Seteguk kopi ‘luwak’ dituangkan. Aku menyeruput lahap, karena aku tahu sampai malam tiba aku tidak akan mendapati hidangan lain. Aku ingin menemui seorang renta yang seharinya bingung mencari bantuan memasukkan benang pada lubang jarum untuknya menyulam. Dia nenekku, Ibu dari Ibuku. Kata orang, renta yang satu ini sangat menakutkan. Ketika malam telah menelan bulan, banyak orang melihatnya lalu lalang di kuburan dekat desa. Mungkin itu sebabnya Ibu memilih meninggalkannya sendiri. Membiarkannya usang, melewati renta pada malam yang semakin tua. Pun itu alasannya, mengapa aku tak pernah bersua dengan nenekku, dadong Kembang.
Aku menunggu, tergolek sendiri. Berharap suara hentak kaki yang kucari melintas. Potret diri bergambar wajah nenek 21 tahun lalu, masih kugenggam. Kata Ibu, hanya itu satu-satunya kenangan yang masih melekat tentang nenek. Jemariku tergerak untuk melukis di bawah temaram, mencoba menerka wajah renta yang kutunggu. Tentu aku tak lupa memberi tahi lalat di ujung pelipis nenek, sebagai tanda bahwa itu memang nenek. Namun aku melukiskan wajah seorang nenek, bukan Ibu muda lagi seperti gambar di foto itu.
Mengusir jenuhku, kucoba menyulut kretek, membayangkan nenek akan datang sebentar lagi. Aku mengamati lebih jauh tempat persinggahanku. Bersandar pada langit malam. Tanpa bintang,sungguh desa tak bertuan, hingga malampun semakin tua di tempat ini. Gulma yang menggunung membuatku tak leluasa memandang. Aku sedang mencari mahluk hidup diantara yang mati. Seorang nenek yang hobi jalan malam di kuburan. Mungkinkah dia datang? entahlah...
Menghirup dingin bunga-bunga api sambil memandang sebuah papan lusuh yang telah dijamah belukar di sekelilingnya. Papan yang tak tegak itu bertuliskan ‘Krama Subak Desa Giri Putri’ subak yang dibangun untuk pengairan sawah kini telah mengering, ditumbuhi daun-daun bambu yang gelisah. Tinggal menunggu waktu, desa ini sebentar lagi akan mati. Aku ingin mendengar nenek bernyayi untukku. Aku ingin dirangkul, singgah sambil cicipi bubuh sumsum, bubur yang hijau karena aroma daun suji. Selain nenek, makanan khas desa Giri Putri ini yang membuat Ibu selalu kangen untuk kembali.
Air mata yang menetes cepat kuhapus. Takut jejak langkah yang kudengar barusan mendapati kesedihanku. Kuamati dengan saksama. Berlari sedikit agar lebih jelas. Mengintip lewat cahaya bulan setengah penuh. Suara renta itu memenuhi seluruh harap. Aku melihat nenek berjalan perlahan, mendekati kuburan yang letaknya menepi. Belum dapat kupastikan itu nenekku. Wajahnya tampak pucat. Sepertinya ia berlagu, lagu kesedihan. Ingin aku mendengarnya lebih jelas. Ya…nenek itu berkulum air mata. Semalam hatiku dikuliti perih, dusta bila hari ini aku tak hapus air mata itu. Aku mendekat, sama sekali tak muncul rasa takut.
"Dadong," sapaku kecil. Nenek itu masih tertunduk. Mengelus timbunan tanah yang mulai mengering. ‘sedang apa di sini malam-malam?’, tanyaku sekali lagi. Ia terperanjat, lalu memelukku. Tubuhnya yang rapuh begitu melekat. Ia mendekapku, seperti kali pertama bertemu manusia. Aku merasa, kini ia terlindung dari rasa murung.
"Apa cening (panggilan untuk seorang anak) tidak takut padaku?"
"Buat apa takut dadong, aku sengaja mencarimu di tempat ini, sudikah dadong menjamuku? Beberapa dialog berhasil kami lantunkan sebelum nenek itu mengajakku singgah. Tatap matanya penuh sisa senja. Aku tahu dia yang kucari. Lihat saja tahi lalatnya, sama seperti sketsa wajah yang baru saja aku sudahi. Tak terlukis bahagia ini. Ingin kusentuh bibirnya yang pecah, mendekapnya lebih jauh. Kasian nenekku yang sendiri. Pun jika ia mengijinkanku bermalam di rumah tua ini, aku ingin membisikkan ‘dadong tak sendiri, aku telah kembali."
Dalam sunyi perbincangan kami, nenek itu kembali mengurai air mata. Kuburan yang selalu didatangi adalah kuburan bayi yang gagal diselamatkan oleh nenek saat membantu proses persalinan seorang remaja. Asa feodal masih mengental di desa Giri Putri ini, karmaphala akan menghakimi perbuatan amoral yang terjadi. Itulah sebabnya orang-orang termasuk Ibuku bergunjing nista pada nenek. Mereka menyebut nenek dukun beranak dan mengguna-gunai orang. Irama yang senantiasa tak terpahami mulai menyusup dalam jelaga hatiku. Ingin kucium pelipis nenek, menguatkan sisa senja yang ia punya. Jemari keriputnya bergetar, menunjuk sebuah gambar, katanya itu suami nenek, mangku (pendeta) Suamba. ‘Dia juga korban tuduhan warga sekitar. Dia telah mati, nak. Meninggalkanku sendiri’ Seteguk teh hangat urung ku minum. Mengapa Ibu tak pernah bercerita tentang kakek? Aku memeluknya, membiarkannya mengeja kesedihan itu.
***
Kelam itu telah tiba. Dadong terlelap mendekap mangku Suamba. Itulah kali terakhir menemani suaminya tertidur. Suara hentak kaki menyerobot masuk. Seperti tergesa-gesa, hingga membangunkan sepasang yang sedang tertidur. Belum sempat mengintip, mangku Suamba telah diseret dua pemuda berwajah binal. Dadong melihat tubuh suaminya meronta, melawan, bahkan dadong berteriak kencang di malam itu. Sayang desa ini membisu. Tubuh mangku telah lumpuh, kemudian diseret paksa mendekati dua orang lainnya yang menunggu di depan pintu. Dadong diajaknya ikut serta mengiring luka jalan untuk berserah. Dadong tersendat, menahan tangisnya. Aku melarangnya untuk lanjutkan cerita kelam itu, namun ia menolak. Dengkur malam menguatkannya. Aku siap untuk dibagi duka. Gundah diri sudah membumbung. Ingin aku utarakan jati diri. Kerling dadong itu menyurutkan emosiku. Perlahan ia memulai lagi.
Nyanyian kematian berlagu saat tubuh mangku dibacok parang. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali, hingga darahnya muncrat tepat di wajah dadongku itu. ia menjerit dalam sunyi. Ingin memapah suaminya tegak, di jiwa yang tersisa. Dadong berupaya melepaskan diri, meraih suaminya yang bersimpa darah. Sempat mangku menasehati dadong untuk berlari. Sayang, itu tak dilakukannya. Sukma renta itu telah lapuk. Dadong menantang untuk ikut dibunuh. Kelompok tameng itu berlalu menertawakan kebisuan yang telah mati.
Aku tertunduk. Siapa kelompok tameng yang dimaksud nenek? Aku ingin membuat ladang darah untuk mereka. Benarkah Ibu tak pernah tahu akan hal ini? Lalu dimana suara keadilan? Gelisahku berlagu lagi. Arloji sudah menunjukkan pukul 4 pagi, tapi dadong tak jua merebahkan diri. Ia mencari-cari sesuatu diantara lipatan baju. Ia menyuguhkan amplop coklat, masih terbungkus rapat, seperti barang berharga yang disimpan nenek. Mungkin itu satu-satunya yang berarti di rumah ini. Isinya sebuah surat. Nenek ingin aku membacanya dengan keras, dengan suara lantang.
***
Surat itu ternyata panggilan dari pengadilan negeri di kota. Meminta nenek untuk menjadi saksi atas kasus pembunuhan berencana. Namun, tanggal pemanggilan itu telah berlalu 2 tahun lalu. Tuhan…mengapa kau biarkan nenek menungguku terlalu lama? Bagaimana ia mengerti tentang keadilan? Termangu menatap wajahnya yang kiam suram. Mengapa aparat tetap diam? Seolah nyawa adalah barang biasa. Bedebah sungguh negeri ini. ‘dadong, ini surat tentang sebuah tempat yang akan membuat para biadab pembunuh itu jera’, begitu penjelasanku padanya. Belum sempat ia menjawab, tubuhnya telah tertidur di pundakku. Kami berpegang tangan. Kutitip duka tanah dewata lewat malam yang sebentar lagi akan berlalu. Meski terluka, aku harus tetap terbang; memasung ketidakadilan.
Angin sepoi membangunkan daun-daun muda yang menggeliat dicium embun. Semula aku berencana membangunkan nenek dan membuatkannya kopi hangat. Justru terbalik. Hidangan bubuh sumsun yang kutunggu dari kemarin sudah siap. Sebentar lagi aku akan melewati tlabah (parit kecil), tempat pembersihan diri di desa ini. Setelah aku rapi, kutuju si renta yang sedang menyulam. Ia nampak mencari seberkas cahaya, namun aku cepat mengulurkan bantuan;memasang benang pada jarumnya. Kusentuh kain kebaya jadul yang ia kenakan. Sudah berbulu dan warnanya usang. Aku keluarkan kain yang sudah kupersiapkan sebagai hadiah pertemuan ini. Aku memakaikan kain itu. sungguh, dadong ini begitu kharismatik. Rambutnya yang menggumpal, kuluruskan. Memberi aksen pada wajahnya agar tidak pucat. Tinggal memasangkan sepatu tingklik. Aku akan menggenggam tangannya, sejenak lari dari kungkungan desa adat.
Kami akan ke kota. Mempertanyakan keadilan yang tertunda. Sepasang camar mengangguk pilu pada kami. Pada waktu kusisipkan bayanganmu Tuhan. Aku telah sampai di tempat yang tertulis pada surat itu. yang kulihat hanya patung-patung, seperti pula pertapa yang lupa cara bersemedi. ‘Permisi, dimana aku bisa mendapat informasi tentang kasus pembunuhan Pak?’, suaraku bagai debu. Jangankan membalas, senyumpun tidak. Telah kuduga keadilan itu gagu, tuli, bisu. Kusembunyikan air mataku, menuntun nenek melihat danau ujung, danau yang ingin dituju nenek. Seperti biasa; ia mengingat kembali masa-masa indah bersama Ibuku, melantunkan sebuah tembang yang sulit kuterjemahkan, namun sedikit yang kutangkap, nenek teramat menyayangi Ibuku.
Lamunanku melangkah lirih. Mengeja hidup nenek lewat kata-kata berantakan yang kutuliskan. Tak sempat aku mengeditnya atau berusaha mempercantik. Hari sudah senja, namun aku belum menemukan warnet terdekat sepanjang desa ini. Ya…ingin kukirim berita ini pada Ibu. Beruntung seorang karyawan toko di kota akan bekerja sore itu. sudahlah..ku putuskan untuk menitipkan tulisan itu. Memberinya 2 lembar seratus ribuan, membuat pria itu tersenyum cuma-cuma.
***
Beberapa hari di desa ini membuatku menyukai tlabah, bahkan aku mandi berjam-jam lamanya. Telah cukup segar, aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Berharap nenek akan memarahiku dan mengusap rambutku perlahan. Aku tercengang…nenek dibawa beberapa pria naik mobil jip. Segera kususul, namun lariku tak setangguh kijang. Langit seolah menghilang, aku berteriak meminta nenekku kembali. Dalam pencarianku, aku membaca kabar bayang…seorang nenek tua ditemukan terlindas mobil. Ku kenal tahi lalat itu, dia nenekku. Dadong kembang yang sukses menari pilu…terus menari bersama perih yang menggunung.
Disalin oleh: Chen Mei Ing