Apalagi ketika kekasih yang telah menemaniku selama dua tahun, Tom (bukan nama sebenarnya), meninggalkanku. Dengan alasan yang sangat sederhana, tak ingin merawat perempuan cacat sepertiku seumur hidup. Kuhela nafasku panjang, menahan perihnya hati kala mengenang semua, kadang sampai terlintas dibenakku untuk mengakhiri hidup yang sudah tak berguna ini, yang hanya menjadi benalu bagi orang-orang yang aku sayang. Andai saja aku tak ingat perjuangan mamaku saat mempertahankan nyawaku, aku pasti sudah melakukannya.
Tapi semuanya berubah saat seorang sahabat, sebut saja namanya Pram (bukan nama sebenarnya) yang telah lama menghilang tiba-tiba menghubungiku kembali dan mengajakku untuk bertemu. Tetapi kemudian aku tersadar dengan keadaanku saat ini, aku takut Pram tak bisa menerima keadaanku, atau mungkin aku sendiri yang terlalu malu mengakui keadaanku saat ini. walau demikian aku selalu mengiyakan saat ia meminta bertemu, padahal aku sendiri tak tahu kapan aku siap menemuinya.
Dari situ bermula kembali, hubungan yang dulu sempat terputus. Pram sering menghubungiku, meskipun belum satu pun pertemuan yang dia ingini, aku wujudkan. Aku takkan membiarkan Pram tahu, jika sekarang aku cacat! Aku tak mau dia seperti temanku yang lain, yang memandangku sebelah mata, terlalu mengasihani atau menghindariku karena tak mau direpotkan. Karena itulah, aku terpaksa terus berbohong. maafkan aku, Pram
Entah sampai kapan aku akan terus berbohong saat Pram memintaku untuk bertemu. Berkali-kali sudah aku berbohong demi menghapus keinginan Pram untuk bertemu. Namun ia membuatku shok saat ia mengatakan telah menemukan alamatku. "Si, aku nggak sabar pengin ketemu kamu nih. Besok aku ke Yogya ya? Aku udah dapat alamat kamu ," kata Pram, lagi-lagi mengejutkanku. Aku panik, dan tak tahu harus bagaimana.
Sampai akhirnya ia berterus terang tentang alasan keinginannya untuk bertemu aku, Pram ingin meminta maaf karena telah mengacuhkan perasaanku terhadapnya beberapa tahun lalu dan ia ingin memperbaiki keadaan itu. "Si, asal kamu tahu aja ya, aku ingin menemui kamu, karena aku ingin memperbaiki hubungan kita. Aku nggak pernah bisa melupakan kamu, aku sayang sama kamu, Si." Aku masih saja terdiam, hatiku hancur, dan perih. Air matakupun mengalir deras membasahi pipi.
Beberapa hari kemudian kudengar pintu rumahku diketuk. Aku segera memutar roda kursi rodaku. Oh my God! Betapa terkejutnya aku saat membuka pintu, aku melihat sepasang mata yang dulu begitu akrab menatapku, dan sebersit senyum yang begitu melekat di hatiku. "Pram?!?" kataku tak percaya.
Sedangkan Pram menatapku dengan nanar, syok tak percaya memandang ketidakutuhanku. Dan itu terasa sangat menyakitkan untukku. "Apa?!? Kaget?!? Sudah aku bilang kamu jangan pernah ke sini !!! Sudah puas kamu melihat aku seperti ini!!" bentakku. Namun Pram masih saja tak berkutik. Bahkan saat kututup pintu dengan keras, dia pun masih diam. Aku menangis, hatiku hancur, sangat hancur, menyadari aku akan kehilangan Pram untuk yang kedua kali.
Kehilangan??? Tunggu, bukankah aku tak mau kehilangan Pram lagi, lalu mengapa aku melakukan ini? Aku kembali memutar roda kursi rodaku lalu membuka pintu. Aku kecewa, karena Pram sudah tak ada di sana. Hah! aku benar-benar menyesal. Dan yang lebih kusesali, sejak kejadian itu, Pram tak pernah lagi menghubungi aku, Pram telah menghilang. Lagi. "Si, tabahkan hatimu. Kalo Pram tak mau lagi bertemu denganmu, itu artinya Pram tak lebih dari Tom. Dia bukan pria yang pantas untukmu," Aku mencoba menguatkan hatiku agar tak ambruk untuk kedua kalinya.
Sebulan telah berlalu, Mama memanggilku dan mengatakan ada seorang teman yang mengunjungiku. Aku mengerutkan alisku. Teman? Bukankah semenjak kecelakaan itu, aku kehilangan semua temanku? Dengan penasaran aku pun melangkah keluar. Kulihat Pram duduk bersama mamaku. Dia melemparkan senyumnya padaku. "Mama masuk dulu, Si," kata Mama sambil menepuk bahuku. "Ada apa kamu ke sini? Mau menertawakan aku?!?" ucapku ketus.
Pram kembali tersenyum. "Maaf ya, waktu itu aku pulang nggak pamit dulu sama kamu," katanya. "Sudahlah, lupakan!" kataku singkat. Beberapa saat kemudian ia menyodorkan sebuah bungkusan besar. Saat aku membukanya aku dilingkupi perasaan tak percaya. Di tangangku saat itu kudapati sepasang kaki palsu dengan segala perlengkapannya, "Tapi ini mahal, Pram," kataku.
"Itu masih belum seberapa, Si. Ada yang lebih dari itu yang ingin aku berikan padamu." Pram menatapku lembut. "Aku ingin memberikan hatiku, serta kedua kakiku untuk menjadi tumpuanmu, pijakanmu, yang selalu mengiringi setiap langkahmu, dan tempatmu bersandar ketika lelah menghadapi semua cobaan hidup. Si, aku mencintai kamu, menikahlah denganku." Pram menggenggam tanganku erat lalu mengecup keningku
Aku menangis bahagia, menyadari kecacatanku tak menghalangi laki-laki yang begitu aku cintai ini untuk menikahi aku, bahkan dia dengan cinta tulusnya, mampu mengembalikan rasa percaya diriku dan kehidupanku yang sempat hilang dan hancur. Pram, terima kasih, telah memberikan harapan baru untukku. [Vivi Tan / Jakarta]
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
BACA DIBAWAH INI
Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id