Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran. Toh, tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata. Hanya seorang lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput di wajahnya. Bibir tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga suaranya pun aku lupa seperti apa persisnya.
Yang bersemayam dalam ruang ingatanku hanya cengkeraman tangannya. Cengkeraman yang kukuh, liar dan menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim dengan lenganku dan menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya. Serta beberapa birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang kuperoleh dengan susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga.
Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di mataku semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu membawa pulang seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang menghalangi masuknya sinar matahari dari pintu itu ternyata milik seorang lelaki yang dikenalkan ibu sebagai ayah.
Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya, tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit tak mau tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut ibu entah dari rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah kehadirannya, aku memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah kupunya, bahkan sejak saat pertama aku berkenalan dengan aroma dunia.
Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku. Ia bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di mana daki begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit kepalaku dengan minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah. Makan ayah, pakaian ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli ayah sepanjang waktu ia berada di rumah.
Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada tampilan fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai ketiban ’tamu bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti pakaian dalam sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan, lalu menyurukkannya pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan panik yang memeluk seluruh benak, membuatku menarik selendang usang yang tersampir di balik pintu. Punya ibu. Aku melipatnya tanpa pola. Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan selendang di antara selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak. Menebak-nebak, benda apa yang tadi mencederai organ keperempuananku?
Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam hari berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga hilang begitu saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa. Terbiasa mengambil kain apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah terkumpul banyak, memberanikan diri untuk mencucinya di sungai kecil beberapa kilometer di belakang rumah. Meski dengan gumpalan rasa jijik, toh aku merasa terhibur dengan aliran darah yang mengalir dari kain-kain basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak sungai.
Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan kemudian, jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit pun. Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan tanya. Darah yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang sawah, di baju ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya. Banyak tanya yang tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di palung hatiku.
Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian ibu, selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar jasad ibu. Aku kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang ibu. ”Ibu ke Malaysia, jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia tersenyum samar, puas dengan jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu saja, raib bersama waktu yang berlari.
Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah dan sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti kebanyakan lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama. Dan aku, penunggu rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang terkadang berlari kesana-kemari.
Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya sekadarnya. Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah impian. Tak terjangkau. Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang disuguhkan tetangga bersama sepiring nasi hangat. Hadiah untukku yang membantu menjaga balita mereka. Ayah memang menghabiskan waktunya di sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya dengan duduk merenung di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu terkapar bermandi darah!
Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam sebulan, Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya berbarut-barut, seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia baru berkelahi dengan seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti biasa. Aku hanya mencuci pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di belakang rumah. Dan menikmati darah yang mengalir dari baju basah, beringsut mencumbu beningnya air sungai yang mengalir. Entah kenapa aku menikmatinya. Begitu seterusnya.
Dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah fenomena baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap mencengkeram lengan dan mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap nyalangnya memerintahkanku untuk tetap di situ berjam-jam lamanya. Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya lebih panjang dari empat purnama. Dan itu merupakan awal!
Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah menjadi sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi buruk tapi sebuah reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak mengenalinya. Sama sekali. Tak.
Aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah sinar yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir minuman. Hatiku bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah aku bernasib sama dengan ibu? Akankah aku mati sebelum menikmati cinta pertama, surga dunia masa remaja yang kucuri dengar dari pembicaraan gadis-gadis di sungai belakang rumah?
Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan cangkir di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya, menyuruhku minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan. Mengalahkan bayang-bayang menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di lantai, ia bergerak membantuku berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja kayu tua satu-satunya yang ada di ruangan itu telah dipenuhi dengan sepiring nasi berteman telur mata sapi yang kuningnya tak bulat lagi. Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap gelisahku di ruang gelap.
”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku ke meja dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu kamar.
Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga hari tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di kerongkongan, memenuhi organ pencernaan.
”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar.
”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar depan, ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot usang.
Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke alam mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku menikmati keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang nyaris tak pernah ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia menatapku dalam diam, tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku bergidik samar.
”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk.
”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku mengangguk.
”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku menggeleng, bimbang sesaat.
”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam.
”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang, saatnya aku menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti. Namun, sebuah jejak samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku. Membalutku dalam dingin dan geletar tak berkesudahan. Meski sepasang tangan dan sebidang kehangatan mengungkungku dalam kecepatan dan keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis dan masa depan. Dan dalam erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam ruang ingatan!
Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak meninggalkan bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah berbeda yang kucuci di sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai hunjam kuku yang menghitam di lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri bayang ibu yang tersisa dalam kubangan dangkal di pematang sawah. Selebihnya, tak!
Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut? Itulah pertanda tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan menyikapi hidup dan sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah itu sendiri. Dan kubungkus itu semua di palung hati terdalam. Tersembunyi dalam kegelapan.
Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai jendela. Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan beringsut meninggalkan kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya perlahan-lahan. Mengendapkannya pada jejalan catatan buram di sudut ruang.
Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah menjauh dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh melampaui malam-malam penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku. Tak ada suara apa-apa, kecuali teriakan tokek yang sesekali memecah hening. Aku beranjak keluar dan berdiri tepat di ambang pintu, mencoba melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara dalam-dalam dan memenuhi rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai mengeja, seiring lambat langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah cahaya purnama.
Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat dan bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala yang terasa lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang telah mengeramasi kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati menggigil. Hidungku membaui amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku benar-benar sakit. Bahkan untuk mengangkat tubuh pun sudah tak mampu.
Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata memandang hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya yang tertimpa surya bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar menyerupai ceruk dangkal.
Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi pe-er yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam kubangan darah. Susah payah kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit di sekujur tubuh telah menghunjam tulang dan urat kesadaran. Namun itu tak seberapa. Karena pemandangan seorang lelaki yang tertelungkup di sawah membuatku tersengat. Sebilah belati menghunjam punggungnya, tempat dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung. Mengalir hingga ke genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang rumah, darah itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna.
Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat memelukmu terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi. Pagi yang telah lama tak kunikmati. (*v*)
Disalin oleh: Chen Mei Ing