KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 07 Februari 2011

DEWA PUISI - LI BAI

Li Bai yang berbangsa Han dilahirkan pada tahun 701 dan meninggal pada tahun 762 Masehi. Ia yang bergelar "Qing Lian Ju Shi" (Penghuni di tebing Danau Bunga Teratai Hijau) masih memiliki nama sampingnya, yaitu Li Tai Bai.

Li Bai diakui sebagai penyair romantis yang gemilang pada zaman Dinasti Tang. Karya-karyanya bergaya terbuka hati dengan dipenuhi khayalan yang beraneka macam. Ia mahir memilih kata-kata yang sesuai dengan nada yang diperlukan sehingga berhasil membuat karya puisinya seolah-olah suatu karya musik. Jika dilihat dari segi keseluruhan, karya ciptaan Li Bai selalu diibaratkan sebagai batu permata yang alami.

Demi mewarnai karyanya, Li Bai sering menimba bahan-bahan dari balada dan mitos tradisional Cina. Keberhasilannya dalam bidang puisi romantis menempatkan beliau pada satu posisi yang setinggi dengan Qu Yuan, sastrawan yang tersohor yang hidup pada zaman Periode Negara Perang, sekitar seribu tahun sebelum Li Bai. Kedua mereka diakui sebagai pendorong utama dalam mengembangkan puisi romantis pada zaman kuno di Cina.

Jika hanya menilai pencapaian puisi pada zaman Dinasti Tang, Li Bai diberi posisi yang setinggi dengan Du Fu, penyair yang cemerlang yang pandai menghasilkan karya yang berunsur sejarah. Kedua mereka disebut "Li Du".

Ada seorang lagi penyair yang mungkin dapat dibandingkan dengan Li Bai, yaitu Li He. Ia juga mahir menghasilkan karya yang berunsur romantis dengan menggunakan kata-kata yang berlebih-lebihan untuk menciptakan khalayan yang luar biasa. Cuma, karya-karya Li Bai terlihat alami, yaitu tidak melihat efek yang sebuah rekayasa, sedangkan Li He cenderung memilih-milih kata untuk mereka-rekakan karyanya.

Li He masih suka mengisi cerita sejarah atau pepatah dari tokoh ternama ke dalam karyanya sehingga karyanya terlihat penuh dengan unsur "kesengajaan". Proses menghasilkan puisi yang dilakukan oleh Li He dapat dianggap "berhempas pulas menggunakan setiap titik peluhnya", tetapi proses yang dilakukan oleh Li Bai dianggap "sebebas-bebasnya".

Padahal, pencapaian kedua orang Li Bai dan Li He dalam bidang puisi tidak mungkin dinilai pada taraf yang setimpal.

Nenek moyang Li Bai berasal dari Cheng Ji, Longxi (Kabupaten Qinan, Provinsi Gansu sekarang). Pada tahun terakhir di zaman Dinasti Sui, yaitu tahun 617 Masehi, keluarga Li Bai berhijrah ke Kota Suiye di Asia Tengah (Tokmok, bagian utara Kirgizstan sekarang). Katanya, Li Bai lahir di sana.

Ketika Li Bai berumur 5 tahun, keluarganya pindah ke Kabupaten Zhangming, Kota Mianzhou (Kabupaten Jiangyou, Provinsi Sichuan sekarang).

Li Bai mulai berjalan ke luar Provinsi Sichun pada usia 20 tahun, dan menjelajah ke area yang sejauh ke Danau Dongting dan Sungai Xiang di selatan, dan negeri Wu dan Yue di timur. Ketika itu, ia memilih tinggal di Anlu (Kabupaten Anlu, Provinsi Hubei sekarang).

Li Bai ingin mengenal teman baru dan bergaulan dengan kalangan elite dalam Penjelajahannya, dengan tujuan mutlak direkomendasikan oleh seseorang tokoh ternama untuk diangkat ke jabatan tinggi dalam pemerintah. Dengan demikian, ia barulah mungkin merealisasikan cita-citanya dalam bidang politik.

***

Namun, eksplorasi Li Bai yang dilakukannya selama 10 tahun tidak mendatangkan apa-apa hasil pun. Setelah itu, ia melanjutkan Penjelajahannya sejauh ke Tai Yuan dan Chang'an di utara dan negara Qi dan negeri Lu di timur. Pada waktu itu, Li Bai memilih menginap di Rencheng, Shandong (Kota Jining, Provinsi Shandong sekarang). Sejak itulah, Li Bai sudah mengenal banyak tokoh ternama, dan menghasilkan karya yang cemerlang dalam jumlah yang besar. Nama "Li Bai" sudah mulai meniti di bibir rakyat Tiongkok berkat bakatnya yang besar dalam bidang menghasilkan puisi.

Pada tahun pertama dalam zaman Tianbao Dinasti Tang (pemerintahan Raja Xuanzong), yaitu tahun 742 Masehi, Li Bai dapat direkomendasikan oleh Wu Renjun, seorang penganut agama Tao yang bergengsi tinggi ketika itu, dan disebut oleh Raja Xuanzong masuk istana. Kemudian, beliau diangkat oleh beliau untuk menjabat "Hanlin".

Tidak lama setelah itu, Li Bai terpaksa meninggalkan ibukota Chang'an pada sekitar tahun 744 atau 745 Masehi karena difitnah oleh beberapa bangsawan yang bertikai dengannya. Ia turut berhijrah ke area aliran sungai Yangtze dan sungai Huai, dengan hidup dalam ribuan gelisah.

Pada musim dingin tahun 755 Masehi yang juga dikenal sebagai tahun ke-14 zaman Tianbao Dinasti Tang, An Lushan, seorang pejabat yang menjabat Gubernur ketika itu melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Sementara Li Bai, yang sedang bertapa di Gunung Lu pada waktu itu, diundang oleh Pangeran Yong, Li Lin yang memimpin pasukannya menyerang dari timur untuk mematahkan pemperontakan An Lushan. Kemudian, Li Bai dapat melayani dalam tentara Li Lin. Cuma, pada suatu ketika setelah itu, Li Lin memberontak kepada Raja Suzong sehingga kerusuhan yang dilancarkannya dihapus oleh Beliau. Li Bai, sebagai salah seorang pengikutnya, juga ditangkap dan dijatuhi hukuman dibuang ke Yelang (di provinsi Guizhou sekarang). Tetapi, ia cukup beruntung karena dapat menikmati amnesti pada pertengahan perjalanan ke destinasti itu.

Setelah dibebaskan dari menjalankan hukuman, Li Bai demi aktivitasnya di Xunyang (kota Jiujiang, Provinsi Jiangxi sekarang) dan (kota Xuancheng, provinsi Anhui sekarang). Ia meninggal di Kabupaten Dangtu, Provinsi Anhui pada tahun 762 Masehi, yaitu tahun pertama dalam zaman Raja Daizong.

Li Bai hidup pada fase yang paling makmur dalam zaman Dinasti Tang, dan berfokus segala tenaganya untuk merealisasikan cita-citanya yang mulia untuk memajukan negara. Karya-karyanya tidak hanya mencerminkan ekonomi yang makmur saat itu, tetapi juga mengungkapkan kekotoran politik yang ada dalam golongan pemerintah. Li Bai berani membuat sindiran yang tajam terhadap kaum elite dan berjuang melepaskan diri dari belenggu apa yang disebut "kesantunan masyarakat". Ia giat mengejari kebebasan dan sama sekali tidak beranjak dalam usaha yang gigih untuk merealisasikan cita-citanya.

Jika dilihat dari segi kesenian, karya-karya Li Bai penuh dengan khayalan yang segar dan mengejutkan, penuh dengan emosi yang meluap-luap dan gambaran-gambaran yang ditunjukkannya indah lagi megah. Ia pandai memilih kata-kata yang singkat dan tepat sehingga membentuk gayanya tersendiri yang terbuka hati. Pencapaiannya dalam bidang puisi membantu mendorong seni puisi yang bersifat romantis pada zaman kuno ke satu tingkat yang belum pernah begitu tinggi dalam sejarah Tiongkok.

Jumlah karya ciptaan Li Bai sudah diidentifikasi sebanyak lebih 900 buah, dengan yang paling terkenal adalah "Album Li Tai bai".

***

Sejak kecil lagi, Li Bai sudah pun memiliki sifat yang terbuka hati dan berminat pada kegiatan perdebatan. Aktivitas agama Tao agak makmur di Kawasan Mianzhou, yaitu tempat tinggal Li Bai. Keadaan itu sudah ada sejak akhir zaman Dinasti Han yakni sekitar tahun 200 Masehi. Pada zaman remajanya, Li Bai selalu mengunjungi kuil Tao di Gunung Daitian untuk meminta tunjuk ajar dari para penganut agama itu. Pada suatu waktu ketika itu, Li Bai bersama seorang petapa yang dikenal "Dong Yanzi" bertapa di Gunung Mian untuk berfokus segala perhatian terhadap pembelajarannya. Mereka tinggal di area gunung, dan lama tidak masuk ke kota.

Di area hutan yang mereka berhuni, Li Bai dan Dong Yanzi telah memelihara banyak burung liar yang cantik, tetapi aneh-aneh. Burung-burung itu sudah biasa dengan kedua orang yang memberikan makanan kepada mereka, dan pasti terbang datang mencari makanan di tempat yang tetap apabila dipanggil oleh Li Bai dan Dong Yanzi dengan panggilan yang tertentu, malah seolah-olah dapat mengerti apa yang dituturkan oleh manusia. Kadang-kadang, burung itu masih berani bersinggah di tangan pemelihara untuk makan padi yang tersedia, yaitu sudah berjinak dengan pemelihara mereka.

Hal itu tersebar dalam lingkungan yang luas dan juga dianggap sebagai kabar aneh sehingga banyak orang terpikat termasuk gubernur yang memerintah di area Mianzhou. Ia begitu tertarik, lalu memutuskan bertolak ke area gunung itu untuk melihat bagaimana burung yang dipelihara Li Bai itu mencari makan.

Setelah menyaksikan proses mencari makanan yang dilakukan burung tersebut, si gubernur itu menganggap Li Bai dan Dong Yanzi sudah menguasai suatu kemampuan yang luar biasa yang hanya dimiliki dewa, dan merekomendasikan kedua mereka mendaftar nama untuk menduduki ujian sponsor pemerintah yang bersubjek Tao .

Namun, kedua petapa Li Bai dan Dong Yanzi terus menolak saran yang dikemukakan oleh si gubernur itu.

Li Bai masih memiliki seorang lagi sahabat karib, yaitu Zhao Rui, seorang anggota debat yang terkenal pada zaman itu. Pada tahun 716 Masehi yang juga dikenal sebagai tahun keempat zaman pemerintahan Raja Kaiyuan, Zhao Rui sudah menghasilkan sebuah buku yang berjudul "Chang Duan Jing" yang berjilid sepuluh. Li Bai baru masuk usia 16 tahun ketika itu.

Buku "Chang Duan Jing" ciptaan Zhao Rui itu berfokus pada penelitian terhadap perbedaan antara enam kitab yang terkenal, memberikan analisis yang terliti terhadap situasi saat dan menguraikan hukum-hukum tentang kebangkitan atau kemerosotan negara. Buku yang mengutamakan perdebatan itu menimbulkan minat besar dari Li Bai. Cerita yang terjadi selanjutnya membuktikan bahwa Li Bai benar-benar terpengaruh oleh buku itu karena setelah itu, beliau lama-kelamaan memupuk cita-citanya untuk mengembangkan karir yang mulia, dan berminat menghebohkan pandangannya terhadap urusan politik.

Istri pertama Li Bai bernama Xu, dan beliau meninggal agak awal. Setelah itu, Li Bai memperisterikan Zong. Li Bai kesemuanya memiliki tiga orang cahaya mata, diantaranya seorang anak lelaki dan seorang perempuan adalah kelahiran Xu. Anak lelaki satu bernama Boqin, dan selalu disebut "Ming Yue Nu" dalam keluarganya, sementara anak perempuan Li Bai diberi nama "Pingyang". Li Bai masih memiliki seorang putra lagi yang dilahirkan oleh istri keduanya. Pasangan Li Bai memberikan nama "Poli" ke anak itu.

***

Istri pertama Li Bai adalah diperkenalkan oleh dua orang temannya, Hu Ziyang dan Ma Zhenggong ketika Li Bai tur dalam Anlu, Provinsi Hubei pada tahun 727 Masehi. Istri itu sebenarnya adalah cucu mantan Perdana Menteri, Xu Weishi. Selama selama 10 tahun setelah Li Bai memperisterikan Xu, penyair itu terus tinggal di rumah orang mertua. Rasanya tertekan karena bukan tinggal di rumah sendiri. Ia menunjukkan sikap yang bertanggung jawab terhadap perkawinan pertama itu yang mendatangkannya dua orang cahaya mata, seorang pria dan seorang perempuan.

Li Bai memiliki kekasih pertama pada tahun 739 Masehi, yaitu 12 tahun setelah pernikahan pertamanya, atau setahun setelah istri pertamanya meninggal. Ia hidup bersama dengan kekasih yang bernama Liu itu, dan pernah membeli sebuah rumah di Provinsi Anhui untuk Liu. Tetapi, kedua mereka berpisah tidak lama kemudian dengan alasan yang kurang jelas.

Istri kedua Li Bai adalah seorang penduduk kota Rencheng, Provinsi Shandong. Li Bai menjelajah di sana pada tahun 745 Masehi. Pada waktu itu, Li Bai baru meninggalkan ibukota Chang'an dengan membawa sekantung besar intan emas. Ia bersama-sama dengan Du Fu dan Gao Shi, dua orang penyair yang tersohor ketika itu, memilih tur dalam Shangqiu, Provinsi Henan, lalu menginap di situ dalam jangka waktu yang agak panjang.

Setelah berpisah dengan kedua orang teman tersebut, Li Bai bertolak ke Gunung Tai di Provinsi Shandong untuk menduduki ujian Daolu. Ketika dalam Kota Rencheng, Li Bai merasa agak sepi dan kebetulan dapat bertemu dengan seorang perempuan yang ia cepat jatuh cinta dengannya. Mereka terus mendaftar untuk menikah dan pernikahan juga membawa seorang putra mereka. Kemudian, Li Bai membeli banyak tanah di kota Yanzhou, Provinsi Shandong, dan memberikan mandat kepada istri keduanya untuk menangani tanah itu ketika beliau menjelajah di tempat lain.

Ini mencerminkan bahwa Li Bai sangat mempercayai istri kedua itu. Cuma, malangnya isteri itu meninggal hanya lima tahun saja setelah mereka berumah tangga.

Isteri ketiga Li Bai bernama Zong, cucu Zong Cheke, yaitu Perdana Menteri saat pemerintahan Ratu Wu Zetian. Li Bai mengenalinya ketika menjelajah di kota Kaifeng, Provinsi Henan pada tahun 750 Masehi. Konon, pengalaman Li Bai mengenali istri itu bercorak romantis. Pada waktu itu, Li Bai minum terlalu banyak arak sampai menjadi mabuk di Taman Liang. Tiba-tiba, ia memiliki rasa ingin menghasilkan sesuatu dalam bentuk puisi, lalu menulis "Liang Yuan Yin" pada dinding taman itu. "Liang Yuan Yin" adalah sebuah puisi yang dapat tersebar dalam lingkungan yang luas pada zaman berikutnya.

Setelah menulis karyanya di dinding taman itu, Li Bai barang-kali buang air kecil di satu sudut dinding, kemudian, baru meninggalkan tempat itu dalam keadaan mabuk.

Tidak lama setelah itu, Cik Zong dan pelayannya berjalan dalam tempat itu, dan juga terpikat oleh puisi "Liang Yuan Yin" yang ditulis oleh Li Bai pada dinding itu. Cik Zong sangat suka puisi itu dan membacanya berulang-kali, dengan hanya berdiri di sana, tidak mau berjalan lagi.

***

Kebetulan, seorang tukang sampah yang bertugas menjaga kebersihan di Taman Liang menampak puisi itu, dan menganggap tulisan pada dinding itu sebagai tulisan cakar ayam. Beliau cepat-cepat bertindak mahu menghapuskan "kekotoran" itu. Tetapi, Ci Zong yang sudah tertarik oleh puisi itu enggan karya yang dianggap cemerlang itu begitu cepat dihapuskan. Cuma, permintaannya sukar disetujui oleh si tukang sampah itu, kerana dia akan didenda gajinya jika gagal memelihara kebersihan pada dinding dalam taman itu.

Dengan demikian, Cik Zong yang begitu suka puisi "Liang Yuan Yin" terpaksa membeli tembok yang tertulis puisi itu dengan membelanjakan seribu unit emas.

Begitulah datang pepatah "Membeli tembok dengan seribu unit emas".

Menurut catatan dari banyak buku sejarah, Cik Zong disifatkan sebagai seorang gadis yang cantik lagi berpengetahuan luas, tambahan pula, seorang penganut agama Tao yang berbakti. Beliau dan Li Bai mempunyai kepercayaan dan minat yang hampir serupa, khususnya pada aspek kesusasteraan. Ini merupakan percintaan yang sebenar yang pertama yang dialami Li Bai.

Bagaimanapun, barang kali kepercayaan lebih penting daripada percintaan, menurut pandangan Cik Zong. Ini dicerminkan dari tindakannya pada tahun 761 Masehi. Beliau memutuskan untuk berpisah dengan Li Bai, lalu bertolak menuju ke Gunung Kuang untuk melanjutkan pengajiannya tentang Taoisme.

Li Bai yang terpaksa tinggal kesendirian, berasa begitu sepi, lalu memutuskan tidak berkeluarga lagi. Mungkin bagi seseorang lelaki, sekali sahaja percintaan yang sejati sudah cukup untuk sepanjang umur hidupnya.

Ketika berumah tangga dengan Li Bai, Cik Zong telah beberapa kali bertindak menyelamatkan Li Bai, khususnya apabila suaminya terperangkap dalam kes tentang perkhidmatannya dalam kerajaan Li Lin. Memang tiada apa-apa rasa kesal lagi bagi Li Bai sepanjang umur hidupnya disebabkan mendapat seorang perempuan yang begitu mengambil kira keselamatannya, dan pernah menumpukan segala cinta terhadapnya.

Seawal tahun 725 Masehi, iaitu tahun ke-13 pemerintahan Raja Kaiyuan Dinasti Tang, Li Bai memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya di Shu (Provinsi Sichuan sekarang, bahagian barat daya China), lalu memulakan penjelajahannya ke tempat-tempat yang beliau meminati. Li Bai memilih jalan melalui Tiga Gaung di Sungai Yangtze dengan menaiki kapal. Semua pemandangan yang dilaluinya lama-kelamaan menjadi asing belaka, kerana kampung halamannya sudah jauh ditinggalkan. Yang masih mengiringi Li Bai itu hanya air sungai Yangtze sahaja, yang mengalir deras mendorong kapal yang dinaikinya ke bandar pertama yang beliau singgah, iaitu Jiangling.

Li Bai memang tidak menjangka dapat bertemu dengan seorang tokoh ternama di bandar Jiangling. Tokoh itu bernama Sima Zhen, seorang penganut agama Tao yang amat dihormati oleh tiga raja secara turun temurun ketika itu. Sima Zhen yang tinggal di Gunung Tiantai, bukan sahaja hafal ilmu Taoisme dan ilmu ghaib yang berkaitan, tetapi juga cemerlang pada aspek kaligrafi dan puisi. Puisi yang dihasilkannya bercorak romantik seolah-olah ciptaan dewa-dewi.

Raja Xuanzong yang amat menghormati Sima Zhen pernah memanggilnya ke ruangan kediaman di istana untuk meminta tujuk ajar tentang ajaran dari Kitab Tao. Selain itu, baginda masih membina satu kuil yang disebut "Yang Tai Guan" untuk digunakan Sima Zhen dan mengatur adik perempuan ipar baginda mengikuti beliau mempelajari kitab Taoisme. [Mei-Ing]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA