KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 15 Mei 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (47-50)

“Dasar bajingan! Kamu bawa ke mana anak kami?” Thio Hok Kie kalap. Lili dan mamahnya mencoba menenangkan papahnya. Baskara masih terdiam. Sebuah pukulan lagi akan dilayangkan ke wajahnya, tapi segera dicegah Lili.

“Papah kejam! Sudah cukup, atau Mei Li akan pergi lagi!” Mendengar ancaman Lili, Thio Hok Kie agak luluh juga, tapi api kemarahan tetap memancar dimatanya. “Sekarang, tinggalkan rumah kami. Kami tak menginginkan tamu seperti kamu,” bentaknya.

"Saya akan pergi, tapi izinkan saya bicara dulu,” jawab Baskara tenang. Lili ingin mendatangi dan mengusap darah di hidung Baskara, tapi segera ditarik papahnya sampai terduduk di kursi. “Tak ada yang perlu dibicarakan. Segera pergi, atau kami panggil polisi.” “Papah keterlaluan!” bela Lili. “Sudahlah Papah, biarkan dia bicara. Lagi pula kita butuh penjelasan juga,” sela mamah Lili.

Dengan tetap marah dan agak gengsi, papah Lili akhirnya duduk. Baskara pun duduk. “Sekarang jelaskan. Kamu bawa ke mana saja anak kami?” “Maaf kalau sampai merepotkan. Kami terpaksa pergi tanpa izin. Kami hanya berdiskusi dan melakukan perenungan. Tak lebih dari itu dan tak terjadi apa-apa,” jelas Baskara. “Semoga begitu. Kalau tidak, kami siap menuntutmu! Sudah cukup, kan? Sekarang silakan pergi,” usir papah Lili lagi. “Maaf, belum cukup. Saya kira Om dan Tante tahu, kami selama ini berpacaran?” “Sudah dan kami tidak setuju. Maka tinggalkan Lili dan jangan mengganggunya lagi!” “Saya akan pergi dan tak akan mengganggu, kalau cinta saya tak terbalas. Persoalannya, bukan seperti itu keadaannya. Silakan tanyakan kepada Lili.”

Sebelum ditanya, Lili langsung bicara, “Benar Papah, Mamah, Mei Li juga  sangat mencintai Mas Baskara. Saya tak mau kawin dengan Beng San. Lili mohon Papah jangan memaksakan dan tolong rencana pernikahan itu dibatalkan. Sebab, saya yang akan menjalani, bukan Papah atau Mamah. Saya tidak akan menyanggupi. Demi Tuhan saya akan berusaha keras untuk menghindari pernikahan dengan Beng San.”

“Anak tak tahu diri. Kamu harus menikah dengan Beng San. Itu sudah direncanakan dan kamu tak bisa menolaknya,” balas papah Lili keras. “Tidak! Kalau sampai Papah membunuh Mei Li, saya tetap akan menolak!”

Papah Lili tambah kalap. Dia akan menampar putri yang sebenarnya dia sayangi itu. Tapi istrinya segera mencegahnya. “Sekarang Om dan Tante sudah tahu sendiri. Sebab itu, pada kesempatan ini pula, saya melamar Lili. Terserah tanggapan Om dan Tante. Yang penting, saya sudah baik-baik melamar Lili dan siap merawat dan membahagiakannya,” kata Baskara.

Sebelum Papah dan mamahnya menjawab, Lili langsung berbicara lebih dulu, “Saya menerima dengan sepenuh hati.” “Lancang kamu. Berani benar kamu melamar anakku. Mau tahu jawaban kami? Kami tidak setuju. Titik! Sekarang waktumu sudah habis. Silakan meninggalkan rumah ini,” jawab papah Lili. “Ya sudah. Tapi ingat Om, Lili sudah menerima lamaran saya. Selama Lili masih mencintai saya, saya akan mempertahankan dan memperjuangkannya. Mohon jangan paksa dia karena saya akan siap membelanya.” “Beraninya kamu mengancam. Silakan kamu melakukan apa saja, kami siap menghadapi. Kamu belum jelas juga rupanya. Pergi dan jangan berharap bertemu Lili lagi. Dia tetap akan kami nikahkan dengan Beng San!”

Baskara merasa tak perlu bicara lagi. Dia berniat meninggalkan rumah itu, kemudian memikirkan langkah selanjutnya. Tiba-tiba  seorang pemuda masuk. Rupanya Beng San datang untuk mengecek nasib Lili. Dia tampak gembira, ketika melihat Lili ada di rumah.

Part.48

“Pagi, Om, Tante. Pagi Lili, ke mana saja semalam? Kami sampai bingung mencari.” “Pemuda itu yang membawanya. Dialah Baskara, orang yang tak tahu diri itu,” jawab Thio Hok Kie. “Oh, ini orangnya. Asal tahu saja, Lili sudah dijodohkan dengan saya. Jangan mencoba-coba ganggu dia,” ancam Beng San seolah seorang jagoan.

Baskara diam dengan tenang. Dia tatap mata Beng San tajam-tajam. Rupanya nyali Beng San kecil juga. Hanya oleh tatapan Baskara saja dia tampak sudah kecut, meski mencoba tetap gagah. Tapi Baskara bisa membaca kekecutannya. Baskara pun melemparkan senyuman nyinyir kepadanya.

“Oh, Anda yang bernama Beng San? Asal tahu saja, Lili mencintai saya dan itu tak akan berubah. Anda tak akan pernah menaklukkan dan memiliki cintanya. Baiklah, saya mohon pamit. Selamat pagi. Lili, saya pulang dulu,” ucap Baskara dan langsung meninggalkan rumah itu.

Lili bangkit dari tempat duduknya dan ingin mengejar Baskara, tapi segera ditangkap papahnya. Dia meronta, tapi tenaganya tak cukup kuat. Akhirnya, dia hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Baskara masih mendengar tangisan itu sampai dia masuk ke dalam mobilnya. Hatinya semakin teriris-iris, tapi yakin Lili akan tetap mempertahankan cintanya. Dia pun bersumpah dalam hatinya akan tetap berjuang mendapatkan Lili.

Lili kini harus menghadapi kemarahan orangtuanya. Pengekangan semakin ketat. Tapi dia sudah siap menghadapi segalanya, seperti yang telah dia sepakati dengan Baskara. Termasuk siap menghindari pernikahan dengan Beng San, bila saatnya tiba. Entah apa yang akan dilakukannya, dia menunggu perkembangan.

TUJUH

BULAN Mei keadaan nasional semakin kacau. Gelombang demonstrasi menuntut turunnya Soeharto semakin gencar di berbagai daerah dan kota, termasuk Jakarta. Solo dan Jogjakarta bergolak. Kota-kota di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Timur juga semakin sering diwarnai aksi mahasiswa yang menuntut reformasi. Zaliany, Awan dan rekan-rekannya pun terus sibuk berunjuk rasa, tapi mereka masih hanya bisa beraksi di dalam kampus. Penjagaan di luar kampus UI begitu ketatnya, sehingga Awan dan kawan-kawan selalu kesulitan beraksi di kota. Seolah mereka dikurung di kampus.

Keadaan itu membuat mereka menjadi semakin resah dan geram. Apalagi melihat dan mendengar banyak rekan-rekan mahasiswa di berbagai kota dihajar aparat. Bentrokan aparat dan mahasiswa terus terjadi. Bahkan pada tanggal 2 Mei 1998 ada tiga bentrokan antara aparat dan mahasiswa ABA-ABI, IKIP Negeri Jakarta, dan Universitas Yarsi. Puluhan mahasiswa terluka dan terpaksa dibawa ke rumah sakit.

“Perlakuan aparat semakin keterlaluan. Kita harus segera bersinergi dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain dan beraksi di kota untuk memberi tekanan yang lebih kuat. Sudah tak bisa ditawar lagi. Reformasi harus dijalankan dan harus dimulai dengan pergantian pemerintahan. Itu artinya Soeharto harus turun.

Semakin banyak mahasiswa yang beraksi, aku kira tuntutan perubahan akan semakin didengarkan dan mendapat simpati masyarakat luas. Apalagi tokoh-tokoh nasional juga semakin gerah dan menuntut pergantian pimpinan nasional. Saya kira ini saatnya perjudian itu,” jelas Awan kepada rekan-rekannya di markas mereka.

Rapat para aktivis hampir rutin mereka lakukan setiap hari di kamar kost Ginting. Awan dan rekan-rekannya bahkan sudah membuat strategi. Langkah pertama, segera ditunjuk beberapa orang yang akan menjadi koordinator di setiap fakultas. Dia bertugas memobilisasi massa mahasiswa di fakultasnya masing-masing, juga mengkoordinasi mereka saat melakukan aksi. Selain itu juga dilakukan koordinasi dengan badan-badan mahasiswa di kampus agar terjadi sinergi.

Part.49

“Sayang, Lili justru tak bisa terlibat di saat-saat genting ini. Dia pasti kecewa dan semakin resah,” kata Awan.

“Tak hanya resah. Dia hancur. Dia dipaksa kawin dengan orang lain. Semakin hancur karena dia sekarang sudah tak boleh keluar dari rumah. Dari e-mail yang dia kirim kepadaku, dia sangat ingin segera bergabung dengan kita, tapi selalu kesulitan keluar rumah. Papahnya selalu di sampingnya. Kuliah pun sudah tak boleh. Bahkan saat bekerja, Lili selalu diajak papahnya atau mamahnya agar tak lepas dari pengawasannya,” jawab Zaliany.

“Kasihan dia,” kata aktivis lainnya. “Tapi aku salut. Dia masih bisa menulis artikel tentang mendesaknya reformasi di negeri ini. Aku baca di koran pagi  tadi. Aku kira itu tulisan pertama Lili di koran umum. Ini korannya,” kata Awan sambil menyodorkan koran itu kepada rekan-rekannya.

Para aktivis mahasiswa itu pun berebut membacanya, termasuk Zaliany. Mereka segera geleng-geleng kepala. Tulisan Lili yang memakai nama Mei Li ternyata sangat bagus, tajam dan mengobarkan semangat perubahan. “Sepertinya dia memberi semangat kepada kita untuk terus maju,” komentar seorang teman.

Seketika itu, para aktivis mahasiswa yang berkumpul itu berubah sedih. Mereka sepertinya ikut merasakan bagaimana penderitaan Lili. Apalagi Lili begitu penting bagi mereka. Pemikiran-pemikirannya tajam, konseptual. Sebagai aktivis yang paling berduit, Lili juga sering mendanakan uangnya untuk konsumsi atau kebutuhan lain.

“Lili juga mengirim e-mail kepadaku. Dia akan berusaha untuk ikut turun jika kita melakukan demo besar-besaran. Dia tak ingin kehilangan kesempatan. Menurutnya, pemerintah sudah sangat lemah. Cepat atau lambat akan terjadi pergolakan seperti saat rakyat Filipina memaksa Ferdinand Marcos turun. Dia tak ingin kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam sejarah seperti itu. Cuma, dia ragu apakah sejarah baru itu akan berjalan mulus tanpa pertumpahan darah,” jelas Awan.

“Sungguh pribadi yang tangguh. Dalam keadaan sedih, dia masih bisa memikirkan masalah politik, bahkan menganalisis dengan baik. Kita harus salut kepadanya,” tambah Zaliany.

Tiba-tiba, Baskara datang. Ini sangat mengagetkan. Baskara tahu tempat itu, karena pernah mengantar Lili dan Zaliany. Yang membuat Awan dan kawan-kawannya heran, Baskara datang sendirian. Mereka gembira, karena Baskara bisa memberi semangat para juniornya, tapi sekaligus penasaran. Awan dan Zaliany menyambut dan menyilakan masuk.

“Tumben, Mas Bas ke sini. Ada apa?” tanya Zaliany. “Tapi kebetulan, kita sedang rapat. Mungkin Bang Baskara punya info atau pemikiran yang bisa di-sharing,” kata Awan. “Aku ke sini hanya ingin menyampaikan amanah Lili. Tadi dia sempat menelponku. Dia minta maaf belum bisa bergabung dengan kalian. Ini sedikit uang dari Lili. Dia baru saja mentransfer uang itu ke rekeningku. Dia harap dana yang tak seberapa ini bisa bermanfaat buat gerakan kalian,” kata Baskara yang diam-diam menggandakan jumlahnya dengan uang pribadinya.

“Oh, terima kasih sekali. Dana itu tentu akan kami manfaatkan sebaik mungkin untuk gerakan kami. Kami bisa memaklumi keadaan Lili. Saya kira tak usah dipaksakan, kalau memang sedang ada halangan. Sampaikan rasa terima kasih kami,” kata Awan.

“Tapi, ada info penting juga yang perlu kalian ketahui. Kebetulan di sela-sela memotret, aku bertemu beberapa tokoh nasional. Mereka bilang, keadaan sudah begitu genting. Sangat mungkin pemerintahan Soeharto akan jatuh. Di tubuh kabinet pun sudah mulai terpecah. Ada yang pro status quo, ada yang mulai berani menentangnya. Segala prakondisi perubahan besar mendekati sempurna. Desakan rakyat dan mahasiswa semakin signifikan. Itu pula sebabnya, Lili merasa gerakan mahasiswa sudah semakin mendesak. Kalian cepat atau lambat juga akan terlibat aksi yang sangat menentukan. Maka Lili mengirimkan sumbangan ini. Aku juga jadi makin tergerak dan ingin tahu, kapan kalian melakukan demo lagi?” kata Baskara, beberapa aktivis tampak serius memperhatikannya. Apalagi, mereka tahu Baskara bekas aktivis juga.

Part.50

“Itu yang sedang kami rancang. Kita hanya tinggal menunggu momen yang tepat,” jawab Awan. “Baguslah kalau begitu. Cuma satu lagi. Kalian juga harus hati-hati. Sebab, operasi penculikan bisa menimpa kalian. Aku tak menakut-nakuti. Dari sumber penting mengatakan, operasi penculikan masih terus berjalan,” tambah Baskara. “Kami juga menyadarinya dan akan berusaha hati-hati.” “Itu saja, aku pamit dulu. Soalnya aku masih harus kerja,” Baskara undur diri. Awan dan rekan-rekannya kembali sibuk rapat dan diskusi. Kelompok Awan ini makin hari makin banyak pengikutnya. Apalagi badan-badan mahasiswa resmi juga mulai punya sikap yang sama. Maka, Awan pun siap meleburkan diri dengan badan-badan itu untuk menyatukan langkah dan membangun sinergi. ***

Hari-hari yang membingungkan bagi Baskara. Dia sedang dirundung kesedihan. Tapi, di sisi lain dia punya semangat bekerja karena melihat perubahan di depan mata. Dia pun semakin punya banyak obyek foto yang memuaskan. Demonstrasi dan tuntutan reformasi menjadi tema foto-fotonya.

Selasa, 12 Mei 1998 ini, dia kembali akan mengambil foto dengan tema yang sama. Apalagi memang sangat menarik. Pagi-pagi dia sudah meluncur ke Universitas Trisakti, Grogol, bersama Lukito. Kebetulan, hari ini rekan dekatnya itu diplot menjadi partnernya. Menurut rencana, di sana akan ada demo besar-besaran. Para mahasiswa berencana akan menuju Gedung DPR RI. Maka, mereka pilih mengendarai sepeda motor agar aman dan gesit. Baskara menyampatkan telepon Lili. Selain menyapa, juga mengabarkan rencana demo itu. Lili selalu minta dikabari info terbaru karena tak bisa ke mana-mana lagi. Pengawalan kepadanya begitu ketatnya. Dan, saat telepon, Lili pun harus bersandiwara seolah menelopon teman lainnya.

Ketika Matahari sedang terik-teriknya, banyak obyek yang bisa dia jepret. Upaya mahasiswa untuk ke DPR RI diadang aparat keamanan. Beberapa mahasiswa kemudian memasukkan bunga ke moncong senapan aparat sebagai lambang perdamaian. Tapi, tetap saja mereka tak bisa beranjak dari kawasan Universitas Trisakti, sampai Matahari sore menyapa Jakarta.

Saat Baskara lagi minum, tiba-tiba terjadi bentrokan antara aparat dan mahasiswa. Dia segera berlari mencari obyek foto. Sebuah jepretan menangkap adegan aparat menendang kepala seorang mahasiswa yang tergeletak di jalan. Mereka terus memburu mahasiswa dan memukul dengan tongkat. “Sialan, tega amat,” rutuk Baskara.

Baskara segera sibuk mengambil gambar adegan-adegan mengerikan lain. Apalagi suara tembakan dari senapan aparat semakin sering. Dia melihat ada beberapa orang di jalan tol yang membidikkan senapan ke arah mahasiswa. Baskara sedang membidikkan lensanya kepada para pembidik itu, tapi tiba-tiba seorang aparat menabraknya dengan keras hingga ia terjatuh.

Baskara tak sempat lagi mengenali siapa yang menabraknya, karena rombongan aparat lainnya segera berlari melewatinya. Mereka tampak emosi dan buas mengejar, memukul dan menendang mahasiswa.

Langit mulai gelap. Baskara mencoba masuk kampus, karena merasa lebih aman. Aituasi sudah semakin tegang dan megerikan. Tiba-tiba ada teriakan histeris, “Ada yang  tertembak!”

Baskara langsung lemas bercampur emosi tiada tara. Dia memang puas mendapatkan banyak gambar menarik, tapi di sisi lain sedih luar biasa. Empat mahasiswa Trisakti tertembak mati. Lukito tiba-tiba muncul di hadapan Baskara, tampak kucel dan wajahnya menunjukkan kepanikan, kemarahan, bercampur kesedihan.

“Parah, parah sekali. Ini sudah brutal. Empat mahasiswa tewas tertembak,” kecam Baskara. “Benar, sangat memprihatinkan. Aku sudah dapat nama mahasiswa yang tewas. Mereka adalah Hendriawan, Elang Mulya Lesmana, Hery Hertanto, dan Hafidin Royan. Kamu sudah mengambil gambar mereka?,” tanya Lukito. “Sudah dan ini akan menggemparkan seluruh negeri.”

Baskara dan Lukito sampai bisa meneteskan air mata menyaksikan perlakuan aparat terhadap para penerus bangsa. Setelah keterangan yang dihimpun Lukito dirasa cukup dan foto yang dimiliki Baskara lengkap, mereka pun segera menyelinap di antara ketegangan dan kerusuhan untuk beranjak ke kantor agar bisa melaporkan kejadian itu dengan wajah lesu. Sesekali mereka masih mendengar suara tembakan. [sebelumnya | selanjutnya]

http://yinnihuaren.blogspot.com
Disalin oleh: Meilinda Chen, Jakarta

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA