Aku tahu dia pura-pura gila, karena dua jam kemudian secara kebetulan aku bertemu dia sedang makan di sebuah lesehan dan bicara serius dengan temannya,” kata Awan pelan-pelan. “Tajam juga, mereka. Kita musti bikin strategi atau pindah tempat,” balas Zaliany. “Betul. Itu juga yang sedang kita bicarakan. Soalnya kita akan lebih sering berdiskusi dan merancang aksi. Situasi negeri tampaknya makin tak terkendali. Pemerintah sudah kewalahan menghadapi berbagai persoalan. Para penguasa sudah pada lapuk tapi banyak tingkah. Musti ada perubahan, pergantian. Aksi akan sering kita lakukan,” jawab Awan yang langsung diangguki semua yang ada.
Sejak akhir 1997, kamar Awan yang lumayan besar untuk ukuran kost mahasiswa memang menjadi tempat berkumpul beberapa aktivis. Mereka merasa lebih bebas di tempat ini dalam berdiskusi, daripada di kampus yang ternyata juga dipenuhi intelijen yang menyamar sebagai mahasiswa. Di sini pula mereka akhirnya membentuk komunitas aktivis. Mereka merasa lebih bebas membentuk organisasi tanpa bentuk (OTB) – merujuk istilah pemerintah – untuk berdiskusi dan merancang aksi. Sebab organisasi mahasiswa yang berbentuk dan resmi masih belum memiliki kebebasan dan keberanian untuk menyikapi keadaan. Sementara tuntutan terhadap aksi mahasiswa, menurut mereka, semakin mendesak. Anggota kelompok ini kian hari kian banyak. Dalam aksinya, mereka sering bergabung dengan forum-forum aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jabotabek.
Benar juga kata Awan. Sebelum Lili dan Zaliany sempat duduk, tiba-tiba ada dua orang mengendarai motor berboncengan dengan gerak-gerik mencurigakan. Bahkan salah satu orang yang berambut gondrong sempat melotot ke arah mereka. Untung mereka segera berlalu. Awan pun meminta teman-temannya untuk sementara bubar karena situasi tak memungkinkan.
“Kita musti bubar dan berpencar dulu. Lili, Zaliany, maaf baru datang langsung diusir. Demi keamanan,” kata Awan.
“Tak masalah. Biar aku dan Zaliany kembali ke kampus saja. Apalagi nanti ada kuliah. Kita ketemu di kampus,” kata Lili sambil menggandeng tangan Zaliany, pergi meninggalkan kost Awan. Yang lainnya bubar satu per satu secara teratur demi keamanan.
Tiba-tiba dua orang yang mencurigakan itu kembali lagi. Kini dengan wajah yang tampak lebih sangar dan memacu motornya agak kencang. Lili dan Zaliany yang baru melangkah beberapa meter di jalan sampai kaget, karena kedua motor itu mengarah kepada mereka.
“Awas!” teriak Awan yang panik.
Untung, Lili dan Zaliany menghindar ke kanan dan ke kiri. Kedua motor itu berlalu dengan sombongnya dan cepat menghilang di tikungan. "Ah, sialan. Kakiku tadi terserempet!” keluh Lili.
Betis Lili yang kuning-mulus ada tanda goresan. Tak sampai berdarah, cuma ada garis merah yang cukup perih. Awan segera mendatanginya, begitu pula Zaliany dan rekan yang lain.
“Kurang ajar. Ini sudah teror. Aku yakin mereka orang kiriman. Kamu nggak apa-apa, Lili?” tanya Zaliany. “Nggak apa-apa, cuma sedikit perih.” “Ya sudah, kita bubar saja. Kita musti merancang tempat pertemuan baru. Sampai ketemu di kampus,” kata Zaliany sambil menggandeng Lili yang tampak masih panik.
Seusai mengikuti kuliah kedua, sekitar pukul 16.00 Lili dan Zaliany langsung ke kantin. Di sana ternyata para mahasiswa aktivis sudah berkumpul dan ngobrol dalam format santai. Awan langsung aktif menyambut dua wanita ini.
“Eh, kita sudah menemukan pemecahan,” bisik Awan ke Lili dan Zaliany. “Apa itu?” tanya Zaliany. “Ginting menawari tempatnya sebagai markas baru kita. Ruangannya luas. Dia akan pulang ke Medan, karena ibunya sakit. Ini kunci duplikatnya sudah diberikan kepadaku,” tunjuk Awan. “Sip. Trus, apa rencana kita hari ini?” tanya Lili. "Sementara cooling down dulu. Maksudnya di kantin nggak usah ngomongin politik. Ngomong lainnya saja. Besok aku kasih tahu kalau ada pertemuan. Yang pasti mulai besok tempat Ginting jadi markas baru kita. Tempatnya agak tersembunyi,” jelas Awan. Lili, Zaliany, dan Awan bergabung dengan lainnya. Kali ini ngobrol tema-tema anak muda.
TIGA MALAM Minggu kelabu bagi Baskara. Kesepian, bingung tak tahu harus mengisi waktu luangnya dengan apa. Mendapat jatah libur justru membuatnya kebingungan. Dia hanya bisa memikirkan Lili, tapi justru terus menyiksa batinnya. Karena dia hanya mencumbui bayang-bayangnya. Alangkah indahnya jika malam panjang seperti ini dihabiskan bersama Lili. Aku akan merasa senang kalaupun hanya bisa berbicara dengan orang seperti dia. Keresahan itu membuatnya makin tak betah mengurung diri di kamarnya. Buku sosial, politik, budaya, fotografi, dan filsafat yang biasa dia santap, kini dia biarkan bertahta di rak bukunya. Dia merasa malas menyentuhnya. Lili telah begitu menyita perhatiannya.
Berkali-kali dia ingin bertanya kepada Zaliany tentang Lili, tapi kesempatan untuk bertemu begitu susahnya sejak pertemuannya dengan Lili lima hari lalu. Kalau dia di rumah, Zaliany sudah di kampus atau asyik dengan para teman aktivisnya. Sebaliknya jika adiknya di rumah, dia gantian sibuk dengan pekerjaannya.
Ketika Baskara bangun pukul 09.00 tadi pagi, Zaliany juga sudah pergi. Kata ayah dan ibunya, dia ke kampus dan izin pulang malam karena ada acara dengan rekan-rekannya. Pasti Lili bersamanya. Jam sudah menunjuk pukul 18.30, harus segera menemukan rencana untuk mengisi malam panjang. Tapi di pikirannya hanya ingin bertemu Lili. Sebenarnya dia ingin menelepon Zaliany lewat HP-nya, tapi takut menggangu atau terkesan memaksa, selain sedikit malu jika hanya menanyakan Lili.
Baskara pun akhirnya menanggalkan keinginannya dan memutuskan keluar rumah, untuk membunuh sepi. Lagi pula, siapa tahu ada obyek foto menarik. Sampai sejam, dia hanya bisa memutar-mutar jalanan Jakarta tanpa tujuan. Dia menelepon Lukito, tapi yang bersangkutan ternyata punya acara arisan keluarga di rumahnya, daerah Duren Sawit. Saat melintas Taman Ismail Marzuki (TIM), dia baru merasa tergoda untuk mampir. Apalagi di malam Minggu begini biasanya ada pertunjukan seni. Lagi pula, dia kenal beberapa pekerja seni di TIM.
Setelah memarkir mobilnya di halaman dalam, dia berjalan ke luar untuk memesan siomay dulu. Maklum, perut mulai keroncongan. Tapi tiba-tiba seperti ada bisikan untuk mengurungkan niatnya. Baskara pun balik badan dan melangkah ke gedung pertunjukan teater. Langkahnya terhenti, karena dia menemukan dompet wanita yang tergeletak di pinggir jalan, bersebelahan dengan plastik hitam. Iseng-iseng dia membukanya, sekadar ingin tahu apa isinya dan siapa pemiliknya. "Ya ampun!” Baskara kaget, setengah teriak.
Baskara benar-benar seperti disambar geledek di malam hari. KTP di dalam dompet itu tertempel foto Lili. Biodatanya menunjukkan Lili lahir pada 14 Mei 1977. Artinya dompet itu miliknya. Berarti pula dia sedang di sini atau paling tidak belum lama ada di sini. Dia pun segera bergegas mengambil HP-nya untuk mengontak Zaliany, sebab dia belum tahu nomor HP Lili. Tapi selagi mencari nomor adiknya, dia melihat dua sosok wanita dari balik kegelapan tampak sibuk dan panik mencari-cari sesuatu. Baskara mengamati lebih cermat. Alangkah bahagianya, ternyata kedua wanita itu adalah adiknya dan Lili. Baskara segera mendatangi mereka dengan kegirangan, seperti sedang mengalami kemenangan.
"Mencari apa?” sapanya. "Haa…” teriak Zaliany dan Lili bersamaan, kaget seperti melihat hantu karena tak menyangka tiba-tiba Baskara muncul di hadapan mereka. "Kok di sini?” tanya Zaliany. "Ingin refreshing saja. Lagi pula banyak wartawan yang biasa menghabiskan malam Minggu di sini. Kalian sendiri sedang apa di sini?” "Kita sih sudah janjian dari tadi pagi mau nonton film. Sekalian nongkrong sama teman-teman yang lain untuk ngobrol banyak hal. Mereka lagi asyik di halaman depan. Mas, tolong ikut mencari dompet Lili. Jatuh di sekitar jalan ini. Mudah-mudahan belum diambil orang,” kata Zaliany masih panik. Demikian juga Lili. "Sepertinya sudah diambil orang lain.” "Sok tahu!” sergah Zaliany. "Mana ada orang membiarkan dompet tergeletak. Apalagi banyak orang begini, dompet milik wanita cantik pula” jawab Baskara keceplosan nakalnya.
Lili agak gelagapan oleh kenakalan Baskara. “Ah, gawat! Kalau uang tak seberapa, tapi banyak surat-surat penting,” keluhnya. "Tenang saja, dompet itu diambil orang yang tepat.” "Maksudnya?” tanya Lili benar-benar tak mengerti. "Aku menemukannya di pinggir jalan itu. Maaf, Lili. Bukannya aku lancang, tadi aku sempat membukanya hanya untuk mengetahui siapa pemiliknya. Ternyata kamu. Hampir aku menelepon Zaliany untuk menceritakannya, tapi kalian berdua tiba-tiba muncul. Ini dompetmu, mudah-mudahan tidak kurang suatu apa pun,” Baskara langsung memberikannya kepada Lili yang tampak mulai malu. Baskara sendiri agak bergetar dan matanya terus menatap Lili dengan agak kaku.
"Terima kasih Mas Baskara. Untung Mas Bas yang menemukan. Tak ada yang kurang, kok. Sekali lagi terima kasih,” kata Lili girang dan langsung lega.
Lega dompetnya ketemu, juga bertemu Baskara.
Baskara dan Lili mensyukuri kebetulan seperti ini. Keduanya sama-sama ingin bertemu lagi sejak pertemuan pertama, tapi tak menyangka akan terjadi dalam sebuah kebetulan seperti ini. Namanya kebetulan selalu ada yang mengatur, yakni Tuhan. Orang Jawa bilang, ndilalah. Sebuah kebetulan yang diatur kekuatan Maha Mengatur. Kalau Tuhan mengatur kebetulan seperti ini, berarti ada makna dan maksudnya. Tapi, Baskara dan Lili tak tahu apa arti dari kebetulan atau ndilalah ini. "Ya sudah, bagaimana sekarang? Sebaiknya kita minum dulu di kafe itu, sambil menghilangkan sisa kepanikan kita. Toh masih sore,” Zaliany mencoba memecahkan keheningan, selain karena naluri Mak Comblang-nya tiba-tiba muncul.
Baskara dan Lili pun menurut saja. Dalam hati mereka sangat setuju dengan ide Zaliany tersebut. Mereka akhirnya melangkah, tanpa bicara sampai mendapat tempat duduk masing-masing di meja pojok yang dinaungi payung besar. Remang-remang dan terkesan romantis.
"Kalian mau nonton film apa?” tanya Baskara. "Belum ditentukan. Maunya pilih yang terbaik, baru mau beli tiketnya. Kalau nggak ada yang menarik, ya sekadar nongkrong dan ngobrol saja. Tapi belum masuk gedung bioskop, dompet saya nggak ada,” jawab Lili berinisiatif. "Lain kali hati-hati.” "Iya, deh.”
Pelayan mendatangi mereka. Masing-masing memesan minuman kesukaannya. Baskara dan Lili ternyata sama-sama memesan lemon tea dan kentang goreng. Sebuah ndilalah atau kebetulan yang lain, jika mereka punya selera yang sama. Zaliany lebih suka soda gembira dan beefsteak. Kali ini Zaliany mencoba tak aktif dan banyak diam, agar kakak dan sahabatnya makin akrab. Sampai pesanan sudah diantarkan dan mulai dinikmati, Zaliany masih miskin bicara, tidak seperti biasanya. Dia asyik dengan santapannya. Baskara tahu maksud adiknya. Dia pun mencoba memberanikan diri untuk aktif. Meski hatinya tetap bergetar, tapi kini lebih menguasai diri. Ketenangan dan kedewasaannya muncul.
"Lili suka lemon tea juga, ya? "Sebenarnya suka teh, karena tradisi di keluarga. Tapi pakai lemon asyik juga.” "Oh, sama. Aku juga maniak teh.” "Kalau mau, kapan-kapan saya bawakan teh hijau. Asli dari Cina. Saudara Papah yang mengirimkannya.” "Oh, mau sekali dan terima kasih,” jawab Baskara, tampak wajahnya sangat gembira dan berbunga-bunga. Tawaran menyenangkan yang tak mungkin dia tolak. [sebelumnya | selanjutnya]
Disalin oleh: Chen Mei Ing