Baru setelah tiba di kantor Harry menyempatkan diri melihat-lihat lagi Blackberry yang tergeletak di atas meja. Ada beberapa pesan singkat, berupa SM dan BBM, adapula surat elektronik. Dia menggeleng. “Jadi repot banget jadinya,” pikirnya.
Sebenarnya dia lebih suka menggunakan telpon seluler sederhana, sekadar bisa menelpon, mengirim pesan singkat. Ditambah ada kamera untuk memotret, bagi dia opsional, bisa ada, boleh tidak ada. Tapi karena kebijakan di kantor, Harry pun terpaksa memodernisir diri.
“Ini wajib dipakai karena bermanfaat untuk pekerjaan. Jadi tidak usah dibantah,” kata bossnya berlagak serius. “Sudahlah, teknologi semakin baju, ketinggalan zaman kamu nanti bila dalam soal sekecil ini saja sudah defensif.”
Setengah enggan Harry bersedia menerima alat kerja itu. Memang benar, karena dia bisa mendapat laporan berupa tulisan maupun gambar lebih mudah. Mengakses internet tanpa kesulitan. Dapat dengan gampang mengecek keberadaan anak buah. Meski sebagai akibatnya, dari menit ke menit dia seperti dikejar waktu. Ratusan informasi per hari masuk ke alat komunikasinya. Meski sering dia buat dalam posisi suara pelahan atau hanya bergetar saja, kerdipan sinar merah terus saja mengganggu konsentrasi Harry. Tapi dia tidak bisa menolak.
“Saya mohon maaf baru bisa menyampaikan duka cita atas meninggalnya Ibu saat ini. Saya baru dapat informasi dan saya baru pulang dari luar negeri pertengahan tahun lalu. Semoga Bapak dan keluarga selalu dalam lindunganNya. Saya berterima kasih atas segala yang Bapak pernah berikan hingga saat ini bisa hidup baik. Tanpa Bapak mungkin saya takkan seperti ini….” SMS itu tanpa nama.
Harry berpikir keras dan coba menerka, siapa kira-kira si pengirim itu. Mengapa dia tidak menyebutkan namanya? Apa ruginya bagi dia menampilkan identitas? Dia juga tidak yakin pernah memberi bantuan begitu luar biasa sampai membuat orang sangat berterima kasih. Dia memang suka membantu, tapi dalam taraf normal saja. Dia tokh pegawai biasa, bukan orang yang memiliki uang berlimpah.
“Terima kasih atas ucapannya. Anda siapa ya? Maaf, nomer telepon Anda tidak ada dalam daftar kontak saya,” balas Harry. “Saya adalah orang yang pernah Bapak bantu, melatih mental saya. Juga dibantu finansial?” “Wah rasanya saya tidak pernah sebaik itu. Saya jadi penasaran?” “Bapak mungkin lupa saya, tapi saya tidak pernah lupa. Bapak mungkin sudah uzur, tua dan banyak lupa, tapi hati Bapak tetap baik. Seorang Harry Prabowo takkan pernah saya lupakan seumur hidup saya..” “Hmmm saya mulai bisa mengidentifikasi… Rasanya saya tahu..” “Wah Bapak mulai menjebak saya..” “Saya sudah tahu. Tinggal dimana sekarang? Siapa suami kamu? Berapa anak?,” balas Harry. Dia yakin orang yang berkomunikasi dengan dia adalah Dinda. Kalimat dan pilihan kata yang digunakan, terutama yang bernada bercanda, dia kenal. “Saya di Kalimantan. Saya yakin deh Bapak belum tahu saya, Bapak hanya sok tahu dan supaya saya mengungkapkan diri.” “Sudah deh Dinda..” “He..he..he..bisa menebak, euy..”
Akhirnya tanpa terasa hampir satu jam dia berSMS dengan Dinda, seorang wanita yang pernah mengisi hidupnya secara ganjil, menjadi sebuah episode yang tidak terbayangkan oleh seorang Harry yang kerap disebut teman-temannya “orang rumahan”. Orang yang setia pada istri dan anak-anaknya. Orang yang hanya tahu bekerja dan bercanda dengan anak di rumah.***
Dinda magang untuk menulis skripsi studinya di fakultas ilmu komunikasi di kantornya. Mulanya tidak ada hubungan khusus di antara mereka, berbicara pun jarang saja. Kecuali kalau ada hal yang terkait dengan dirinya, Dinda berkonsultasi. Setelah satu-dua bulan, mereka mulai bercakap-cakap hal di luar pekerjaan. Misalnya soal makanan di kantin, AC kantor yang sering terlalu dingin, orang yang merokok pada tempatnya dsb, bila kebetulan bertemu secara tidak sengaja. Tidak ada pembicaraan yang dirancang terlebih dahulu.
Suatu malam, Harry melihat di luar kantor. Aneh, dia belum pulang padahal sudah hampir pukul 8 malam. Biasanya selepas magrib, Dinda pulang ke kostnya di daerah Kebayoran Lama. Dia kuliah di kota lain, jadi terpaksa pulang ke rumah orangtua sebulan sekali. “Lho, belum pulang?” “Belum, Pak.” “Kenapa? Mau sama-sama.” “Bapak ke arah mana? Nanti malah merepotkan.” “Nggak apa-apa..” “Sebenarnya..” “Ada apa?” “Saya tidak ada uang untuk pulang. Tadi saya kecopetan di bus. Makan siang juga dipinjami Tia.” “Lho kok nggak bilang ke saya?” “Saya tidak mau merepotkan Bapak..” Harry lalu membuka dompetnya. Menyerahkan lembar Rp 50.000 ke tangan Dinda. “Ambil saja. Ayoh saya antar supaya mengirit..” ujar Harry dengan tulus. “Terima kasih, Pak. Terima kasih…” Dengan uang itu Harry berharap Dinda bisa kembali ke rumah orangtuanya pada hari Sabtu besok untuk sekalian mengurus berbagai surat yang hilang, sekaligus meminta uang saku pengganti.***
Bagi Harry peristiwa itu biasa saja. Tetapi bagi Dinda, Harry menjadi dewa penolong yang luar biasa. Apalagi Harry bila kebetulan bertemu di kantin, langsung saja membayari makan siang wanita berambut sedang dan berkulit putih itu. Usia yang berselisih sekitar 15 tahun membuat posisi Harry sebagai orangtua pengganti menjadi cocok. Dia bisa menjadi pelindung sekaligus penasehat. Sayangnya urusan hati tidak semudah itu.
Malam itu Harry mengantar Dinda ke tempat kostnya karena diminta. Begitu mereka berdua ngobrol, DInda langsung menumpahkan semua uneg-uneg persoalan hidupnya, yang ternyata tidak sebahagia yang selama ini dia kisahkan. Ternyata dia hidup di keluarga broken home. Ayah kawin lagi, ibu sibuk dengan pekerjaannya. Dia dan adik-adiknya jarang berkomunikasi.
“Saya malah dijodohin sama anak teman Ibu, seorang pengusaha yang kaya. Saya dipaksa pacaran sama dia, sampai akhirnya saya putus.” “Ya sudah, kan kamu lepas dari satu…” “Tapi dia sudah mengambil kegadisan saya…” “Wah…”
Dinda lalu menangis sejadi-jadinya di dada Harry. Dia tentu saja bingung bersikap. Dan akhirnya dia pun memeluk gadis itu dengan maksud mendiamkannya. Tapi yang terjadi kemudian, mereka berpelukan. Hasrat kelelakian Harry pun bangkit. Semula ingin mencium kening si gadis, malah akhirnya dia mencium pipi… “Ok sudah. Kamu yang sabar.” “Iya, terima kasih, Bapak sudah membela saya,” ujar Dinda dengan tetap memeluk Harry, yang semakin rikuh.
Sejak kejadian malam itu, Harry terperangkap dalam jeratan emosinya. Akal sehatnya hilang karena merasa perlu menjadi pahlawan, pembela kebenaran. Secara sembunyi maupun diam-diam mereka sudah layaknya orang berpacaran. Sampai kemudian Dinda harus pulang ke kotanya karena selesai magang dan harus menyusun skripsi. Perselingkuhan pun terjadi dengan berbagai cara. Kadang Dinda yang ke Jakarta, kadang Harry yang datang ke kota tetangga yang tidak terlalu jauh. Apa saja pun terjadi, karena Dinda rela menyerahkan jiwa raganya pada Harry yang juga selalu peduli pada kebutuhan si gadis. Mereka bagai sejoli yang terpisahkan. Sampai kemudian Wati, istri Harry membongkar perselingkuhan itu ketika telepon selulernya tertinggal di rumah. Semua kemanisan cinta terlarang pun berakhir. Sampai tahun-tahun berlalu… ***
Setelah lewat SMS, akhirnya Harry menelpon Dinda. Percakapan hangat, juga menyerempet pada romantisme kenangan masa lalu. Berbicara yang umum-umum, soal keluarga, soal suami, soal anak-anak, dan kehidupan hari-hari. Dan cerita lama berulang.. “Aku sebetulnya tidak bahagia. Suamiku tidak sebaik yang kubilang..” “Maksud kamu?” “Dia suka mabuk, pulang malam, dan kurang peduli keluarga..” “Ya sudah, sabar saja. Anggap saja cobaan..” “Sudah lima tahun aku bersabar. Sampai kapan lagi.. “ “Terus bagaimana? Jaga deh perkawinan ini, kasihan sama anak-anak. Kamu kan tahu bagaimana rasanya punya keluarga yang berantakan…” “Aku kadang frustrasi. Entah apa yang dicarinya. Padahal semua sudah aku berikan…” “itulah cobaan…” Lalu suatu siang, tiba-tiba terdengar bunyi Bling lagi. Harry melihat alat komunikasinya. “Aku naik taksi, dalam perjalanan dari airport. Aku menginap di Hotel X. Aku tunggu kira-kira setengah jam lagi..” Bagai disambar petir, Harry terkejut setengah mati mendapat kabar itu. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin dia menghindari pertemuan itu. Dia suka, tapi tidak suka. Dia merasa ada masalah moral, tapi ada juga kerinduan. Ada keinginan-keinginan gila. Ada godaan-godaan yang merangsangnya. “Kamu ini kok nekad sih?” “Baru tahu? Kemana aja?”
Setelah itu dengan berpelukan keduanya masuk ke kamar. Seperti tidak ada lagi yang mereka takuti, tak ada yang mereka pikir perlu dikhawatirkan. Alamiah, apa adanya. Cinta dan kerinduan bertumpahan, berlimpah, bagai air yang bercecer di mana-mana. Waktu menjadi tercampak, sampai akhirnya subuh datang dan yang tinggal hanya kelelahan. “Kita harus mengakhiri ini.” “Aku sudah puas dan akan kembali ke suami dan anak-anakku. Semoga kita tidak pernah berjumpa lagi,.” “Aku ragu.” “Aku juga sih…” Lalu mereka berciuman lagi...
Disalin oleh: Chen Mei Ing