Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening : Kami mempunyai seorang anak, aku terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh keadaan yang tidak kusangka-sangka, Rani (bukan nama sebenarnya hadir dalam kehidupanku.
Aku berdiri di balkon dengan Rani yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Rani berkata, bahwa aku adalah jenis laki-laki terbaik yang pernah ia temui. Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, "Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis." Berpikir tentang ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya.
Sudah beberapa kali Dew menyuruhku untuk menceraikan istriku dan aku hanya bisa menganggukan kepala. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku memegang tangannya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan". Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir. "Aku ingin bercerai", kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.
Pada malam itu, kami saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Rani. Dengan perasaan yg amat bersalah, aku menuliskan surat cerai. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Perempuan yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yg asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah kuucapkan.
Tapi pada akhirnya ia setuju untuk bercerai dengan beberapa syarat yang ia ajukan. Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, Apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita? Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan.
"Kamu membopongku dilenganmu", katanya, "jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu." Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.
Selama beberapa hari aku menuruti permintaanya, membopongnya dari kamar tidur sampai ruang tamu, sesekali anakku memergoki kami dan berkomentar tentang kemesraan semu yang ia lihat, sungguh saat itu hatiku pedih tak terkira. Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, "Kebun diluar sedang dibongkar. Hati-hati kalau kamu lewat sana." Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri. Perlahan bayangan Rani menjadi samar.
Pada hari kelima dan keenam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yg telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak. Aku mengangguk. perasaan kedekatan terasa semakin erat. Aku tidak memberitahu Rani tentang hal ini. Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat.
Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yg cocok. Lalu ia melihat, "semua pakaianku kebesaran". Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya, sebab ia semakin kurus, itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit.
Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut. "Pa, sudah waktunya membopong mama keluar." Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yg penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyanggah ia dilenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, hal itu membuatku sedih.
Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya dilenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata, "sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua." Aku memeluknya dengan kuat dan berkata "antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra".
Hari itu pula aku menemui Rani dan menyatakan bahwa aku tak ingin bercerai dengan istriku. Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. "Kamu tidak demam." Kutepiskan tanganya dari dahiku. "Maaf Ran, aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua.
Rani tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan pulang aku melewati sebuah toko bunga. Ku pesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjualnya bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum dan menulis : "Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua." [Vivi Tan / Jakarta]
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
BACA DIBAWAH INI
Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id