KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 25 Maret 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (10-12)

Begitu sang koorddinator liputan itu yang hanya bisa dijawab iya oleh Baskara. "Wah, aku nggak bisa lama-lama menemani, harus cepat-cepat ke kantor,” kata Baskara seusai menerima telepon.

Dalam hati dia mengumpat. Sedang asyik-asyiknya dan pembicaraan mulai berkembang, dipotong oleh tugas. "Tapi kalau mau bareng, kalian bisa aku antar dulu. Jalurku juga melewati UI,” Baskara menawarkan diri. Rumah keluarga Sungkono memang tak jauh dari UI, di Kampung Sawah kawasan Lenteng Agung. Biasanya Baskara berangkat kerja ke arah Depok dulu, melewati Bundaran UI yang sering disebut Bundaran UI Holywood, kemudian menuju jurusan Pasar Minggu atau Cilandak untuk ke kantornya di daerah Pal Merah. "Terima kasih. Saya masih ingin di sini dulu, ada yang mau dibicarakan dengan Zaliany,” jawab Lili. "Kok buru-buru, katanya mau masuk agak siang? Nggak menyesal, nih?” goda Zaliany lagi.

Baskara hanya bisa tersenyum kecut. Dia pun langsung pamit kepada Lili dan Zaliany. Bukannya ke luar rumah, tapi balik ke dalam. Berpamitan kepada orangtuanya, langsung menuju garasi. Jalur yang langsung membuat anggapan Lili sejak awal semakin mendapat pembenaran. Baskara tadi sengaja lewat ruang tamu agar bisa melihatnya, bukan kebetulan lewat untuk bekerja. Itu membuat Lili jadi sedikit tersanjung.

DUA

KEMACETAN Jakarta semakin menyesakkan. Tapi dalam perjalanan ke kantor, Baskara lebih sibuk memikirkan Lili. Gadis itu seperti terus menari-nari di kepalanya. Beberapa kali dia nyaris menyenggol mobil lain karena kurang konsentrasi.

Tiga kali dia pernah berpacaran, tapi tak pernah memiliki getaran sehebat ini. Lili baru dia kenal beberapa saat lalu. Pertemuannya pun hanya sekitar 15 menit. Tapi dia begitu mengganggunya. Baskara mulai mabuk-kepayang.

“Mungkinkah dia belahan hatiku hingga terasa begitu menggoncang jiwaku,” desah Baskara yang makin sentimentil.  Bisa jadi itu penilaian yang terlalu cepat. Jangankan berpacaran, bertemu saja baru sekali. Tapi Baskara melihat ada sinyal aneh. Getaran dalam jiwanya yang luar biasa dan tidak pernah dia alami sebelumnya, membuatnya semakin menduga bahwa Lili adalah wanita yang selama ini dia impikan. Dugaan itu terus mengganggunya. Segala kemungkinan dia analisis. Maka dia mulai sangat berkeinginan untuk bertemu Lili kembali, kemudian berusaha agar hubungan mereka semakin dekat.

Muncul prasangka yang menimbulkan rasa waswas. Jarang ada orang Cina yang mau berpacaran dengan pribumi, apalagi menikah. Kisah yang sangat langka, meski kedua ras ini sudah lama hidup berdampingan di negeri ini. Tapi muncul pula harapan, karena Lili tampak sosok mahasiswa nasionalis yang juga tak mempersoalkan perbedaan ras seperti dirinya. “Semoga  dia seperti itu,” harapnya.

***

kini beralih ke pekerjaannya. Baru saja memarkir mobilnya, tiba-tiba Lukito langsung nongol di sampingnya. Teman dekat Baskara ini rupanya juga baru datang. Baskara sangat menyayanginya, meski Lukito terkadang suka cengengesan. Meski begitu, Baskara mudah rindu kepadanya jika lama tak jumpa. Bagaimanapun dia sahabat dan penghibur yang baik. Kepadanya pula dia bisa banyak bicara hal-hal pribadi.

Meski sering slengekan, Lukito sebenarnya wartawan politik yang cerdas dan tajam mencium isu dan berita. Dia juga punya pemikiran yang sama dengan Baskara, meski gayanya berbeda. Suka ceplas-ceplos, tapi bisa juga serius. Hanya, tetap saja dia lebih sering slengekan. Untuk mendapat berita ekslusif, dia juga berani menantang bahaya. Sering kantornya ditelepon pihak keamanan gara-gara tulisan Lukito yang dianggap tak sopan menurut ukuran penguasa. Seperti ketika dia memberitakan ada upaya penculikan sistematis terhadap aktivis prodemokrasi.

“Hei, Ganteng. Kita musti rapat, nih,” sapa Lukito. Dia sering memanggil Baskara begitu, kadang “Lorenzo” karena sedikit mirip pemeran utama film serial Renegade, Lorenzo Lamas, dengan versi Jawa. Tapi tetap saja dia lebih sering memanggil sesuai namanya. Sedangkan panggilan akrab Baskara kepada Lukito adalah “Luke”, kadang sangat lengkap menjadi “Lucky Luke” karena kata Lukito ada kemiripan dengan nama cowboy Amerika itu. Apalagi antara Lukito dan Lucky Luke sama-sama kerempeng.

Sama seperti Baskara, Lukito masih bujang dan umurnya sepantaran dengan Baskara. Dia tertarik kepada Zaliany, tapi yang bersangkutan tampaknya tidak terlalu menanggapi. Setiap kali Lukito ke rumah Baskara, Zaliany sering sibuk dengan dirinya sendiri. Saat bersama Lukito, Zaliany terkesan datar-datar saja. Dia menganggap Lukito seperti kakaknya. Seolah tak tahu Lukito memendam ketertarikan luar biasa. Padahal, Zaliany sejujurnya sangat tahu. Apalagi Baskara suka menggodanya, bahkan sering menyebutnya Nyonya Lukito. Jika sudah begitu, Zaliany akan sewot. Repotnya, Lukito tak pernah merasa ditolak  karena memang belum menyatakan cinta. Baskara sendiri berpendapat, kalaupun Zaliany mau dipacari Lukito, dia tak mempersoalkan. Toh, Lukito orang baik, jujur, dan bertanggung jawab. Wajahnya juga lumayan, sedikit mirip Jim Carrey.

"Ada apa Luke, tumben rapat pagi-pagi?” “Nggak tahu, tuh. Aku juga baru datang setelah ditelepon Albert. Kayaknya genting,” jawab Lukito. Yang dimaksud Albert adalah koordinator liputan (Korlip) mereka. “Eh, bagaimana kabar adikmu? Masih cantik?” “Tanya sendiri sama yang punya wajah.” “Ah, calon abang jangan begitulah.” “Sejak kapan kamu merasa bakal mendapatkan adikku. Aku jamin dia bakal menolak orang kerempeng seperti kamu,” hanya dengan Lukito dan Zaliany dia berbicara agak seenaknya. Kepada orang lain, Baskara jauh lebih hati-hati, sopan, dan tertata. Terkadang terkesan sangat cool. Sikap itu menambah kewibawannya.

“Sok tahu! Awas, kalau sampai dia jadi istriku, jangan sekali-kali kamu memanggilku adik.” “Nggak bakal rugi,” balas Baskara ketus sambil masuk ke kantor, meski Lukito tahu itu bukan dari dalam hatinya. Tapi Lukito sudah kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Lagi pula dia tahu Baskara tampak lain dari biasanya, sedikit gundah-gulana. Makanya agak ketus juga.

***

Rupanya di ruang rapat sudah lengkap. Ada pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, Albert, juga wartawan lain. “Kalian berdua kemarin pulang sore, jadi tak sempat melihat pengumuman rapat. Maklum, instruksi dari atas juga mendadak dan sudah malam. Aku baru ingat tadi pagi, maka langsung kutelepon,” jelas Albert.

Rapat pun segera dimulai. Rupanya koran ini melihat ada perubahan konstalasi politik, sehingga perlu ada kebijakan peliputan dan pemberitaan baru. Bahkan ada wartawan yang memperkirakan Soeharto bisa jatuh, meski akan dilantik lagi sebagai presiden. Ketakutan terhadap pembredelan mulai dikurangi. Keberanian sedikit ditingkatkan. Dan, keberpihakan kepada perubahan diembuskan.

Kebijakan itu membuat Baskara dan para wartawan sangat senang dan puas. Meski tetap saja ada batasan-batasan, tapi mereka merasa lebih bebas dari sebelumnya. Baskara dan Lukito yang sering menurunkan tulisan dan foto menyerempet bahaya – untuk ukuran era Orde Baru – makin bersemangat. Selepas rapat, keduanya langsung berdiskusi untuk membuat liputan yang menyengat.

"Luke, aku punya ide. Bagaimana kalau kamu temui beberapa pengamat vokal untuk diminta bicara tentang keadaan terkini. Kita arahkan agar mereka menganalisis kemungkinan perubahan, syukur-syukur tentang pergantian pemimpin nasional. Jangan dilupakan para pentolan mahasiswa. Mereka sudah makin gerah. Sementara aku harus memotret di Gedung DPR RI,” kata Baskara.

“Cocok! Nanti juga aku crossing dengan para pejabat, biar ramai,” jawab Lukito.

Begitu menyinggung mahasiswa, Baskara jadi teringat Lili kembali. Sejenak dia diam dan menunjukkan wajah gundah-gulana lagi. Lukito pun menjadi heran, karena tidak biasanya Baskara mudah melamun. “Kok diam? Punya ide apa lagi?” bentak Lukito. “Entahlah, aku jadi memikirkan seseorang, nih.” “Ciyeee, lagi kasmaran, ya?” “Sepertinya begitu. Baru ketemu tadi pagi, tapi hatiku sudah dibuat resah.” “Sejak kapan kamu cengeng? Kasih tahu, dong.” “Ini bukan cengeng, tapi manusiawi. Rasanya aku harus berusaha agar lebih dekat dengannya.” “Boleh tahu siapa orangnya?” “Memang penting bagimu? Ini serius Luke.

Aku tampaknya benar-benar mabuk-kepayang kepadanya.” “Penting, dong. Engkau sahabatku. Aku juga bisa serius. Kalau memang itu akan membahagiakanmu, si kerempeng ini akan berbuat apa saja demi sahabat,” kalau sudah begitu, biasanya Lukito mulai bisa serius. “Oke aku kasih tahu. Dia teman Zaliany, keturunan Tionghoa, puas? Kamu juga tidak tahu dan tak bisa banyak membantu.” “Nggak salah kamu mengejar cewek Cina? Ah, tapi tak apalah. Biar kehidupan ini ada variasi, baur, dan tak ada anti itu dan anti ini.

Apa yang bisa aku bantu, kawan?” “Kamu tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun sudah membantu. Sudah, ah. Kita kerja. Aku mau hunting foto. Kamu sana cari berita yang bagus,” kata Baskara. “Oke, nanti ketemu lagi di kantor. Diskusi lagi. Soal incaranmu tampaknya akan menarik. Siapa namanya?” tanya Lukito lagi. “Lili atau Thio Mei Li.” “Nama yang bagus. Oke, nanti ceritakan lagi, aku harus segera beraksi,” kata Lukito langsung ngeloyor. [sebelumnya | selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA