Saat melahirkan anak pertama, sebut saja namanya Firman (bukan nama sebenarnya) kebahagiaan langsung menyelimuti perasaan kami, maklumlah kehadiran anak pertama itu sudah kami nantikan selama tiga tahun lebih. Aku yang saat itu memang tak terlalu paham dengan cara-cara merawat dan mengurus bayi, menjadi sasaran omelan dan cercaan ibu mertuaku. Ia menilai aku tak becus merawat anak, hingga membuat anak pertama kami jadi sering sakit-sakitan.
Saat itu aku memang tak bisa berbuat apa-apa, selain merasa bersalah atas ketidak mampuanku, aku juga merasa bahwa apa yang ibu mertuaku lakukan memang sudah sewajarnya. Toh Firman merupakan cucunya juga dan ibu mertuaku punya hak untuk mengasuh dan merawat anakku.
Semakin lama, campur tangan ibu mertuaku dalam mengasuh Firman semakin dalam saja. Ia sepertinya tak rela jika cucunya itu berada sangat dekat denganku, sampai-sampai untuk mengajak Firman jalan-jalan saja harus seijin ibu mertuaku. Aku pernah mengeluhkan tindakan ibu mertuaku kepada suami, tetapi suamiku tak bisa berbuat banyak. Ia hanya menyarankan aku untuk tetap bersabar.
Sampai anakku menginjak usia enam tahun dan saatnya untuk bersekolah, ibu melarangku untuk memamasukan firman kesebuah sekolah pilihanku, ia memaksaku untuk memasukan Firman ke sekolah pilihannya. Setelah sekolahpun aku tak diperkenankannya untuk mengantar dan menjemput Firman, ibu mertuaku berdalih aku tak akan dapat menjaga firman dengan baik, "Kamu di rumah saja, urusi pekerjaan rumah dengan baik, Firman biar ibu yang mengurus," ungkapnya saat itu.
Sedih sekali aku mendengar ocehannya, biar bagaimanapun Firman adalah darah dagingku, aku yang melahirkannya, aku punya hak yang lebih besar dari siapapun untuk menentukan yang terbaik buat anakku. Tetapi ibu selalu saja menghalangiku. Ingin rasanya aku membawa kabur Firman dan memulai hidup yang baru, namun aku tak berdaya. Aku tak bisa meninggalkan suamiku yang begitu menyayangi aku.
Pernah suatu kali aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibu mertuaku, kenapa aku tak diperbolehkan mengurus anakku secara penuh, tak dibatasi dengan peraturan harus ini dan harus itu. Tapi aku mendapatkan jawaban yang semakin membuatku merasa tersisih, "Memang kamu bisa apa, memandikan anak saja kamu tak bisa, apa lagi mendidiknya, sudah untung ibu mau mengurusnya,"
Efek dari semua itu akhirnya membuat hubunganku dengan anakku tak bisa harmonis. Firman selalu saja menyalahkan dan tak mau mendengar apa yang aku sarankan, tetapi sebaliknya ia selalu menuruti kata-kata neneknya, padahal apa yang diajarkan neneknya tak semuanya berdampak baik, Firman menjadi anak yang sangat manja dan keras kepala, ia juga jadi berahlak buruk, tak mau berteman dengan anak-anak yang tidak sepadan dengan keadaannya. Yang serba berkecukupan.
Sampai aku memiliki dua anak, campur tangan ibu mertuaku masih saja terus dilakukan. Ia sepertinya sangat tak rela jika kedua cucunya tersebut mengiikuti apa yang aku nasehatkan. Di rumah, dihadapan anak-anakku aku bukan lagi menjadi seorang ibu, aku layaknya seorang pembantu yang hanya bisa menyiapkan segala keperluan mereka saat hendak berangkat dan pulang sekolah. Mencuci pakaian mereka dan segala hal yang seharunya menjadi pekerjaan pembatu rumah tangga.
Sampai saat ini aku sama sekali tak bisa menanamkan apa yang menjadi keinganku terhadap anak-anakku sendiri. Aku seperti menjadi orang lain dalam lingkungan keluargaku sendiri bahkan mungkin dalam pandangan anank-anakku. Mereka hanya tau apa yang dilarang dan apa yang harus dikerjakan atas perintah dan nasehat neneknya.
Bahkan terakhir, ketika suami dipindah tugaskan untuk jangka waktu yang sangat lama, aku tidak diperkenakan membawa anak-anak kami untuk ikut pindah. Ibu mertuaku tetap bersikeras agar kedua anakku tinggal bersamanya. Padahal sebagai seorang ibu, aku ingin sekali menjaga dan mendidiknya, memeluknya ketika mereka dalam kesusahan, membantunya ketika mereka dalam kesulitan, tapi semua itu tak bisa aku dapatkan. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]