KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 10 November 2011

ANAK KOTA BANYAK BERMATA MINUS KARENA JARANG KELUAR RUMAH

Jumlah anak-anak kecil yang memakai kaca mata minus di perkotaan karena menderita rabun jauh alias mata minus lebih banyak ditemukan di perkotaan dibandingkan di desa-desa. Selain karena faktor genetik, gaya hidup juga berpengaruh karena sejak kecil orang moderen di perkotaan lebih jarang keluar rumah.

Di berbagai belahan dunia, jumlah penderita rabun jauh atau myopi terus meningkat dari masa ke masa. Di Amerika Serikat saja, populasi orang berkaca mata minus meningkat dari sekitar 25 persen pada tahun 1970-an menjadi 42 persen di awal tahun 2000.

Faktor genetik memang sangat berperan karena kadang-kadang sifat ini bisa diturunkan, namun itu bukan satu-satunya. Belakangan, gaya hidup di perkotaan yang jarang keluar rumah lebih sering dijadikan kambing hitam karena membuat mata jarang kena sinar matahari.

Otak dan mata berevolusi dengan sangat lambat, sehingga perkembangannya masih sama seperti pada nenek moyang manusia yang hidup jutaan tahun silam. Sinar matahari sangat mempengaruhi indra penglihatan karena hingga masa itu manusia lebih banyak beraktivitas di luar ruangan.

Kini di zaman moderen, manusia lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan dan melihat dengan cahaya buatan yang berasal dari lampu. Perbedaan intensitas cahaya lampu dengan matahari memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mata, khususnya jarak antara lensa dengan retina.

Karena cahaya lampu relatif lebih redup, berbagai komponen mata tidak berkembang dengan baik sehingga bayangan tidak jatuh tepat pada retina. Akibatnya penglihatan jadi kabur dan harus dibantu dengan kacamata minus agar pandangan jadi lebih fokus.

Teori ini bukan sebatas dugaan, karena sudah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Salah satunya seperti yang dimuat dalam jurnal Archieve of Opthamology, yang melibatkan anak-anak keturunan China usia 6-7 tahun yang tinggal di Australia dan Singapura.

Kedua populasi anak-anak tersebut memiliki faktor genetik yang sama, dalam arti jumlah orangtua yang juga mengalami rabun jauh. Namun populasi yang tinggal di Singapura, jumlah anak yang menderita rabuh jauh mencapai 29 persen atau 9 kali lebih banyak dari Australia.

Faktor yang membedakan antara keduanya adalah gaya hidup, karena ternyata anak-anak di Singapura lebih jarang beraktivitas di luar ruangan. Anak-anak di Singapura rata-rata hanya keluar rumah 3 jam/pekan, sedangkan di Australia durasinya mencapai 14 jam/pekan.

"Untuk mengurangi risiko mata minus, caranya sangat mudah. Biarkan anak-anak bermain dan menghabiskan waktunya lebih lama di luar rumah," ungkap Sandra Aamodt, seorang profesor biologi molekuler dari Princeton University seperti dikutip dari NYTimes. [Yanti Ng / Jakarta / DKI / Tionghoanews]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA