KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 15 Oktober 2012

KEJUTAN BERBUAH PETAKA

Memasuki sebuah keluarga besar memang sedikit mengagetkanku. Aku yang terbiasa dalam lingkungan sebuah keluarga kecil sempat terperangah. Kakak nomor tiga sempat tidak tegur sapa dengan kakak pertama hanya gara-gara istrinya ikut campur urusan keluarga besar. Istri kakak kedua dimusuhi satu keluarga karena diindikasikan terlalu serakah dan ingin menguasai seluruh warisan.

Aku masuk dalam tatanan keluarga ini dengan baik-baik, sebuah pernikahan yang memang direstui oleh seluruh anggota keluarga ini. Aku berusaha tahu banyak tentang keluarga ini, bukan bermaksud cari muka, setidaknya aku tahu bagaimana harus bersikap dan membawa diri. Sejauh ini semua berjalan lancar. Bisa dikatakan hampir semua anggota keluarga menerimaku.

Masalah justru datang dalam keluarga kecil kami yang masih terbilang pengantin baru. Dalam masa penyesuaian ini kami sering terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil. Aku memang tak pernah mempermasalahkanya, karena menurutku ini hanya sebuah dunia baru dan aku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Jadi, aku tak pernah memikirkannya seberapapun sakit perasaanku. Ada hal yang lebih besar yang ingin aku tunjukan. Aku ingin membuat sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang, aku ingin membentuk keluarga impian yang penuh cinta. Oleh sebab itu aku sangat menantikan kehadiran momongan, karena ia yang nantinya akan melengkapi keluargaku.

Entah karena sudah tidak sabar atau karena faktor yang lain, pertengkaran kecil itu makin kerap terjadi. Sejauh ini aku hanya menganggapnya angin lalu saja. Hingga aku merasa ada yang aneh pada tubuhku. Pinggul dan payudaraku kian hari kian kencang, padahal bukan jadwalku datang bulan. Sementara itu putingku membesar. Aku ingat perkataan seorang teman tentang gejala perempuan hamil. Tapi aku tidak lantas memeriksaka diri. Aku ingin memastikannya sendiri dulu.

Saking sibuknya aku dengan perubahan-perubahan tubuhku, aku sempat terlambat membuatkan minum untuk suamiku. Parahnya aku sempat lupa membuatkannya sarapan, karena aku terserang morning sick. Aku sengaja belum memberitahukan ke suami karena menurutku ini masih terlalu dini. Di samping itu, aku masih ingin menikmatinya seorang diri anugerah ini.

Suatu hari, saking tidak tahannya dengan efek yang terjadi, aku memeriksakannya ke dokter. Aku berangkat sendiri tanpa sepengetahuan suamiku. Aku memang membutuhkan kepastian ketimbang praduga. Hasilnya? Aku positif hamil. Aku sengaja ijin tidak masuk kerja hari itu. Dengan sumringah aku pulang. Sudah terencana dalam kepalaku ingin membuat kejutan buat suamiku.

Sesampainya di rumah, aku langsung membuatkan menu spesial. Aku sempat membeli beberapa kuntum mawar sebagai penghias dinner kami. Surat keterangan dokter aku masukkan dalam amplop khusus dengan hiasan pita dan mawar. Semua tampak sempurna ketika aku mendengar langkah terburu-buru milik suamiku.

Bergegas aku menyambutnya dengan senyum termanis yang kupunya. Tapi semua sirna saat aku memandang wajahnya. Ia menatapku tajam, "Di mana kamu sembunyikan cincinku?" tanyanya dingin. Aku bengong, setahuku ia tak pernah memakai cincin kecuali cincin pernikahan kami. Belum sempat aku menjawab, ia langsung menyemprotku dengan kata-kata yang tak kumengerti maknanya, "Pantas...Sudah kamu jual ya? Makanya kamu masak spesial malam ini."

Aku tak mampu berkata-kata, hanya bengong, hal mana yang membuatnya makin murka. "Katakan dari mana kamu punya uang untuk membeli semua masakan dan hiasan ini?!" Ini untuk pertama kalinya ia menghardikku dengan suara tinggi. Sebelumnya tiap kali kami bertengkar, kami sengaja mengecilkan suara agar tidak terdengar anggota keluarga yang lain. Saking kagetnya aku sampai merapat ke dinding, berharap bisa menghilang dengan tiba-tiba. "Aku tidak beli, aku memasaknya sendiri dan hiasan itu juga aku membuatnya sendiri," jawabku terbata-bata.

Jawaban yang salah, karena justru membuat suamiku makin marah. Dengan kasar, diseretnya aku hingga keluar rumah. Otomatis ini jadi tontonan gratis seluruh anggota keluarganya. "Kalau kurang uang belanja bilang!! Jangan cincinku yang kamu jual! Cincin itu punya nilai historis, itu cincin kesayanganku!!" teriaknya sembari melemparku ke tengah halaman. Aku merasa semua orang melihatku seperti pesakitan. Pada saat yang bersamaan, ada yang berontak dalam perutku. Sakit, tapi sakitnya tak separah sakit hatiku. Aku masih bisa bertahan. Aku hanya terduduk di halaman dihujani caci maki suamiku tanpa bisa membela diri. Padahal aku sama sekali tidak tahu bentuk cincin yang dimaksudkannya.

Seseorang tiba-tiba datang. Ersa, adik bungsu suamiku dengan tergopoh-gopoh menghampiri kakaknya. "Bang, cincinnya belum bisa dibersihin hari ini. Tokonya masih tutup," tuturnya tanpa rasa berdosa sembari mengangsurkan cincin pada suamiku. Aku tidak menyalahkan Ersa, karena ia tidak pernah tahu apa yang tengah terjadi saat itu.

Ketika ia melihatku terduduk di halaman ia baru menghampiriku. "Mbak, kenapa duduk di sini?" tanyanya heran. Nadya, keponakan suamiku yang lebih dulu berteriak, "Makanya kalo ada apa-apa tanya dulu, jangan langsung nuduh," Sebuah teriakan yang lebih tepat ditujukan untuk suamiku.

Sementara aku masih terduduk menahan sakit yang luar biasa di perutku. Sekilas aku melihat suamiku datang menghampiriku, memegang bahuku seraya mengucapkan maaf. Kata maaf yang terdengar lirih di telingaku tentunya tidak seimbang dengan makian yang telah ia lontarkan padaku. Sembari meringis menahan sakit, aku memandang wajahnya. "Ucapkan kata maafmu sama lantang dengan caci maki yang barusan kamu lontarkan," pintaku dingin. Aku melihat suamiku hanya terdiam, tertunduk. "Kenapa? Kamu malu mengatakannya, tapi kamu tidak malu memperlakukan istrimu seperti ini?" tanyaku lagi.

Suamiku makin tertunduk, kerumunan keluargaku belum beranjak dari tempatnya. Sementara hanya Ersa dan Nadya yang berada di dekatku, memegang tubuhku yang makin bergetar. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku."Aku sengaja masak spesial malam ini karena aku ingin memberikan sebuah hadiah spesial buatmu. Aku positif hamil enam minggu. Jika terjadi sesuatu dengan janin ini karena perlakuanmu tadi, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Aku sempat melihat suamiku kaget dan berlari ke arahku sembari berteriak, "Honey, maafkan aku..."

Aku sudah tidak mendengar lagi kata-kata suamiku selanjutnya. Aku merasakan selangkanganku basah dan sakit itu sudah tak bisa kutahan. Aku pingsan. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah Nyata
 
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah

PESAN KHUSUS

Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA