Kini, setelah melahirkan dua orang anak semua itu pun berubah. Berat badanku melar, pinggangku membengkak dengan lemak bergelantungan dimana-mana. Apalagi bentuk payudaraku yang semakin kendor karena menyusui dua orang anak laki-laki. Bahkan, melihat bentuk payudara sendiri saja aku sudah muak. Tak lagi kenyal, namun menggantung seperti buah pepaya masak. Benar-benar terlihat seperti kulit yang menggantung di tubuhku saja.
Melihat perubahan di tubuhku, tentu saja membuatku harus berjuang untuk mengembalikannya ke bentuk semula. Segala macam obat pelangsing pun akhirnya kucoba, namun tak satupun berguna. Lebih frustasi lagi ketika aku mencoba berbagai obat dan puluhan terapi untuk mengembalikan payudaraku agar indah dan berisi. Itu pun tak ada guna juga. Aku kini benar-benar putus asa.
Hingga suatu hari aku membaca sebuah majalah yang di dalamnya terdapat sebuah iklan yang menawarkan promosi perawatan tubuh, termasuk operasi payudara. Berminggu-minggu aku memikirkannya, hingga suatu hari aku memberanikan diri berbicara kepada suami tentang rencanaku untuk operasi payudara agar terlihat indah kembali. "Sudahlah ma, untuk apa lagi. Toh sekarang kamu juga indah dengan tubuhmu seperti ini. Aku mencintaimu justru seperti apa adanya kamu," tutur suamiku lembut.
Uniknya, justru kata-kata cinta dari suamiku-lah yang makin memecutku untuk merubah diri sehingga bisa nampak seperti dulu lagi. Minimal, payudaraku dapat berdiri tegak kembali. Aku pun mulai berkeras ingin mengubahnya. Maka, kukumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk biaya operasi. Hingga akhirnya biaya pun bisa terkumpul.
Kali ini, aku berusaha sekali lagi meminta ijin suamiku. Kukatakan dengan tegas apa yang kuinginkan. "Pa, aku sebel melihat payudaraku seperti ini. Aku mau operasi saja, uangnya sudah kukumpulkan," ungkapku dengan nada sedikit mendesak. Tapi suamiku merespon dengan amarah. "Untuk apa sih ma, toh perubahan bentuk tubuh laki-laki atau perempuan pasti akan terjadi saat menjelang tua. Apa lagi sih yang kamu cari. Sudahlah, aku tak mau membicarakan masalah ini lagi," sahut suamiku dengan nada tinggi.
Suamiku Dewo yang telah kunikahi selama 23 tahun itu memang sangat memanjakanku dan selalu memberi keleluasaan untukku sebagai seorang perempuan. Bayangkan saja, Mas Dewo mau bersusah payah menjaga anak-anakku saat mereka masih kecil hanya karena aku ingin pergi jalan-jalan ke Thailand bersama teman-temanku. Mas Dewo tidak keberatan melakukan semua itu, ia malah mengambil cuti dari kantornya. Selain itu, Mas Dewo juga memberikan semua uang gajinya untuk kupergunakan sebagai uang belanja. Sisanya, Mas Dewo juga mempercayakan padaku untuk menabungkan uangnya.
Justru karena kebaikannya sebagai suami inilah, aku ingin berusaha merubah diri agar nampak indah dan sempurna di matanya. Aku memutuskan tetap melakukan operasi payudara, walaupun Mas Dewo tak mengijinkannya. Aku pun mulai melakukannya secara diam-diam. Berbekal bohong kecil, dengan beralasan bahwa aku harus pergi ke luar kota untuk menemui tanteku yang sedang sakit, akhirnya kuperoleh ijin hingga beberapa hari.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan rutin, aku pun dibawa masuk ke kamar operasi di sebuah klinik. Memang sebelumnya sudah kudiskusikan kepada dokter ahli, bahwa aku ingin mempunyai payudara yang berisi kembali, tak menggelambir seperti adanya sekarang. Soal ukuran besar payudara juga sudah kuputuskan. Dokter juga memberiku beberapa masukan, namun aku tetap memilih bentuk payudaraku seperti dulu. Besar dan nampak menggiurkan.
Usai operasi, aku lewatkan beberapa hari di klinik bersama tanteku yang sengaja kudatangkan dari Yogya guna menemaniku. Menjelang pulang, aku mulai gelisah karena payudaraku harus tetap terbungkus oleh kain khusus yang menyangga dan diusahakan agar tak terlalu banyak goyangan. Akhirnya kuputuskan untuk berterus terang kepada Mas Dewo setibanya aku di rumah. Aku memang selalu membayangkan payudaraku bisa membentuk seperti sedia kala. Hal inilah yang membuatku tak berfikir lagi, apakah Mas Dewo akan menyukainya atau tidak.
Setiba di rumah, aku menarik tangan Mas Dewo ke kamar dan langsung kubuka bajuku untuk memperlihatkan bekas operasi payudaraku. Kucoba menerangkan persoalan ini padanya bahwa aku melakukan semua ini, karena ingin payudaraku terlihat indah lagi seperti sebelum menyusui dan beharap suamiku dapat melihat keindahannya seperti dulu.
"Untuk siapa kamu lakukan ini Maudy? Aku menyukai payudara milikmu dulu, walaupun lembek tapi payudaramu itu telah menyusui anak-anak, hingga mereka sekarang tumbuh sehat. Aku ngeri melihat dadamu. Tutup bajumu dan jangan pernah lagi kamu tunjukkan kepadaku," teriak Mas Dewo. Aku pun tercengang dan ikut gusar. "Mas, semua ini kulakukan untukmu, agar payudaraku indah lagi," teriakku tak kalah lantang. "Apa yang indah, bundar seperti bola begitu kamu katakan indah, dadamu menjijikkan," sahutnya lebih keras sembari membanting pintu kamar dan pergi meninggalkanku.
Berbulan kami tak lagi tidur seranjang, semua kemesraan telah musnah sekarang. Kuperhatikan, memang payudaraku tak alami lagi. Besar memang, namun tampak bundar sehingga dalam posisi terlentangpun payudaraku tetap berdiri tegak, terlihat tak natural. Selain itu, kepekaan putingku juga telah berkurang banyak. Aku pun mulai menyesali keputusanku yang sembrono.
Yang membuatku makin menyesali diri adalah ketika Mas Dewo pergi meninggalkanku. Dengan jujur ia mengatakan bahwa setiap tidur seranjang denganku dan melihat bentuk buah dada yang tegak berdiri tersebut, ia selalu terganggu dan tak nyaman karena selama ini istrinya mempunyai payudara yang lembek. Ia merasa asing tidur dengan perempuan yang berpayudara tegak tak natural.
Mas Dewo akhirnya benar-benar pergi meninggalkanku, ia kini tinggal seorang diri di apartemen. Sedangkan kedua anakku yang kini tengah studi di luar negeri, tak pernah menanyakan sedikitpun soal alasan perpisahan kami. Aku sangat menyesal, dan semakin putus asa karena ke gabahanku. Kini seluruh tubuhku sudah mulai menua namun payudaraku tetap berdiri tegak tak natural, padahal umurku sekarang ini telah menginjak usia 49 tahun. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Blogger