KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 28 November 2011

CHINESE CRY (1B): SIAPA BILANG JADI ORANG CHINA ENAK

"Mei !" panggil Yogi ketika Imei lewat di depan rumahnya. Imei terus berjalan tanpa menoleh. Yogi segera mengejar dan berjalan di sampingnya. Mereka berjalan sambil menundukkan kepala.

"Tidak takut dilihat bapakmu ?" tanya Imei setelah berjalan agak jauh.

"Bapakku sudah ke sawah pagi-pagi sekali. Akhir akhir ini banyak sekali serangan hama keong." Jawab Yogi.

Imei menoleh dan bertanya, " Bagaimana kelanjutan cerita kedua itik kemarin ?"

"Yang jantan pura-pura mati, yang betina berteriak-teriak kuatir. Yang jantan tak tega melihat kekuatiran betina, ia bangun dan mengelus-ngeluskan paruhnya ke tubuh betina. Yang betina kegelian diciumi begitu. Lalu… lalu…mereka baikan. Yang betina berenang menjauhi jantan, yang jantan mengejar… lalu… lalu…"

"Dari tadi 'lalu-lalu' melulu," potong Imei kesal.

"Lalu… yang jantan naik ke atas betina." kata Yogi dengan suara  agak ditahan,

"Naik?" mata Imei didelikkan, "  yang betina tidak tenggelam dinaiki begitu ?"

"Tentu saja tenggelam !"

"Hih, sadis yang jantan! Tidak berperasaan !" Imei mencibir.

"Bukan tenggelam di air, tapi tenggelam dalam kebahagiaan. " kata Yogi  tersenyum menggoda.

Imei tertawa sambil menutup mulutnya. " Kayak laporan praktikum biologi saja." katanya jengah.

Keduanya berjalan beriringan menuju sekolah. Hamparan padi hijau keemasan membentang sepanjang kiri-kanan jalan. Setelah melewati sawah, mereka tiba di pertigaan. Imei berbelok ke jalan setapak. Dari jauh tampak sebuah gubuk  berdiri terpencil di pinggir desa. Tampak seorang lelaki duduk di depan gubuk sambil menopang dagu, matanya menerawang ke awang-awang.

"Pamanmu sedang melamun," bisik Yogi pelan setibanya di jembatan. Mereka berhenti sejenak.

"Hush, jangan sembarangan, ya ! Kalau dia tahu kamu anak Sobirin, bisa-bisa kamu dikejar pakai golok !" Imei memperingatkan.

"Wah, takutlah aku! Kalau begitu, mending aku jalan duluan. Kutunggu kamu di depan sana, " Yogi menunjuk sebuah pematang dan segera berlalu. Imei menganggukkan kepala. Ia meneruskan perjalanan menuju gubuk.

Lelaki yang duduk di depan gubuk itu bernama Amung. Orang kampung memanggilnya  si Gila. Tak ada yang tahu kenapa Amung dipanggil begitu. Imei pernah bertanya pada Papanya, Papanya enggan bercerita, padahal Amung adik kandung Papanya. Amung dan Akung bahkan tidak saling teguran. Kata orang itu berhubungan dengan Sobirin. Ketika ditanya, Yogi juga tak bisa menjelaskan kenapa ada perselisihan segitiga itu.

Setiap pagi Imei diminta Mamanya mengantar makanan buat Amung. Meski Amung kelihatan agak gila, Imei tak pernah berlaku tak sopan terhadap Pamannya.

"Mama mengirim makanan buat Paman," Kata Imei setibanya di gubuk. Ia menyerahkan sebuah bungkusan.

"Katakan terima kasihku pada Mamamu, Imei!" Amung menerima bungkusan itu dengan kedua tangannya.

"Baik, Paman. Imei permisi ke sekolah."

"Ya, belajarlah yang rajin."

Imei menatap Amung sejenak, lalu berjalan keluar dari kebun itu. Di pematang ia bergabung kembali dengan Yogi. Semakin mendekati sekolah, semakin banyak teman yang mereka jumpai.

"Kulihat dia ramah terhadapmu. Kenapa dipanggil si Gila?" tanya Yogi.

"Aku juga tak tahu. Menurutku dia waras. Dia hanya suka termenung, menyendiri, dan tak suka bergaul dengan masyarakat. Dia tak pernah bersikap kasar padaku."

"Mana tega dia bersikap kasar terhadap keponakan secantik kamu…" Yogi memuji  malu-malu, sementara Imei tertunduk jengah .

"Kamu tak pernah bertanya pada Papamu tentang kegilaan Pamanmu itu ?" tambah Yogi.

"Papa tak mau membahasnya. Cuma… Mama pernah membocorkan sedikit. Katanya, kegilaan Paman Amung itu berkaitan erat dengan perselisihan keluarga kita."

"Aku juga pernah bertanya pada orang tuaku. Mereka langsung membentakku dan mengatakan aku tak boleh ikut campur. Aku jadi ingin tahu ada apa di balik pertengkaran mereka."

"Yo, kalau suatu saat kita tertangkap sedang jalan berduaan, apa yang akan kamu lakukan ?" tanya Imei dengan wajah kuatir. Yogi  meringis dan melirik jam tangan.

"Lari, Mei !" serunya.

"Apa ? Lari ?" sejenak Imei tercengang. Menurutnya tindakan itu pengecut sekali.

"Ya, lari! Dari tadi kita berjalan lamban seperti itik. Lima menit lagi bell akan berbunyi. Ayo lari kalau tak ingin terlambat!" Yogi menarik tangan Imei dan diajak lari bersama.

………

Akung menghembuskan asap rokok dengan napas berat. Asap itu bergulung-gulung dan sirna diterpa angin. Setelah menghabiskan sebatang rokok, barulah ia mulai menyantap makan malamnya. Dalam tradisi keluarga Akung tidak dikenal acara makan bersama. Siapa yang lapar boleh makan duluan.

"Amung kemarin menyetor 4 karung gabah ke penggilingan," Asun memulai percakapan setelah makan malam selesai. Asun  adik ipar Akung yang membantu  di penggilingan. Kemarin Akung menjual beras ke kota sehingga tak tahu hal itu.

"Sendirian ?" tanya Akung pendek.

"Ya. Dia meminjam gerobak Taslim dan menarik sendirian hingga terengah-engah. Gabah itu digeletakkan di depan gudang dan dia ingin pergi begitu saja. Kutawari minum, dia tidak menampik. Tapi, ketika kutawari singgah ke rumahmu, dia menolak dan segera pergi." Lapor Asun.

Akung tercenung mendengar laporan iparnya. Sekali lagi ia menyulut sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asap dengan napas berat.

"Hhh… tingkahkah masih seperti dulu, tak pernah berubah." desah Akung dengan pikiran menerawang.

Asun memandang abang iparnya sejenak. Wajah Akung tampak menyiratkan kepedihan. Asun berkata, " Dia titip ucapan terima kasih buat Enso yang telah mengirimi makanan setiap pagi."

Akung terbatuk pelan. Entah karena ucapan iparnya, atau karena pekatnya asap rokok klobot yang masuk ke paru parunya. Tanpa berkata-kata ia berdiri dan berjalan keluar dari rumah. Angin malam menerpa wajahnya, melunakkan ketegangan akibat pekerjaan sehari-hari. Asun menyusul belakangan. Ketika melihat abang iparnya sedang berdiri di halaman dengan tatapan mengarah ke langit, ia meneruskan langkah menuju rumahnya. Ia tak berani mengganggu kebiasaan Akung yang satu itu.

………

Gubuk itu sangat sederhana. Atapnya daun rumbia. Lantainya terbuat dari papan dengan tonggak penahan yang dibuat agak tinggi -kira-kira semeter setengah dari permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari gedek -semacam anyaman bambu. Beberapa baju dan celana kotor tampak tergantung di dinding. Sebuah cangkul, parang, bakul, sabit, dan beberapa ikat kayu bakar tergeletak di  lantai bawah  yang dibuat semacam tempat menaruh peralatan, sekaligus tempat memasak. Di salah satu sudut sebuah kompor minyak tanah  tergeletak, tapi terlihat jarang dipakai;  sebuah jeregen butut berisi minyak tanah yang biasanya digunakan untuk menghidupkan kayu bakar terletak di sudut lain; enam buah batu bata –ditumpuk dua-dua, disusun segitiga membentuk sebuah perapian, di atasnya sebuah teko yang kumal hitam penuh arang berdesis sedikit karena air di dalamnya mendidih, sedikit bara api masih menyala di perapian. Gelas dan piring kotor berserakan.

Akung menatap semua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Penyiksaan diri…" desahnya. Setelah puas menatap benda-benda berserakan itu, ia melangkahkan kaki menuju sawah yang terletak agak jauh di belakang gubuk.

Amung sedang mengayunkan cangkul. Ketika nalurinya mengatakan pekerjaannya sedang ditatap seseorang, ia menghentikan kegiatannya. Matanya bersirobok dengan mata Akung yang sedang menatapnya. Gerakan mencangkulnya terhenti. Cangkulnya dipegang erat-erat dengan kedua  tangannya. Matanya mengelak dari tatapan Akung dan beralih menatap cangkul. Tampak kebekuan dalam tatapnya yang dingin. Sejenak keduanya berdiri diam mematung. Akung tidak menyapa karena merasa dirinya lebih tua. Amung merasa tak perlu menyapa karena tamu mestinya mengucapkan salam pendahuluan semacam kulo nuwun. Masing-masing menunggu.

Angin bertiup menyibak rambut Amung yang awut-awutan. Tatapannya masih terarah pada cangkulnya seakan akan cangkul itu lebih berarti daripada kedatangan Abangnya. Akung tetap berdiam diri dan menatap sekujur tubuh Amung dari kaki hingga kepala. Setelah memastikan Amung tidak ingin memberikan reaksi, ia sengaja menggesekkan kantongan yang dibawa ke kaki untuk menimbulkan sedikit suara, mungkin ingin mengatakan ia masih berdiri di situ. Amung mendengar suara itu, tapi tetap tidak menunjukkan reaksi. Akung akhirnya maju semakin mendekat, Amung mempererat pegangan cangkulnya. Tapi Akung tidak turun ke sawah, ia hanya menggantungkan kantongan yang dibawanya ke dahan pohon rambutan yang tumbuh di pinggir sawah, kemudian dengan langkah perlahan ia berjalan menjauhi Amung dan kembali ke jalan besar. Ia pergi tanpa menoleh kembali.

Setelah Akung berjalan cukup jauh, Amung menurunkan cangkul yang sejak tadi dipegangnya. Ketegangan di wajahnya mengendor. Di pinggiran sawah terdapat beberapa pohon. Di setiap pohon tergantung beberapa kantongan plastik. Ada  yang tampak masih  baru, ada yang usang, dan ada yang sudah lapuk dan isinya terburai. Kantongan itu tergantung di sana-sini, diterpa angin bergoyang-goyang, mirip kelewawar besar dan terkesan menyeramkan.  Isi kantong-kantong itu kebanyakan sudah tak bisa dipastikan lagi barangnya. Mungkin isinya beberapa bungkus rokok, pakaian, atau makanan kering. Setiap kali panen  Amung mengantar gabah ke penggilingan, setiap kali pula pohon-pohon di pinggir sawah itu bertambah satu kantong, namun Amung tak pernah menyentuh kantong-kantong itu, bahkan tak ingin tahu apa isinya. Tak pernah meski belasan tahun telah berlangsung. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]


Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA