KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 04 Desember 2011

CHINESE CRY (8B): PEREMPUAN LARINYA KEPELUKAN LELAKI

Meski Akung bersikap kasar, Imei tidak tegaan. Kalau melihat Akung tak menyentuh makanan yang dibawa Lan Nio, uring-uringan, atau ngambek makan, ia berusaha membujuk Papanya, atau memasakkan makanan kesukaan Papanya. Adakalanya cara itu berhasil, kadang-kadang tidak. Tak jarang ia mendapat pelampiasan yang lebih parah, -dimaki Anak Sundal Sialan. Imei berusaha memahami perasaan Akung yang tertekan akibat harus berbaring terus di atas ranjang, tapi makian Sundal Sialan atau Anak Sundal Sialan itu terlalu sering didengarnya sehingga membuat telinganya sakit. Benarkah itu makian kesal, atau ada apa di balik makian itu?

Kesabaran Imei betul-betul mendapat ujian. Kadang kadang  Akung menyembur-nyemburkan makanan yang disuap-kannya. Kamar menjadi berantakan. Terpaksa Imei tidak ke penggilingan demi membersihkan kamar. Yang paling parah kalau Akung makan sambil minum arak, setelah itu muntah. Kadang-kadang muntahannya mengenai baju Imei. Tanpa mengeluh ia membersihkan muntahan Papanya, mengepel lantai, mencuci sprey, dan memandikan tubuh Akung yang berlepotan muntahan. Lan Nio tak pernah mendekat bila suaminya muntah. Kalau mendekat ia akan mendapat makian Sundal Sialan.

" Dia mengerjaimu habis-habisan !" kata Lan Nio dengan nada tak senang. Hatinya gemas bukan kepalang.

" Nggaklah, Ma. Papa kan sedang sakit, wajar saja kalau muntah. Dulu setiap hari ia beraktivitas, sekarang harus berbaring terus di atas ranjang, tentu membosankan." bela Imei. Lan Nio menggeleng-gelengkan kepala mendengar pembelaan anaknya.

Saat di mana Akung terlihat tenang adalah malam  menjelang bulan purnama. Akung makan tanpa ulah. Malam-malam ia meminta Imei membuka jendela. Wajahnya berubah damai ketika melihat rembulan yang bersinar terang. Sepertinya ada kerinduan yang terlampiaskan. Tengah malam ia meminta Imei menuntunnya ke loteng. Ia meminta Imei membukakan pintu kamar loteng, tapi tak mengijinkan Imei masuk atau melongok ke dalam. Imei sudah tahu apa yang dilakukan Papanya, jadi ia tak bertanya lagi.  Setengah jam kemudian Akung keluar dengan wajah pucat menahan sakit akibat berdiri terlalu lama, tetapi matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Imei segera menuntun Papanya kembali ke kamar.

Berbulan-bulan keadaannya begitu. Sedikit demi sedikit sikap Akung terhadap Imei mulai berubah. Ia tak  memaki Imei dengan sebutan Anak Sundal lagi, makan dengan kooperatif dan jarang meneguk arak sambil makan sehingga tak  muntah lagi. Tapi,  itu hanya berlaku jika Imei yang melayani. Terhadap istrinya Akung tetap menunjukkan sikap antipati.

Kesadaran Akung timbul karena melihat ketelatenan Imei melayaninya. Perasaan sayangnya timbul perlahan-lahan dan semakin lama semakin menumpuk. Kesabaran Imei, ketelatenan Imei, dan perhatian Imei mengingatkan Akung pada seseorang.

Sesekali Imei mengajak Akung berbicara, dan semakin lama Akung semakin banyak bercerita. Imei merasa kasihan melihat kondisi Akung. Kian hari tubuhnya kian kurus. Malam-malam ia berusaha duduk bersama papanya membicarakan penggilingan, membicarakan bisnis beras. Semua itu untuk menghindari Akung dari minuman keras dan rokok yang berlebihan. Hal itu semakin melunakkan sikap Akung yang selama ini keras terhadap anaknya.

" Aku sering menghukummu, sering mengekangmu ini itu, bahkan hampir membunuhmu. Tidakkah terbetik niat di hatimu untuk pergi dari Papa ?" tanya Akung tiba-tiba di suatu malam.

Imei agak kaget mendapat pertanyaan yang di luar topik pembicaraan saat itu.

" Aku perempuan, Pa. Perempuan bisa lari ke mana ?" Imei menjawab dengan sedikit nada canda. Paling larinya ke pelukan lelaki. Tambahnya di dalam hati.

Akung mengangguk-angukkan kepala. " Anak perempuan lebih berbakti," desahnya pelan. Sebuah pengakuan yang berat hati " Suatu saat kalau aku mati, apakah Mei mau mendupai Papa ?" tanya Akung. Sekedar menyenangkan hati Papanya, Imei menganggukkan kepala. Akung tersenyum. Di malam itulah pertama kalinya Imei melihat Akung memegang pipinya dan menatapnya dengan tatapan lembut. Inilah Papa yang didambakannya, atau mungkin oleh Lukman. Sejak itu  hubungan anak-bapak itu terjalin dengan baik.

………….

" Aku minta sebotol arak…" kata Akung di suatu malam saat dadanya merasa nyeri.

" Papa tidak boleh sering minum arak. Harus menunggu sembuh baru boleh minum." Imei mencoba menahan keinginan Akung.

" Aku takkan sembuh, Mei. Tak akan. Aku tahu usiaku tinggal tak lama lagi. Berilah aku sebotol. Minum arak akan menghilangkan rasa sakit yang kuderita," wajah Akung begitu mengharap. Imei tak tega menolak permintaan Papanya. Dengan berat hati ia mengambilkan sebotol arak dari bawah tempat tidur. Ia menuangkan segelas dan menyodorkan pada Papanya.

" Segelas saja, ya, Pa…" kata Imei. " Perut Papa  kosong karena makannya sangat sedikit, dan itu sangat tidak baik jika dimasuki alkohol berkadar tinggi."

" Apa bedanya segelas dan sebotol, Mei. Umurku takkan melewati bulan ketujuh. Saat ini hantu-hantu gentayangan sudah tak sabar ingin menarik rohku  keluar dari ragaku. Kalau aku tak minum sepuasku, mana ada lagi  kesempatan buat minum kalau sudah jadi arwah gentayangan."

" Papa takkan menjadi arwah gentayangan, Aku akan mendupai Papa !" Jeritnya  ketika mendengar pembicaraan Akung yang putus asa. Dalam khazanah kepercayaan kaum Keturunan, orang yang mati dan tidak didoakan secara sempurna akan menjadi roh gentayangan dan sulit terlahir kembali.

" Hanya asap dupa dari anak lelaki yang bisa menenangkan roh orangtuanya, Mei. Itu sebabnya orangtua selalu mendewakan anak lelaki. " Akung menjelaskan

" Kalau begitu, aku akan  mencari dan meminta Koko Luk pulang !" tekad Imei.

" Kokomu takkan pulang. Ia sedang mengejar bayang bayang semu kehidupannya. Biarkan saja. Kalau ia sadar bahwa selama ini hanya mengejar sesuatu secara sia-sia, ia akan pulang sendiri, tak perlu dicari."

" Apa yang harus kuperbuat, Papa ?" tanya Imei bingung menghadapi situasi seperti ini.

" Tak ada, Mei. Kamu sudah melakukan segalanya dengan baik. Aku bangga padamu. Kalau aku mati,  jaga penggilingan baik-baik, serahkan pada Liok Man jika ia pulang.  Asun tak bisa dipercaya. Ia penjudi dan pemabuk.  Ia hanya takut padaku. Selama ini gajinya separo kuberikan padanya, dan separonya lagi kuserahkan pada bibik Kiu secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Kalau kuberikan seluruhnya pada Asun, ia akan pergi ke kota, bermain judi atau main perempuan hingga uangnya ludes. Anak istrinya akan terlantar. Aku harap kamu melakukan hal yang sama, Mei. Akiu adik perempuanku satu-satunya. Aku ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka."

Baru sekarang Imei tahu papanya sangat sayang keluarga. Kalau tidak kenapa repot repot mengurus urusan rumah tangga bibik Kiu.

" Kalau… Paman Amung ?" tanya Imei takut-takut. Ia ingin memancing Papanya bercerita tentang pertikaian  mereka.

" Amung berdarah panas. Dia hanya tahu keinginannya  tak terpenuhi. Belum bisa membedakan yang mana kodrat, yang mana takdir, dan yang mana baik-buruknya sebuah tindakan. Kalau dia mengalami kesulitan, wakili aku membantunya sedapat mungkin." Pinta Akung. Ketenangan wajahnya menunjukkan kebijaksanaan. Imei semakin tahu sifat bijak papanya.

" Aku tak sanggup menanggung beban seberat ini, Pa. Aku masih muda, belum tahu apa-apa. Lagipula aku seorang perempuan. Papa harus terus berusaha mempertahankan hidup  untuk membimbingku." katanya murung tak daya.

" Kamu pasti sanggup, Mei. Kamu sangat tegar. Selama ini kamu telah mengurus penggilingan dengan baik. Itu sudah membuktikan keuletanmu." Akung memberinya semangat, mengelus pipinya. Imei ingin meneteskan airmata. Papanya yang selama ini pendiam ternyata menyimpan banyak kebijakan, dan tampaknya  juga tak ingin bercerita  tentang pertikaiannya dengan Amung. Imei menuangkan gelas kedua, bukan mengharapkan Papanya cepat mati, tapi demi menyenangkan hati Papanya.

" Kenapa papa sepertinya musuhan berat dengan…Sobirin?" tanya Imei dengan hati berdebar debar, takut papanya kumat dan bersikap kasar padanya.

Akung menatap Imei. Tatapan yang lembut. Tak ada kesan murka." Sobirin…..Kinar…ti" desah Akung seperti orang linglung.

" Siapa Kinarti ?" tanya Imei hati hati.

Aku tersenyum simpul. " Kinarti adalah cahaya rembulan….cahaya purnama… " Mata Akung memejam perlahan lahan dengan penuh kedamaian. Imei tak bertanya lagi. Diselimuti papanya dan berlalu dari kamar papanya. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA