Jakarta tiba-tiba sangat mencekam. Tak hanya di Grogol, hampir semua mahasiswa di Jabotabek berunjuk rasa menyampaikan protes kekerasan aparat dan menuntut reformasi. Baskara mendapat kabar, massa dari berbagai lapisan juga sudah berkumpul di sudut-sudut kota lainnya. Massa juga bergerak, meneriakkan kata-kata protes dan mengecam negara.
Baskara dan Lukito lebih sibuk dari hari sebelumnya. Mereka masih mengendarai sepeda motor. Setelah memotret pemakaman empat mahasiswa yang tewas di Tanah Kusir, Baskara mengajak Lukito ke Trisakti. Sore hari, tiba-tiba Baskara melihat ada truk dan mobil pick-up menurunkan massa. Semula dia mengira mereka massa seperti lainnya. Tapi gerak-geriknya tampak mencurigakan. Baskara pun mendekat. Tiba-tiba, massa yang baru turun dari mobil itu melakukan provokasi untuk bergerak dan merusak toko-toko.
Seperti terjadi secara sistematis, tiba-tiba asap sudah mengepul di mana-mana. Baskara segera memburunya. Betapa kagetnya, perusakan sudah terjadi di berbagai titik di Kota Jakarta. Masyarakat yang terprovokasi ramai-ramai melakukan menjarahan di berbagai toko. Untung mahasiswa tak terpancing, dan mereka yang tadinya turun beraksi menjauh dari kerusuhan. Baskara pun langsung memotret momen penting itu, tapi hatinya diliputi kegundahan luar biasa.
"Luke, ini lebih parah. Seluruh Jakarta seperti terbakar. Seperti perang besar saja. Ya Tuhan, apa yang terjadi di negeri ini?" ujar Baskara seperti tak percaya. Sesaat dia tertegun menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan ini, sampai lupa memotret.
"Ini neraka, Bas. Jakarta sudah menjadi neraka!" jawab Lukito.
Mereka sampai juga di daerah Glodok. Keadaan sama parahnya. Beberapa toko sudah terbakar, sementara massa berlarian sambil membawa barang jarahan. "Kita hancurkan Cina!" teriak seseorang yang berperan sebagai provokator.
Tiba-tiba Baskara ingat kekasih Cina-nya, Lili. Apalagi dia punya toko di Glodok yang pasti juga terbakar. Segera dia meneleponnya dengan HP. Setelah agak lama, akhirnya Lili membuka pula HP-nya.
"Hai, kamu nggak apa-apa? Jakarta terbakar. Sepertinya targetnya masyarakat Cina," kata Baskara.
"Sepertinya begitu. Tadi kami sudah melihat gelagatnya, segera menutup toko dan pulang. Kami sekeluarga berkumpul di rumah dan ketakutan. Kondisi kami aman, tapi nggak tahu toko kami."
"Sementara tenang di rumah dulu. Sepertinya lebih aman begitu. Soalya yang diserang massa adalah toko-toko dan perkantoran." "Inginnya keluar dan ketemu Mas Bas, syukur-syukur ikut demo." "Jangan dulu, keadaan sangat mencekam." "Baik, Mas Bas di mana?" "Aku di Glodok, sibuk memotret pembakaran dan penjarahan. Inginnya juga menjemputmu. Kalau perlu sekalian keluargamu dan memindahnya ke tempat aman. Sayang, aku sibuk memotret. Tapi jika kalian semakin merasa tak aman, aku bisa mencuri waktu untuk menjemput kalian. Kalau ada apa-apa kabari aku." "Papah pasti menolaknya. Saya kira belum perlu, karena kami masih aman. Mas Bas juga hati-hati." "Oke, sudah dulu ya. Jangan lupa terus kabari aku jika ada sesuatu yang mencurigakan…" "Baik, da…"
Setelah gelap mulai mencekam dan banyak adegan yang sudah dipotret, Baskara merasa harus segera mengajak Lukito ke kantor. Sebab, foto dan laporan Lukito pasti sudah ditunggu. Betapa kagetnya Baskara ketika di kantor, rekan-rekannya menceritakan jumlah korban kematian mencapai ratusan. Rata-rata mereka masyarakat umum yang terjebak api saat mencoba menjarah. "Ini sepertinya sudah direkayasa," kata teman lainnya menyimpulkan. "Untung mahasiswa tidak terpancing menjarah dan membakar. Aku lihat ada gerombolan provokatornya. Kemudian, warga atau massa awam terprovokasi untuk membakar dan menjarah," kata Baskara.
Hampir semua wartawan sibuk, termasuk Baskara yang harus stand by. Up-dating terus dilakukan, karena sampai larut malam ada saja info baru. Bahkan hampir semua wartawan tidur di kantor. Selain jaga-jaga kalau ada peristiwa penting, juga merasa tak aman pulang melewati jalanan Jakarta yang seperti neraka.
Sesekali Baskara terus berusaha menjaga hubungan dengan Lili lewat telepon. Dia juga sudah menelepon adiknya, Zaliany. Dia agak lega, karena Zaliany dan rekan-rekannya sudah pulang setelah ikut demo di Trisakti.
Part.52
Pagi hari, 14 Mei 1998, rapat di kantor Baskara begitu ramai dan tegang. Berbagai strategi liputan dirancang, tugas dibagi-bagi. Tak lama kemudian, mereka segera berpencar memburu tugasnya masing-masing. Baskara menyempatkan menelepon Lili lagi. Dia semakin khawatir terhadap keamanan kekasihnya. Tapi, dia merasa berada di rumah masih jalan yang terbaik, karena target perusakan rata-rata di toko-toko dan perkantoran.
"Bagaimana keadaanmu dan keluarga?" "Baik, tapi kami masih ketakutan. Belum berani keluar," jawab Lili. "Bagaimana kalau kalian pindah ke tempat aman. Biar aku jemput?" "Tak usah. Usul Mas Bas sudah saya sampaikan, Papah malah marah-marah." "Kalau kamu sendiri?" "Lili nggak mungkin tinggalkan keluarga dalam keadaan seperti ini." "Kamu nggak ditanya sedang telepon dengan siapa?" "Nggak, papah dan mamah juga sibuk telepon-telepon." "Oke, jaga dirimu dan keluargamu. Sebenarnya aku ingin ketemu kamu untuk merayakan sesuatu, tapi saatnya kurang tepat dan tugas begitu banyak." "Merayakan apa?" "Lho, ini 'kan hari ulang tahunmu, 14 Mei? Selamat ulang tahun ya. Aku sudah menyiapkan hadiah istimewa," ujar Baskara sambil mengeluarkan kalung emas dengan bandul berinisial BI alias Baskara dan Lili, dari saku bajunya. "Oh terima kasih, sampai aku lupa." "Kalau sempat, aku nanti mampir ke rumahmu. Sekalian melihat keadaan. Tak peduli bakal didamprat lagi oleh orangtuamu. Siapa tahu ini saatnya berbaik hati." "Aku tunggu, rinduku sudah begitu menggebu. Lili juga sudah tak peduli didamprat. Lagi pula, papah sementara tak memikirkan hal lain kecuali keamanan dan meratapi toko kami yang ternyata sudah terbakar. Tapi kalau sibuk, jangan dipaksakan." "Oh, aku ikut prihatin atas terbakarnya toko kaian." "Terima kasih." "Aku kerja dulu, ya? Nanti sambung lagi." "Hati-hati, da..." "Da..."
Baskara pun meluncur dengan motor kantor, seperti kemarin. Kali ini dia sendirian, karena Lukito harus wawancara dengan para pejabat. Dia memotret sisa-sisa kerusuhan. Tapi, dia lihat mulai muncul massa di beberapa sudut. Menjelang siang, dia makin kaget dan terpukul. Ternyata kerusuhan masih berlanjut. Lagi-lagi, dia melihat beberapa provokator yang sebelumnya diturunkan dari mobil.
"Ke mana aparat keamanan?" pikir Baskara heran. Seharusnya, setelah kerusuhan kemarin, hari ini aparat keamanan sudah berada di mana-mana dan melakukan keamanan ketat. Apalagi ini Jakarta. Tapi, kenapa ibukota justru begitu sepi oleh aparat. Baskara pun kembali sibuk memotret obyek yang sama dengan kemarin. Pembakaran dan penjarahan.
Baskara makin galau, marah, resah, sedih, prihatin, dan bingung. Tidak seperti kemarin, kali ini dia juga mulai dililit rasa ketakutan dan perasaan tidak enak. Baskara tak tahu, kenapa tiba-tiba dia begitu waswas. Firasatnya mengatakan, akan terjadi sesuatu yang buruk, tapi entah apa yang terjadi. Dia mengira karena dia beberapa hari ini disuguhi adegan-adegan memilukan. Penembakan mahasiswa dan pembakaran serta penjarahan. Dorongan untuk ke rumah Lili tiba-tiba mendesak-desak, tapi dia tak bisa menurutinya. Panggilan tugas harus dilaksanakan lebih dulu. Tiba-tiba telepon masuk ke ponselnya. Albert, korlipnya, memintanya lari ke Klender. Sebab di sana ada kerusuhan besar di Yogya Plaza.
Belum sempat menghidupkan motor, seorang rekan fotografer juga menyapanya. "Hai, Bas. Ayo kita ke Klender, Yogya Plaza terbakar. Katanya sangat dramatis," ajaknya.
Naluri wartawan Baskara pun menuntunnya untuk segera ke sana. "Baik."
Parts.53
Begitu melihat betapa hebatnya kerusuhan di Yogya Plaza, Baskara makin mengkhawatirkan Lili. Dia pun mencoba menghubungi lagi untuk mengecek di sela-sela memotret. Sialnya, telepon Lili tak aktif. Mau menghubungi telepon rumahnya, takut yang angkat papahnya.
Dia pun makin was-was, tapi tak bisa berbuat banyak. Dia juga harus membawa foto terbaik dari kerusuhan di Yogya Plaza.
"Semoga Lili dan keluarganya baik-baik saja," harapnya dalam hati, sambil terus berusaha menelpon Lili, namun selalu saja gagal.
***
Beberapa jam sebelumnya di rumah Lili, ketakutan dan kebingungan semakin besar. Mereka sudah dengar ada kerusuhan susulan hari ini dan masyarakat keturunan Tionghoa masih jadi sasaran. Tapi, papah Lili belum bisa membuat keputusan harus berbuat apa atau mengungsi ke mana.
Jangankan pergi, keluar dari rumah saja mereka tak berani. Seng An dan istrinya pun juga belum berani keluar dari rumah di Grogol, begitu juga rekan-rekannya. Alternatif tindakan terbaik memang bertahan di rumah, sambil menunggu kerusuhan reda.
"Papah, Mas Baskara menawarkan bantuan. Dia siap menjemput kita dan membawa ke tempat aman. Kalau Papah setuju, kita bisa telepon dia," Lili memberi usul.
"Apa? Jangan sebut-sebut nama itu lagi. Rupanya kamu masih sering kontak dengannya. Bawa sini HP-mu," kata papah Lili marah. Dia langsung merebut HP Lili dan mematikannya. Itu rupanya yang membuat Baskara kemudian tak bisa menghubunginya.
"Papah, kita dalam keadaan terancam. Tak ada salahnya kita menerima bantuannya. Apalagi, sampai detik ini baru dia yang menawarkan bantuan kepada kita sekeluarga. Ke mana Beng San? Telepon pun tidak. Dia pasti sedang memikirkan dirinya sendiri," jawab Lili agak emosi.
Papahnya tambah marah. Tapi mamah Lili segera melerainya. "Sudah, tidak baik ribut dalam keadaan seperti ini. Mending kita memikirkan bagaimana mengatasi masalah ini. Kita telepon pihak keamanan lagi untuk minta bantuan."
"Kemarin dan tadi sudah aku telepon, tapi mereka belum bisa memberi bantuan. Katanya petugas yang menerima telepon, mereka sibuk mengamankan kota," jelas Thio Hok Kie.
Lili, papah dan mamahnya diam, begitu juga Mbok Minah yang kini tak jauh-jauh dari Lili. Seisi rumah kembali dicekam ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
Menjelang magrib, tiba-tiba suara mobil berhenti di depan rumah mereka. Lili mengira ini pasti Baskara, karena tadi berjanji kalau ada waktu akan ke rumah dan menjemput mereka. Setidaknya bisa mengucapkan selamat ulang tahun buat Lili dan menyerahkan hadiah istimewanya. Lili jadi merasa senang dan tiba-tiba semangatnya membuncah. Tapi itu bukan suara mobil Baskara.
"Ah, mungkin dia memakai mobil pinjaman," batin Lili. Dia pun segera menghampiri jendela dan mengintip.
Alangkah kagetnya, ternyata mobil pick-up itu berisi beberapa lelaki sangar. Dengan cekatan mereka langsung turun. Melompat ke halaman rumah Lili. Di sebelahnya juga ada mobil pick-up lain dan para penumpangnya tampak sedang menyerbu rumah tetangga Lili yang juga keturunan Tionghoa.
"Papah, gawat. Ada beberapa lelaki mau masuk rumah!" teriak Lili mengagetkan papah dan mamahnya. "Siapa? Polisi bukan?" "Bukan."
Tiba-tiba pintu rumah mereka didobrak dengan paksa dan keras. Dobrakan yang dengan sekejap mampu membuka pintu itu. Lili, papah dan mamahnya, juga Mbok Minah ketakutan luar biasa. Apalagi tujuh lelaki itu berwajah garang, penuh kebengisan, seolah haus darah. Beberapa dari mereka tersenyum sinis. Salah seorang pria menutup pintu kembali dengan rapat.
"Kalian jangan bergerak. Kumpul di sini?" kata salah seorang yang bertindak sebagai pimpinan, meminta Lili sekeluarga kumpul di ruang keluarga. [Sebelumnya | Selanjutnya]
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Chen Mei Ing - Jakarta