tersebut bisa terwujud. Mulailah aku bekerja di sebuah bank di Jakarta sebagai teller dengan gaji yang terbilang cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami.
Setelah aku bekerja, tabiat buruk Doni semakin menjadi-jadi. Ia semakin malas mencari kerja, ia malah berkeinginan berwiraswasta yang tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit, sementera uang tabungan kami semakin hari semakin menipis. Gaji yang semula cukup, hingga tidak lagi mencukupi, karena semua biaya rumah tangga aku yang menanggungnya.
Puncak keretakan rumah tangga kami terjadi saat Doni mencurigaiku berbuat hal yang tidak senonoh dengan lelaki lain. Kebetulan saat itu aku pulang agak terlambat dan Doni tidak bisa menerima hal tersebut. Ia malah menuduhku berbuat serong. Kekesalankupun mencapai puncaknya dan pertengkaran besar tak bisa kami hindari lagi.
Setelah pertengkaran itu, kami memang sempat membuat perjanjian untuk membagi dua beban ekonomi rumah tangga. Dan itupun tak berjalan sesuai perjanjian, lagi-lagi Doni tak pernah menepati janji. Kebencianku akan tingkah laku Doni semakin menumpuk. Untuk menggugat cerai aku memang belum berani. Aku bertekad akan bertahan sampai Doni menyadari kelakuannya.
Jika setelah kesempatan itu kuberikan dan Doni tak juga merubah tabiatnya, maka aku tak akan ragu lagi untuk berpisah dengannya. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti mengapa Doni bersikap seperti itu. Meski aku memiliki suami tapi aku merasakan seperti tidak memiliki suami, karena semua urusan rumah tangga aku yang menanggungnya seorang diri. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah Nyata
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com