KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 14 Oktober 2012

JANGAN PANGGIL AKU KAKAK

Sebagai sulung, aku merasa memiliki beban tersendiri di pundakku, karena  adikku punya karakter yang agak aneh. Ia tak pernah mau mengalah, semua yang diinginkannya harus didapat, apapun caranya. Namun ibu menganggap hal tersebut wajar dan meminta pengertianku sebagai kakak tertua untuk mengalah.

Kami dua bersaudara, aku dan Lisa adikku. Perempuan-perempuan ibu yang cantik, demikian ibu sering memuju kami berdua. Secara fisik aku memang berbeda dengan Lisa, tubuhku lebih tinggi dengan kulit yang putih, sementara Lisa berkulit gelap dan berperawakan kecil.

Pergaulan kami juga berbeda, aku mempunyai banyak sekali teman, sedangkan Lisa nyaris tak mempunyai teman kecuali satu-dua teman sekelasnya. Prestasi di sekolah juga berbeda, aku hampir selalu meraih 3 besar di kelas dan Lisa selalu memperoleh angka merah di rapotnya, meski ia selalu naik kelas tiap tahunnya.

Aku dan Lisa selalu bersekolah di tempat yang sama, beda usia dua tahun membuat hubungan kami sangat dekat seperti sahabat. Kami sering curhat, menceritakan tentang warna kehidupan kami. Kami saling mengasihi, meski hingga dewasa aku selalu mengalah untuk Lisa.

Suatu saat, ketika kami telah menginjak bangku kuliah aku tertarik dengan pria tampan yang berbeda jurusan di kampusku, Dewa namanya. Kuceritakan ke Lisa bahwa aku naksir Dewa setengah mati dan nampaknya Dewa juga memberi respon yang sama. Tentunya aku bahagia, karena cowok yang kutaksir memberi signal yang sama.

Tapi lain respon yang ditunjukan Lisa. Ia diam tak memberi komentar, bahkan nampaknya tak suka dengan kegembiraanku. Ketika kutanyakan hal tersebut, ia menjawab bahwa ia sudah lama mengincar Dewa. Sedetik kemudian ia menangis sembari mengatakan bahwa ia tak mungkin bersaing denganku karena aku lebih menarik dibanding dia.

Karena terbiasa mengalah, maka langsung kukatakan bahwa aku akan mundur dari Dewa. Kuminta Lisa meneruskan maksudnya mendapatkan Dewa sebagai kekasihnya. Jujur saja, aku sedih, tapi aku harus mendahulukan keinginan Lisa. Aku selalu mengingat petuah ibu yang selalu memintaku mengalah untuk memberi kesempatan kepada Lisa terlebih dahulu.

Dewa ternyata tak merespon Lisa, tapi aku tetap tak boleh mendekati Dewa. Padahal Dewa kerap menitipkan salam untukku lewat teman sekelas. Tapi aku tak membalasnya, hanya karena Lisa menyukai lelaki ini juga.

Hingga akhirnya kami berdua dewasa dan mempunyai karir yang berbeda. Aku memilih menjadi seorang  sales sedangkan Lisa  memilih bekerja di kantor pengacara. Baru setahun bekerja sebagai sales farmasi di kota kelahiranku, Palembang, aku ditawari pindah ke Jakarta. Tentu saja tak kutolak kesempatan ini. Maka pindahlah aku ke Jakarta. Sedangkan ibu dan Lisa tetap tinggal di Palembang.

Dua tahun bekerja di Jakarta, aku berkenalan dengan seorang pria asal Lampung yang bekerja di kantor yang sama denganku, hanya berbeda bagian saja. Setelah berpacaran selama setahun kami memutuskan untuk segera menikah. Pernikahan kami direstui ibu dan diselenggarakan pesta kecil untuk merayakannya.

Seminggu setelah pernikahan, aku kembali ke Jakarta untuk memulai hidup baru sebagai istri Tirta, suamiku, dengan mengontrak sebuah rumah kecil. Baru dua bulan menikah aku sudah hamil, bayangkan bahagianya kami, hingga tepat sembilan bulan kemudian, lahirlah Cornel, putra pertama kami.

Dengan keterbatasan dana yang kami miliki, kami mencoba memakai pengasuh bayi, namun kerapkali pengasuh bayi kami keluar karena tak betah bekerja di rumah kami yang hanya memiliki dua kamar kecil. Aku sering dibuat bingung jika mendadak pengasuh kami meminta pulang, karena aku harus cuti kerja sambil pontang-panting mencari pengasuh baru. Sebenarnya aku ingin keluar dari kerja, namun gaji Tirta tak mencukupi untuk kebutuhan hidup kami bertiga.

Pertolongan itu datang, sekonyong-konyong Lisa menelponku dan akan berangkat ke Jakarta guna mencari kerja, karena ia sudah bosan di Palembang. Ibu mengijinkannya asal Lisa tinggal di rumahku. Untuk sementara aku bernapas lega, karena Cornel ada yang mengurus.

Benarlah, seminggu kemudian Lisa tiba di Jakarta. Sambil mencari pekerjaan, ia juga mengurus Cornel. Aku sangat mempercayai Lisa, karena ia adik kandungku sendiri.

Tujuh bulan Lisa tinggal di rumahku, namun ia belum juga mendapat pekerjaan. Ada yang berubah dengan tubuhnya. Aku melihat ia semakin gemuk dan perutnya juga makin membuncit. Aku curiga Lisa hamil. Kuutarakan kecurigaanku ini pada Tirta,tapi suamiku mengatakan ia tak terlalu memperhatikan perubahan tubuh Lisa.

Di kantor aku makin cemas dengan perubahan tubuh Lisa, aku ijin pulang lebih awal agar dapat berbicara dengan Lisa berdua tanpa diketahui Tirta. Setiba di rumah, kulihat sepeda motor Tirta terpakir di depan rumah, namun tak kulihat Tirta atau Lisa di ruang depan. Berdebar keras hatiku dan mulai muncul kecurigaan bahwa Lisa dan Tirta main gila di belakangku. Dengan perlahan kubuka pintu kamarku. Sebuah pemandangan yang memuakkan hadir di depanku. Tirta dan Lisa bergumul tanpa busana.

Menjerit keras aku melihatnya. Kalap aku memukul dua manusia tak tahu diri tersebut. Mereka benar-benar jahat, penghianat. "Manusia laknat kalian! Perusak rumah tangga!! Pergi dari sini!!!" hardikku keras ke Lisa. Hebatnya Lisa tak mau pergi, ia malah menantangku sembari berteriak, "Kamu yang pergi! Anak yang kukandung ini juga anak Tirta. Aku minta pertanggung-jawabannya untuk menikahiku," teriaknya tak kalah lantang.

Tak terkirakan bagaimana marahnya aku pada Tirta dan Lisa. Aku memutuskan pergi dari rumah itu dengan membawa Cornel dan mengadukan semua kejadian ini ke ibu di Palembang. Ibu menangis, sembari memelukku ia masih saja memintaku bersabar dan mengalah pada Lisa. Segera kutinggalkan ibu, karena dalam kondisi separah ini ia masih tetap membela Lisa, Aku meninggalkan semua keluargaku untuk menyongsong kehidupan baru. Bersama Cornel aku ingin menciptakan kehidupanku sendiri, setidaknya tanpa kebohongan dan kemunafikan semata. [Aida Lim / Magelang] Sumber: Temanku

PESAN KHUSUS

Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id

MENU LINKS

http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA