Aku, sebut saja namaku A dan adikku, sebut saja namanya B dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang sangat harmonis, penuh kasih sayang. Di lingkungan keluarga kami selalu ditekankan dan diajarkan untuk saling melindungi dan menyayangi di antara kami sekeluarga, terlebih kami memang hanya dua bersaudara.
Sejak masih kecil aku dan B memang sangat akrab, mungkin karena usia kami yang cuma terpaut satu tahun membuat aktifitas dan kebiasaan kami menjadi sama, ditambah kedua orang tuaku selalu memasukan kami ke sekolah yang sama pula. Olah karena hal itu jarang sekali kami berpisah. Singkatnya dimana ada aku di situ juga ada B. Sampai-sampai banyak orang yang menduga bahwa kami bukanlah sepasang kakak beradik melainkan sepasang kekasih.
Seiring berjalannya waktu, kami tumbuh menjadi dua saudara yang saling melindungi satu sama lain. Dari saling melindungi itu, akhirnya kami sama-sama menyimpan benih-benih cinta. Hal itu terjadi saat kami duduk di bangku SMU kelas dua. Mulanya kami memang tak menyadari perasaan masing-masing, karena kami merasa bahwa rasa yang ada pada diri kami itu adalah perasaan yang biasa ada pada dua orang saudara sekandung.
Yang membuat kami tersadar, kami selalu merasakan sesuatu yang aneh setiap kali masing-masing dari kami dekat dengan lawan jenis kami masing-masing. Aku sendiri merasakan benci, kesal dan cemburu jika melihat adikku sedang berdua-duaan dengan teman laki-lakinya, pun demikian dengan B, ia juga mengaku merasakan perasaan yang sama denganku tatkala ia melihat aku yang sedang bersenda gurau dengan teman-teman perempuan.
Saat itu kami masih sadar bahwa kami adalah saudara kandung yang tak mungkin bisa bersatu. Dan kami bersepakat untuk berusaha menghilangkan benih-benih cinta yang mulai tumbuh. Kami mencoba untuk menjalin hubungan cinta dengan orang lain. Tetapi semakin sering kami berjauhan, semakin sering pula rasa rindu hinggap, membuat benih cinta ini semakin tumbuh subur di hati kami masing-masing. Ditambah kami tak pernah menemukan sosok yang bisa menggantikan posisi kami masing-masing.
Karena tak mampu bertahan dengan rasa rindu, akhirnya kami bersatu kembali dan membiarkan rasa cinta ini tumbuh dan berkembang. Toh dengan keadaan ini kami berdua merasakan kebahagiaan sejati. Sejak saat itulah kami mulai menjalin hubungan layaknya orang berpacaran, karena kami tak pernah bisa rela untuk saling kehilangan atau berjauhan. Namun demikian di depan kedua orang tua kami, kami masih bisa bersikap seperti biasa.
Serapat-rapatnya kami menyimpan bangkai, akhirnya baunya tercium juga oleh kedua orang tuaku. Mereka merasa sangat terpukul dan begitu murka kepada kami khususnya kepadaku. Aku dituduh sebagai kakak yang tak tahu malu dan tak bertanggung jawab terhadap kehormatan keluarga. Saking marahnya ayah memukuliku dengan sebatang rotan dan mengusirku. Sementara adikku cuma bisa menjerit-jerit dan menangis, meminta ayah menghentikan pukulannya dan tidak mengusirku.
Karena tak menghentikan pukulannya, adikku berontak dari pegangan ibu dan menghalangi ayah agar tak memukulku, namun apa lacur adikku juga akhirnya menerima pukulan bertubi-tubi hingga mengeluarkan darah dari hidungnya. Aku yang tadinya tak mau melawan menjadi kalap menyaksikan hal itu. Aku dan ayah akhirnya bergumul dan saling pukul, sementara ibu dan adikku hanya bisa menangis meraung-raung meminta kami untuk berhenti bergumul.
Keesokan harinya kami memutuskan untuk meninggalkan rumah, di pagi buta kami pergi tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Berbulan-bulan kami merasakan kesengsaraan yang luar biasa, rasa lapar, hinaan, cemoohan dan berkali-kali diusir karena meminta-minta menjadi sahabat dan keseharian kami. Hingga akhirnya kami terdampar di suatu pedesaan di kaki gunung yang berada di wilayah Jawa Barat.
Di tempat ini kami akhirnya memutuskan untuk menetap, karena keadaannya yang sepi keberadaan kami tak membuat penduduk desa curiga, justru sebaliknya mereka malah menerima kami dengan baik. Mengijinkan kami mendirikan gubuk dan membuka lahan untuk berkebun. Perlahan-lahan keadaan kami semakin membaik, paling tidak kami tak lagi mengalami kelaparan dan kesulitan untuk mencari tempat berteduh.
Selama lima tahun kami tinggal di desa ini dan kami telah dikarunia dua orang anak. Namun rupanya penderitaan masih saja mengikuti kehidupan kami. Dua orang anak yang terlahir, kedua-duanya mengalami cacat mental dan fisik. Namun begitu kami masih bisa bersyukur karena kami masih bisa bersatu hingga kini dan diberi kesehatan serta rezeki yang cukup untuk menghidupi kami dan dua anak kami. Semoga Tuhan mengampuni kami berdua. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah Nyata
Pertanyaan: Boleh kah kawin sedarah menurut budaya Tionghoa ? Apa akibatnya ?
Catatan: Ayo kita dukung Tionghoanews dengan cara mengirim email artikel berita kegiatan atau kejadian tentang Tionghoa di kota tempat tinggal anda ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id dan jangan lupa ngajak teman-teman Tionghoa anda ikut gabung disini, Xie Xie Ni ...