Kecewa? Tentu saja. Tapi aku tidak mau mendebat mereka. Aku cukup bersyukur diberi limpahan perhatian dan kasih sayang hingga saat ini dan itu bagiku sudah cukup. Aku kemudian menikah dan dikaruniai sepasang putra putri. Suamiku hanya pegawai rendahan di sebuah perusahaan swasta, sementara aku hanya ibu rumah tangga. Gaji suamiku makin hari semakin tidak mencukupi seiring dengan bertambahnya usia anak-anak kami.
Terkadang aku harus nyambi mengambil cucian tetangga yang hasilnya tak seberapa, mengingat tetangga banyak yang menggunakan jasa pembantu. Kalaupun tidak, mereka sudah memiliki mesin cuci, jadi tetangga tukang cuci lepas sepertiku tak terlalu dibutuhkan. Kalau sudah begini aku akan berkeluh kesah pada ibuku.
Pada ibu aku sering menyalahkan ayah yang tak pernah memberiku kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah, bahkan permintaan untuk kursus saja tak diijinkan. Sementara ibuku sendiri hanya menenangkanku saja. Ia mengatakan kalau hidupku jauh lebih baik ketimbang kedua kakakku.
Dari ibu aku baru tahu kalau kedua kakakku yang disekolahkan hingga S1 dan sangat dibanggakan keluarga itu malah belum juga memperoleh pekerjaan tetap. Mereka memang kerja, tapi hanya sebatas karyawan kontrak semata. Dan ayah masih juga membanggakan mereka berdua. Ayah malah tidak menyadari kalau tanah warisan sudah hampir separuhnya terjual untuk kebutuhan kedua kakakku.
Suatu hari, ibuku memanggilku. Ia mengajakku ke dapur dan memberiku resep masakan sekaligus mengajariku bagaimana mengolahnya. Ia hanya berpesan singkat, bahwa dari resep masakannya tersebut aku bisa menambah biaya hidup keluargaku. Agak aneh memang, karena setahuku ibu hampir tidak pernah memberiku resep masakan. Aku belajar masak juga sendiri, tidak diajarkan oleh ibu.
Namun begitu, anjuran ibu aku jalankan juga. Resep Soto Betawi dari ibu aku kenalkan pada tetanggaku yang rata-rata warga keturunan Cina. Menurut mereka Soto Betawi buatanku enak dan mereka menyarankan agar aku buka warung soto. Tentu itu bukan perkara mudah, karena aku harus mempersiapkan peralatan makan, kompor, meja kursi serta meja etalase.
Di luar dugaan, tetanggaku yang sudah kadung tergila-gila dengan soto buatanku bersedia meminjamkan uang tanpa bunga. Aku tinggal menyicil tiap bulan dari hasil jualanku. Aku kemudian berunding dengan suamiku. Membuat perhitungan yang matang, karena ini bukan bisnis main-main dan kami melibatkan uang orang lain.
Dengan memanfaatkan sepetak teras di depan rumahku, aku membuka warung soto seadanya. Aku memang memutuskan untuk berjualan di depan rumah, agar tidak terlalu lelah dan aku masih bisa mengawasi kedua anak kami. Suamiku sendiri masih tetap bekerja seperti biasa, hanya pagi dia bangun lebih awal untuk belanja keperluan warung di pasar. Selebihnya menjadi urusanku. Kalau ia pulang agak sore ia akan membantuku di warung.
Tak terasa setahun sudah aku menjalani warung soto ini dan uang pinjaman tetangga sudah lunas beberapa bulan lalu. Aku sama sekali tak menyadari kalau pelangganku ternyata datang dari pelosok Jakarta. Kebanyakan dari mereka tahu warung ini dari teman atau saudara mereka. Aku bersyukur sekali. Meski yang namanya dagang, pendapatan tiap bulan kadang naik kadang turun, tapi aku melihat kecenderungannya selalu naik. Hampir tiap hari aku selalu melihat orang baru yang datang ke warungku, bahkan ada yang rela ngantri.
Melihat gelagat ini, suamiku menawarkan untuk mengontrak rumah yang lebih luas agar aku bisa leluasa berjualan. Aku sendiri memilih tak perlu mengontrak rumah, karena akan mengeluarkan biaya besar. Kebetulan tetanggaku memiliki sebuah kios yang tak terpakai. Ia setuju untuk mengontrakannya padaku dengan harga murah, dengan syarat aku harus merawat bengunannya.
Bagiku itu bukan syarat, namun keharusan yang memang sudah menjadi tanggung jawabku. Aku juga mengajak seorang saudara yang aku bayar sebagai pelayan untuk membantuku di warung. Selanjutnya pertumbuhan warungku kian pesat. Ibu yang pernah datang dan menyaksikan warung soto milikku hanya bisa tersenyum bahagia. "Setiap orang punya jalan dan rejeki masing-masing," itu adalah kata terindah yang pernah kudengar dari ibu.
Pendapatan dari warung makin lama makin bisa menutupi kebutuhan hidup kami. Menyadari hal itu, suamiku malah memutuskan berhenti bekerja dan membantu usahaku sepenuhnya. Ia tidak tega melihatku banting tulang sendiri di warung sementara ia hanya duduk manis di belakang meja di kantor. Toh kalau dikalkulasi penghasilanku sebulan bisa melampaui penghasilannya.
Keterlibatan langsung suamiku berdampak bagus, beberapa teman kantornya banyak yang meluangkan istirahat siang dengan mampir ke warungku, bahkan atasan suamiku menyempatkan beberapa kali dalam sebulan makan siang di warungku.
Kini dari hasil warung soto tersebut, aku bisa membesarkan kedua anakku dengan pendidikan yang baik. Aku tak pernah lagi kekurangan biaya untuk keperluan hidup keluargaku. Bahkan aku bisa membangun rumahku dengan lebih layak. Aku tak lagi menyesali pendidikanku yang hanya sekolah menengah, tidak S1 seperti kedua kakakku. Karena penghasilanku melebihi mereka, malah aku yang sekarang rajin membantu ayah. Dari ibu aku mengetahui bahwa resep yang diberikannya dulu padaku adalah resep warisan keluarga ibu.
Dulu nenek dari pihak ibu adalah penjual Soto Betawi yang lumayan kondang di kampungnya. Karena ibu adalah anak tunggal maka resep itu diwariskan ke ibu. Namun ibu tidak meneruskan tradisi menjual soto, karena ayah melarangnya. Dan sekarang aku yang mewariskan resep itu sekaligus malanjutkan tradisinya. Ternyata keberhasilan hidup tak melulu lahir dari pendidikan formal. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Blogger