KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 10 Juli 2011

SOUW BENGKONG, IDENTITAS YANG PUNAH (2)

Perasaan ini oleh Nas disebut sebagai ke­nangan historis, sesuatu yang menandai atau menyimbolkan sesuatu - orang atau pe­ristiwa - dari masa kolonial yang mem­punyai arti penting dalam sejarah nasional atau inter­nasional. Sebagian orang ingin meng­abadikannya, sebagiannya lagi ingin meng­enyahkannya selama-lamanya.

Kehilangan kenangan historis yang besar di­rasakan Sangkot Marzuki, ilmuwan sekaligus Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. "Jakarta pernah 'punya' ilmuwan kaliber dunia, bahkan meraih Nobel. Tetapi nama-nama mereka dihilangkan," tuturnya. Dalam hal ini, Jakarta tertinggal dari Bandung "yang mempertahankan nama-nama jalan seperti Pas­teur, Ehrlich, Otten, Marconi, Westhoff, atau Junghuhn," ungkap Sangkot.

Ironisnya, Sangkot menambahkan, Eijkman sebagai nama jalan masih awet di Bandung, sementara di Jakarta Eijkmanlaan malah diubah menjadi Jl. Kimia. Begitu juga Eijkmanpark yang entah ke mana. "Tindakan itu bukan saja menghapus kenangan pencapaian dan sumbangan Hindia Belanda yang penting kepada dunia, tetapi juga sumber inspirasi serta kesempatan untuk melihat per­­gaulan yang demokratis antara ilmuwan Indo­nesia dan Belanda dalam sejarah kolonial."

Sosok ilmuwan penting yang juga mesti rela dilupakan adalah dr. W. Bosch, pemimpin dinas kesehatan Hindia Belanda yang pada 1853 mem­prakarsai penerbitan majalah kedokteran yang sangat berwibawa, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Pada pertengahan abad ke-19, Bosch memprakarsai vaksinasi cacar terhadap lebih dari satu juta orang. Untuk tindakan heroiknya itu, nama Bosch diabadikan menjadi nama jalan, Boschweg, di daerah Petojo, Jakarta Pu­sat. Sayang­nya, nama ini pun diganti jadi Jl. Balikpapan I.

Batavia pernah punya reputasi sebagai kota paling tidak sehat di dunia pada pertengahan abad ke-18. Bahkan, orang-orang Eropa yang datang sudah bisa mengendus dan merasa ke­takutan oleh berbagai penyakit tropis. Sebab itu, kesehatan dalam pikiran mereka sangat ber­harga dan termanifestasikan dalam banyak nama jalan. Selain dokter-dokter kaliber dunia, masih tercatat sejumlah dokter biasa dan sesuatu yang berkait dengan dunia medis. Sebut saja Dokter van Breemenweg, Dokter Krediet­weg dan Dokter Ouwehandweg yang sekarang dipukul rata semua dengan satu nama Jl. Kesehatan 8, 9, dan 3. Lantas ada Gang Dokter yang menjadi Jl. Petojo Binatu 4; Hospitalweg berubah jadi Jl. Abdurachman Saleh Raya; Gang Obat berganti Jl. Kenari I.

Namun, yang agak mengejutkan adalah di­ganti­nya Stoviaweg menjadi Jl. Kweni. Padahal, nama itu merujuk pada STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen), sekolah dokter bumiputera yang sangat penting, bukan saja terkait sejarah kedokteran di Jawa tetapi dengan awal kemunculan elite modern dan nasionalisme Indonesia.

Operasi penghapusan kenangan di Ibu Kota kian menghebat saat Orde Baru bangkit serta pada masa-masa setelah kejatuhannya. Elite politik yang bersekutu dengan pemodal ja­di aktor utama yang membuat pergantian na­ma tempat di Jakarta jadi begitu mudah. Be­lum surut benar kebencian kepada Belanda di masa Sukarno, sudah menyusul kebencian kepada komunis dan China pada masa Orde Baru. Pemerintah menganggap semua yang meng­ekspresikan China seperti hantu jahat ber­bahaya. Warga keturunan Tionghoa harus mengganti nama diri mereka dengan nama-nama Pribumi. Kampung, jalan, dan gang yang mengekspresikan kecinaan pun harus disapu.

Penyapuan dimulai dari Gang Tiongkok di dekat SMAN 2 Jakarta Barat, lantas Kampung Klenteng menjadi Jl. Keadilan Raya, Kampung Toapekong diubah Jl. Tanjung Duren, Gang Toapekong diganti Jl. Pintu Besi I, dan banyak yang lainnya.

Gaya "menghina" diperlihatkan dalam peng­­hapusan Gang Souw Beng Kong yang di­ganti Gang Taruna, merujuk kepada calon ten­tara. Padahal, Souw Beng Kong adalah se­orang Capiteijn der Chineezen pertama. Pada namanya ada sesuatu yang mampu meng­ingatkan—seperti disimpulkan banyak peneliti—cikal bakal Jakarta.

Souw Beng Kong yang lahir di Fujian pada 1580 mengelola perkebunan kelapa yang di se­belah barat Ciliwung yang kepemilikannya di­sahkan pada 1620, dengan syarat harus me­masok tuak secara teratur ke meja tuan-tuan Kompeni. Daerah itu kemudian terkenal sebagai Petuakan, suatu kampung di daerah Jem­batan Lima yang sekarang namanya sudah lenyap dari atas peta, namun masih hidup di benak sebagian penduduk daerah itu.

Penghapusan kenangan berbumbu ejekan itu berakar jauh saat politik ekspansi Islam yang bersekutu dengan kekuatan ekonomi per­niagaan bandar abad ke-16 mengirim Fatahillah menaklukkan Sunda Kalapa. Fatahillah adalah sosok yang mengubah nama kota taklukannya menjadi Jayakarta.

Dalam skala lebih kecil, langkah Fatahillah itu diikuti juga oleh pejabat kota Jakarta se­telah merdeka. Jl. Palem di Menteng disulap jadi Jl. Suwirjo yang mengacu kepada nama wali­kota Jakarta pertama yang dilantik pada 29 September 1945. Alasannya karena walikota ini saat menjabat tinggal di Jl. Palem. Begitu juga nama Jl. Serang yang diganti menjadi Jl. Syamsurizal berdasarkan nama walikota Jakarta kedua, Sjamsurizal, meski dia sebetulnya tidak tinggal tepat di Jl. Serang. Setelah itu, tidak ada lagi gubernur Jakarta yang diabadikan namanya sebagai nama jalan.

Sejarah juga mencatat bagaimana penguasa dan pemodal bisa begitu leluasa mengganti nama tempat. Nama "Jakarta" sendiri adalah saksinya. Coen, yang menjadi pelaksana pe­naklukan Jayakarta terlibat perdebatan keras dengan Heeren XVII yang menjadi pemodalnya tentang nama yang paling pas untuk kota taklukan itu. Lantaran sibuk berdebat, selama jangka waktu yang lama kota baru Belanda itu tetap disebut mengikuti nama aslinya, Jacatra atau Iac[c]atra dan variasi-variasi lainnya dari Jayakarta. Perdebatan pun dimenangkan Heeren XVII yang resmi menamakan Batavia sebagai nama pengganti Jayakarta.

"Daerah-daerah yang sudah memiliki nama sebelum Batavia berdiri tetap dipertahankan Kompeni. Sebab itu, dalam catatan-catatan masa awal Batavia dan peta-petanya masih ada Anke atau Kali Angke, Sontaarsweg yang sekarang di dekat kali Sunter, kali Angiol alias Ancol sekarang, dan Pabeyan yang pernah disebut oleh Bujangga Manik, Pangeran Sunda yang pada abad ke-15 melakukan perjalanan Jawa-Bali," Rachmat memaparkan.

Tradisi menggunakan nama-nama asli ber­langsung terus sampai akhir masa penjajahan. Peta Batavia terakhir, dibuat sebelum Perang Dunia II, masih mengandung banyak nama lokal ketimbang nama Belanda. Ini ter­jadi kebanyakan bukan karena kesadaran meng­hormati masyarakat setempat, melainkan lebih karena Belanda tidak mau "mengeluarkan ongkos" akibat per­ubahan nama itu. Oleh banyak sejarawan, hal itu dianggap menjadi pe­­­nyebab bahasa Belanda tidak pernah bisa menjadi bahasa pergaulan di Hindia Belanda. Se­lain itu, Belanda juga membiarkan warga Pribumi "memelesetkan" nama yang lebih dulu diberikan Belanda seperti toren yang menjadi Torong pada kasus Torenlaan.

Model "penerjemahan bebas" itu adalah sa­lah satu contoh dari yang disebut Nas se­ba­gai kenangan budaya, sesuatu yang me­ngacu kepada semua unsur yang dihargai rak­­yat sehubungan dengan diri dan lingkungan mereka. Inilah nama-nama kampung, jalan, dan gang yang sudah tidak tertera lagi di peta dan dicabut plang nama­nya karena sudah mendapat nama baru. Meski begitu, beberapa nama masih hidup dan dipakai sebagai identitas yang akrab bagi penghuninya.

Sebab itu, jangan kaget jika sampai sekarang masih banyak yang tetap menyebut Mester ke­timbang Jatinegara karena masyarakat rupanya begitu terpesona akan kebaikan meester atau guru Cornelis yang pada 1661 menjadi pemilik tanah daerah itu dan mendirikan sekolah per­tama untuk anak-anak Pribumi di Batavia pada 1632. Warga juga lebih senang menyebut Jl. Suryapranoto dengan nama lamanya, Jaga Monyet, karena terkesan oleh kelucuan bagai­mana para tentara penjaga benteng yang didirikan pada 1668 itu tidak mempunyai pe­kerjaan selain menjaga monyet yang bermain di pohon-pohon besar di sekitar pos mereka.

Di sisi yang berseberangan, ada juga be­be­rapa nama yang sangat ingin dilupakan atau dikenang dengan penuh perasaan malu se­kaligus takut oleh penghuninya. Seperti yang dialami Sapi'i, warga Jl. Kemuliaan, jalan yang dulunya bernama Gang Madat. "Maaf, istri dan anak-anak saya jadi agak menyulitkan begitu tahu ada yang bertanya-tanya soal Gang Madat. Dulu memang banyak rumah pemadatan di sini," kenang lelaki yang tinggal di Gang Madat sejak 1958 ini.

Lain lagi dengan Gang Ampiun di Cikini. Penghuninya mempertahankan nama Ampiun, tetapi mengubah etimologinya yang dari kata amfioen yang berarti "candu". Secara historis, gang itu dulu merupakan jalan pintas menuju kompleks pabrik candu yang sekarang menjadi Kampus UI Salemba IV. "Gang ini tidak ada kaitan­nya dengan opium. Nama gang ini ber­asal dari kata 'kampiun' karena penghuninya kebanyakan hebat dalam sepak bola," kata Ahmad yang dianggap tetua di Gang Ampiun.
Penghalusan bahasa oleh pemerintah se­perti kasus Gang Madat atau Ampiun, be­lum tentu diterima warga. "Penduduk di Jl. Jawa Miskin, Tambora, tetap lebih senang menyebut daerah mereka Kampung Jawa Miskin," kata Abdul Chaer, ahli bahasa Melayu Betawi. Penulis Kamus Dialek Jakarta ini menambahkan, "bentuk penghalusan juga bisa dibaca sebagai sikap pemerintah kota yang merasa malu pada beberapa daerahnya yang dianggapnya tidak tanggap modernisasi, kalau tidak bisa disebut kampungan." Secara serempak, imbuh Chaer, banyak kampung dan jalan di Jakarta yang memakai kata "udik" serta "ilir" dipaksa-ganti dengan "selatan" dan "utara". Sulit menemukan kampung-kampung dengan ekor udik atau ilir yang secara resmi masih bertahan di Jakarta. Bendungan Hilir ber­tahan karena "dipelintir" oleh EYD jadi "hilir", dan agar terdengar modern kemudian diakronimkan jadi Benhil.

Mat Iji, warga Tanjung Duren, Jakarta Barat, masih ingat bahwa ketidaksenangan pada nama yang "kampungan" itu fenomena yang baru muncul akhir 1970-an, berbarengan dengan pem­bangunan kawasan elite pertama di Pondok Pinang, yakni Pondok Indah. Hingga sekarang, orang lebih mengenal kawasan tersebut sebagai Pondok Indah. "Saya tidak mengerti mengapa saat 'udik' jadi menjijikkan, se­jajar dengan se­butan 'orang udik,'" kenang Iji. 

Tetua Betawi dari Setia Budi, Irwan Syafi'i, mem­­­per­dengar­kan nada kehilangan serupa, te­tapi dalam mak­na yang lebih dalam. "Memang sedih me­ngenang kehilangan Kampung Petunduan yang sekarang jadi kantor Polda Metro Jaya, atau Kampung Pecandran yang disulap agar lebih bergaya jadi Kartika Candra. Tetapi yang lebih menyedihkan adalah ke­hilang­an orang-orang kampung dengan ke­ahlian seperti masak ketupat dan nasi uduk, membuat perabot kayu, tembikar, dan bercocok kembang. Mereka kerap disebut sombong karena hanya mau menjadi tuan atas dirinya sendiri," kata bekas Lurah Petukangan Utara ini.

Mungkin sikap mandiri seperti itulah yang bisa mem­­buat Jakarta tetap memiliki kenangan kolektif yang menjadi sumber identitasnya. [Tamat, Chen Mei Ing, Jakarta, Tionghoanews]


Teman-teman yang mau terima artikel-artikel baru dari kami melalui email, bisa gabung saja disini http://asia.groups.yahoo.com/group/tionghoanews

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA