"Hanya di makam Souw Beng Kong ini kami dapat melihat matahari," ujarnya. Makam Souw Beng Kong yang disebutkan Kasiro adalah tempat jenazah kapiten China pertama di Batavia itu disemayamkan untuk terakhir kalinya pada 1644. Perlahan-lahan, nama kawasan itu pun dikenal sebagai Gang Souw Beng Kong. Seiring berjalannya waktu, dan desakan pertumbuhan populasi yang memicu peningkatan kebutuhan permukiman warga, kawasan makam bersejarah itu pun terkubur oleh tiga rumah yang berdiri di atasnya. Sayangnya, bukan hanya makam yang terkubur. Menurut penuturan beberapa warga, termasuk Kasiro, sekitar 30 tahun lalu pemerintah Orde Baru memangkas sejarah tempat itu dengan mengganti namanya menjadi Gang Taruna, yang masih berlaku hingga kini.
Lima tahun lalu, makam Souw Beng Kong diselamatkan atas permintaan sejumlah warga keturunan China dari Yayasan Souw Beng Kong. Mereka membayar ganti rugi tanah dan membongkar tiga rumah yang berdiri di atas makam tersebut, dan membuat kawasan pekuburan itu menjadi tempat Kasiro dan ratusan warga yang mendiami daerah itu "mencari matahari".
"Kami tidak tahu siapa Souw Beng Kong.Tetapi berpuluh tahun kami memakai namanya untuk menyebut lingkungan di sini. Dan nama itu masih tetap lebih akrab bagi kami ketimbang Gang Taruna," ujar Kasiro.
PERGANTIAN nama-nama tempat di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme. Jakarta adalah kota yang benar-benar mengalami 350 tahun penjajahan. Sebagai daerah yang segera ditetapkan menjadi Ibu Kota Republik Indonesia tak lama setelah Proklamasi 1945, tindakan pertama yang dilakukan rakyat seiring memanasnya api revolusi saat itu adalah mengganti nama-nama yang dianggap tercemar darah kolonialisme Belanda dengan identitas yang lebih "meng-Indonesia".
Pembersihan pertama dimulai dari pucuk kekuasaan tertinggi: Koningin Wilhelminalaan dan Koningin Emmalaan serta Prinses Julianalaan menjadi Jalan Slamet Riyadi; Willemslaan dinamai Jl. Perwira; Koningsplein menjadi Jl. Medan Merdeka.
Selanjutnya giliran para gubernur jenderal. Bothstraat yang mengingatkan kepada Gubernur Jenderal pertama Pieter Both (1610-1614) dirombak menjadi Jl. Manggarai Utara III. Specxstraat yang mengarah pada Gubernur Jenderal Jaques Specx (1629-1632) diubah menjadi Jl. Manggarai Utara VI. Maetsuijckerstraat yang merujuk pada Gubernur Jenderal Maetsuijcker (1653-1678) yang pemarah dan pembenci kaum Pribumi diganti menjadi Jl. Bukit Duri Utara. Maarschalklaan yang mengacu pada gelar Gubernur Jenderal H. W. Daendels yang dengan perintah keras membuat Jalan Raya Pos sehingga tumbuh kota-kota di Jawa dihapus menjadi Jl. Manggarai Utara I. Nasib yang sama dialami Reijnstraat, Imhoffstraat, Brouwerstraat, Riemsdijkstraat, Altingstraat, Van Diemenstraat, Reaalstraat, dan Speelmanstraat.
Selesai dengan para gubernur jenderalnya, penghapusan beralih pada VOC. Compagnieweg yang merujuk kepada VOC diubah jadi Jl. Mangga Besar VI. Kampung Cipinang Jembatan Kompeni pun dicuci habis. Tidak cukup hanya kata Kompeni yang dibersihkan, tetapi juga jembatan dan bahkan Cipinang-nya menjadi Jl. Bekasi Timur. Heerenweg yang merujuk pada Heeren XVII atau para tuan penguasa VOC di Belanda dirombak menjadi Jl. Lodan Raya. Tak itu saja, Kasteelweg yang mengacu kepada kota benteng Batavia diganti menjadi Jl. Tongkol. Benteng pertahanan Hindia Belanda yang diabadikan dalam nama Defensielijn van den Bosch dibongkar jadi Jl. Bungur Besar.
Semangat balas dendam pada sosok Gubernur Jenderal J. P. Coen (1619-1623 dan 1627-1629) yang dianggap pendiri Batavia dan peletak dasar negara koloni Belanda di Indonesia pun segera terasa. Nama jalan Jan Pieterzoon Coenweg diganti dengan nama musuh bebuyutannya, Sultan Agung. Upaya membawa tokoh-tokoh yang berhadapan dalam sejarah itu juga terlihat pada Van Heutszboulevard dan Van Heutszplein yang diganti menjadi Jl. Teuku Umar serta Jl. Tjut Meutia, sosok yang merupakan lawannya dalam Perang Aceh.
Saat itu pula Regentesselaan sebagai simbol penting pangrehpraja dalam sejarah kolonial yang tecermin di jalan-jalan kota Batavia—di mana para bupati biasa menghadap gubernur jenderal—segera diganti menjadi Jl. Rasamala.
Bahkan, Thamrin Mochammad Tabrie, pangrehpraja yang juga ayah pahlawan besar Jakarta, M. H. Thamrin, pun ikut mencecap penggusuran nama. Gang Wedana yang mengacu pada jabatan Thamrin sebagai Wedana Distrik Betawi dirombak menjadi Jl. Taman Sari II. Padahal, Wedana Thamrin dikenal dekat dan memerhatikan rakyat. Selain itu, nama-nama yang mewakili geografi Belanda juga kena pembersihan, seperti Amsterdamstraat jadi Jl. Nelayan Timur atau Utrechtschestraat beralih ke Jl. Kopi. Sebagai pamungkas, Oranjelaan dan Oranjeplein yang mengacu pada Negeri Belanda diganti dengan Jl. Diponegoro.
Diponegoro mungkin senang karena menggantikan nama yang "besar". Tetapi alangkah celaka Sultan Iskandar Muda yang harus menerima namanya digunakan sebagai pengganti daerah Velbak di Kebayoran Lama yang mengacu kepada vuilnisbak atau tempat pembuangan sampah. Meski saat ini warga masih kerap menyebut kawasan tersebut sebagai Velbak, hanya di Jakarta saja seorang raja yang agung rela "bertakhta di tempat sampah".
JIKA penyair tenar Inggris William Shakespeare mempertanyakan apalah arti sebuah nama, bagaimana dengan perubahan nama-nama tempat di Jakarta—atau mungkin di tempat-tempat lain di seluruh dunia? Dalam hal semangat revolusi, bukankah wajar jika rasa sakit dan pedih penjajahan dilampiaskan dengan memberangus memori tentangnya?
"Jajahan Belanda terbentang dari Afrika Selatan sampai Desima di Jepang, dan Jakarta adalah ibu kotanya. Ragam kebudayaan pun bertemu dan segera menarik perhatian para peneliti. Banyak nama peneliti menjadi besar karena Batavia, seperti juga nama Batavia menjadi sohor karena mereka," ujar Rachmat Ruchiyat, penulis buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta. Menurut Rachmat, menyedihkan bahkan merugikan jika kenangan atas mereka digebah dari Jakarta. "Itu menunjukkan lemahnya minat dan perhatian Jakarta kepada budaya serta ilmu pengetahuan," keluh Rachmat.
Apa yang dikeluhkan Rachmat sukar dibantah, sebab dengan mudah dapat dideteksi betapa jarang nama-nama tokoh budaya dan ilmu pengetahuan diekspresikan dalam nama-nama jalan di Jakarta. Meski ada Jl. Dr Soepomo dan Jl. Prof. Dr. Latumeten, itu menampakkan bahwa Jakarta tidak punya tradisi budaya keilmuan yang panjang. Padahal, dulu pernah hidup Johann Moritz Mohr, ahli astronomi yang membangun observatorium bintangnya di Batavia pada 1750.
Pada zamannya, observatorium itu tidak saja sangat maju, tetapi juga menandakan gairah ilmu pengetahuan di Batavia yang tidak kalah dengan kota-kota pusat ilmu pengetahuan di Eropa. Sebab itu, Kompeni mengabadikan observatorium Mohr sebagai nama jalan, yaitu Torenlaan. Penduduk Betawi menyebutnya Gang Torong, mengacu pada pengucapan yang keliru dari kata toren atau menara observatorium Mohr. Kini, dua gang itu diganti menjadi Jl. Kemurnian, di kawasan Glodok.
Jangan lupa Hollelaan yang mengacu kepada K. F. Holle, ahli sejarah Sunda penyelamat dan pembuat salinan peta Ciela. Peta yang ditemukan pada 1858 di sebelah selatan Garut itu, dan diperkirakan dibuat pada 1560 adalah peta tertua di Jawa yang menyebutkan nama Nusa Kalapa, tempat yang kemudian menjadi Jakarta sekarang. Akan tetapi, jasa Holle yang menunjukkan cikal bakal Jakarta pun tak menjamin kelanggengan Hollelaan yang pada akhirnya diubah menjadi Jl. Haji Agus Salim, di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Ironisnya, hampir bersamaan dengan lenyapnya Hollelaan, salinan peta Ciela buatan Holle yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta pun ikut hilang.
Di dekat rumah seorang jenderal pahlawan revolusi yang dijadikan museum oleh pemerintah Orde Baru melintang Jl. Latuharhari. Dahulu nama jalan itu adalah Breenweg, sebuah penghormatan kepada H. van Breen. Breen adalah sosok yang menginspirasi M. H. Thamrin, terutama dalam mengatasi banjir yang menjadi salah satu masalah paling tua dan musuh terbesar Batavia. Saking sukarnya menanggulangi banjir di Batavia sampai-sampai terdapat Kampung Aer dan Kampung Kebanjiran. Meskipun nama kampung itu sekarang sudah hilang tetapi banjirnya tetap saja ada. Derita rakyat korban banjir di kampung itu dulu menginspirasi Breen dan Thamrin untuk tidak menerima banjir sebagai takdir yang tidak bisa dilawan.
Atas ide Breen pada 1917, Thamrin menggolkan proyek kanal banjir raksasa di barat Batavia. Ironisnya—apalagi mengingat ide kanal banjir Breen sekarang tengah direalisasikan—semua jasa itu tidak serta merta meloloskan nama jalan Breenweg dari pemberangusan.
banyak warga jakarta—warga Betawi asli sekalipun—mungkin tak mudah memahami tentang apa yang disebut ahli antropologi budaya Peter J. M. Nas dari Leiden University sebagai "ekologi simbolis", teori tentang lingkungan hunian dengan segala macam medium yang dianggap sebagai pembawa simbolnya. Nama tempat adalah salah satu contohnya.
Nas—yang sudah lebih dari 30 tahun mempelajari Jakarta—membuat tiga kategori penting untuk melihat bagaimana sebuah kota mempertahankan kenangan: kolektif, historis, dan budaya. Kenangan kolektif berisi kenangan yang berkaitan dengan seseorang, sekelompok atau sesuatu lembaga yang telah hadir dan beraktivitas di tempat tertentu yang dipakai sebagai nama kampung, jalan, atau gang. Namun, yang menarik tentang Jakarta adalah sejarahnya dipenuhi peristiwa di mana pada masa-masa tertentu kenangan kolektif dianggap perlu dihapus sama sekali. [Bersambung, Chen mei Ing, Jakarta, Tionghoanews]
Teman-teman yang mau terima artikel-artikel baru dari kami melalui email, bisa gabung saja disini http://asia.groups.yahoo.com/group/tionghoanews